Mariologi Montfort dalam Buku Bakti Sejati kepada Maria

P. Gregorius Pasi, SMM

Di tahun 2012, Bakti Sejati kepada Maria (selanjutnya disebut BS), masterpiece dari Louis Marie Grignion de Montfort mencapai usia 300 tahun. Dikatakan bahwa buku ini ditulis oleh seorang kudus dengan ilham Roh Kudus, dibaca oleh banyak orang kudus dan memiliki tugas membentuk semakin banyak orang kudus. Tepatlah bila dikatakan demikian. Akan tetapi, tidaklah tepat bila tidak disadari bahwa penulis buku itu bukan saja seorang kudus, tetapi seorang “teolog berbobot” atau lebih tepatnya seorang “mariolog berbobot”. Tampaknya atribut “teolog berbobot” atau “mariolog berbobot” itu merupakan sebuah klaim yang “bukan main” bombastisnya oleh karena Montfort bukanlah seorang teolog profesional. Montfort, pertama-tama, adalah seorang misionaris. Namun, bila kita serius mengakrabi tuturan Montfort dalam Bakti Sejati kepada Maria, kesan bombastis itu hilang dengan sendirinya. Tulisan sederhana ini tidak berambisi untuk mengupas secara tuntas Mariologi Montfort dalam buku Bakti Sejati kepada Maria. Kami hanya bermimpi untuk untuk “memamerkan” bahwa doktrin Montfort memiliki fondasi teologis yang memadai.   1. Montfort Seorang Teolog Berbobot 1.1 Tulisannya Memiliki Fondasi Teologis yang Solid Louis Marie Grignion lebih dikenal sebagai le père de Montfort (pater dari Montfort). Orang-orang yang dilayaninya menyebutnya sebagai Pater yang baik dari Montfort. Orang sezamannya tidak menyebutnya sebagai teolog dari Montfort atau mariolog dari Montfort. Akan tetapi Paus Yohanes paulus II menyebutnya bukan saja sebagai teolog tetapi teolog berbobot. Hal itu tampak dalam kutipan berikut:  Aku telah yakin bahwa Maria mengantar kita kepada Kristus, tapi pada masa ini aku mulai mengerti juga bahwa Kristus mengantar kita kepada ibu-Nya. Itu adalah masa di mana aku mulai mempertanyakan baktiku kepada Maria, karena aku berpikir bahwa jika baktiku kepadanya menjadi terlalu besar, maka hal itu mungkin akan membahayakan supremasi ibadat yang seharusnya diberikan kepada Kristus. Pada saat itu, aku sangat terbantu oleh buku karya St. Louis-Marie Grignion de Montfort yang berjudul Bakti yang Sejati kepada Santa Perawan Maria. Di sana aku menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaanku. Ya, Maria sungguh membawa kita semakin dekat kepada Kristus; ia sungguh membimbing kita kepada Kristus, dengan syarat bahwa kita menghayati misteri Maria dalam Kristus. Karya St. Louis-Marie de Montfort ini mungkin akan cukup mengganggu oleh karena gayanya yang sedikit berlebihan dan barok, tapi esensi kebenaran teologis yang terkandung di dalamnya sungguh tak tersangkalkan. Pengarang karya ini adalah seorang teolog berbobot. Pemikiran mariologisnya berakar pada misteri Allah Tritunggal dan pada kebenaran Penjelmaan Sabda Allah.[1] Pada pandangan pertama, sebutan “teolog berbobot” itu tampak sebagai sebuah klaim yang terlalu berlebihan karena Montfort bukanlah seorang teolog profesional. Ia toh tidak pernah mengklaim diri sebagai seorang yang kompeten di bidang teologi. Keseriusannya dalam studi tidak digerakkan oleh motivasi untuk mencapai suatu tingkat kepakaran tertentu dalam hal berteologi atau bermariologi. Tulisan-tulisannya tidak berambisi untuk tampil dalam sosok ilmiah dan sistematis. Montfort adalah seorang pengkhotbah yang bergerak dari satu tempat ke tempat lainnya. Ia adalah seorang misionaris. Paus Klemens XI menganugerahkan kepadanya gelar misionaris apostolik. Karena itu tulisan-tulisan Montfort mencerminkan panggilan fundamentalnya sebagai seorang misionaris.[2] Montfort yang “berpredikat” sebagai penulis identik dengan Montfort yang berpredikat sebagai misionaris. Dengan kata lain, tulisan-tulisannya adalah tulisan seorang misionaris bukan tulisan seorang teolog. Hal ini terungkap dalam kata-kata Montfort sendiri: “Saya mengangkat pena untuk menulis apa yang telah bertahun-tahun saya ajarkan dengan berhasil selama karya misi, baik secara publik maupun secara pribadi” (BS 110). Lantas, mengapa Paus Yohanes Paulus II mengenakan atribut “teolog berbobot” itu pada Montfort? Sebutan “teolog berbobot” itu dikenakan kepada Montfort sehubungan dengan masterpiece-nya Bakti Sejati Kepada Maria. Paus Yohanes Paulus II menyebut Montfort “teolog berbobot” setelah mendalami dan menghidupi mahakarya Montfort itu. Dengan demikian, atribut “teolog berbobot” yang dikenakan pada Montfort merupakan klaim implisit yang terdapat dalam tulisan Montfort sendiri. Kendati bukan seorang teolog profesional, ajaran Montfort dibangun di atas prinsip-prinsip teologis yang telah terintegrasikan dalam hidupnya sendiri.[3] Ajaran dan tulisan Montfort memiliki dasar teologis yang solid.[4]  Kendati tampil dalam rumusan-rumusan yang sederhana, ajarannya memiliki suatu karakter teologis yang mendalam.[5] Karena itu François Marie Léthel mengatakan bahwa ajaran Montfort bersifat populer dan ilmiah sekaligus. Dikatakan populer oleh karena ajarannya tidak dialamatkan hanya kepada kaum elitis tetapi juga kepada orang-orang kecil, bahkan yang terkecil dari orang-orang kecil. Dikatakan ilmiah oleh karena ajarannya memiliki fondasi teologis yang solid.[6] Maka tidaklah berlebihan bila Paus Yohanes Paulus II menyebut dia sebagai seorang teolog berbobot Kongres Marial Internasional tahun 1904 di Roma mengakui bahwa doktrin dan devosi yang diajarkan oleh Montfort secara teologis memiliki fondasi yang kuat.[7] Nilai teologis dari ajaran Montfort muncul pertama-tama dari kesetiaannya kepada Wahyu Ilahi dan dari bagaimana dia mempresentasikannya, yakni menempatkannya dalam perspektif sejarah keselamatan. Perspektif ini tampak dalam Cinta kepada Kebijakasanaan Abadi dan Bakti Sejati kepada Maria. Teologi Montfort mencoba merefleksikan karya penyalamatan Allah Tritunggal yang bercorak “Kristosentris” dan dikembangkan mengikuti dinamika hidup dalam Roh Kudus. Struktur dari pemikiran teologisnya sedemikian jelas dan bahasa yang dia gunakan sengat tepat sasar meskipun dia harus menyesuaikannya dengan tingkat pemahaman pendengarnya yang adalah orang-orang biasa (sederhana, bukan teolog).[8] Sumber tulisan Montfort pertama-tama adalah Kitab Suci. Formasi teologisnya dijalankan di bawah arahan Konsili Trente. Karena itu dia berusaha agar semua pernyataannya memiliki landasan biblis. Untuk itu dia menggunakan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. J.P. Michaud menulis: Reading Montfort’s works carefully, one finds that they are biblical all through. He refers to Scripture constantly and in many different ways. Sometimes he studies a whole book, for example, the Book of Wisdom. Sometimes he makes systematic synthesis, on the theme of Wisdom, for example, or on the role of Mary in the economy of salvation; these syntheses belonged to biblical theology even before it was known by that name. Sometimes he comments on, or paraphrases at length, specific passages, for example, Mt 16:24 in FC, Gen 27 in TD, or Psalm 67 in PM. At other times he puts forward arguments that he supports with a series of quotations, or he simply lets his prayer flow with the words of Scripture, as he frequently does with the Psalms.[9] Di samping Kitab Suci, doktrin Montfort berakar secara mendalam dalam teologi para Bapa Gereja Barat dan Timur (Agustinus, Ambrosius, Efrem, Yohanes Kristostomus, Dionisius dari Areopagitus, dan sebagainya) dan dari sejumlah pujangga Gereja abad pertengahan (Anselmus, Bernardus, Thomas Aquinas, Bonaventura, dst.). Doktrinnya terbuka bagi pengaruh spiritualitas-spiritualitas besar dalam Gereja (Benediktin, Fransiskan, Dominikan, Karmelitan, Yesuit, dst.). Montfort mengenal dengan sangat baik sejumlah mistikus besar dan penulis rohani dalam Gereja.[10] Dia merupakan salah seorang pewaris dan saksi terbaik dari Sekolah Spiritualitas Perancis. Menurut H. Brèmond, Montfort adalah “the last of the great Bérullians.”[11] Seluruh doktrinnya ditandai oleh penekanan kuat pada  Christ-centeredness dari Sekolah Spiritualitas Perancis dan pada misteri Inkarnasi dan tempat Maria di dalamnya.[12] Meskipun dia tetap mempertahankan karakter-karakter utama dari doktrin dan metode ajaran Sekolah Spiritualitas Perancis, dia melakukan itu dnegan caranya yang unik dank khas (dengan caranya dia).[13]   1.2 Formasi Teologis Montfort Memadai Menurut Patrick Gaffney, Montfort adalah seorang teolog dalam arti bahwa dia mengalami suatu masa studi teologi yang solid. Solidnya fondasi teologis yang dimiliki oleh karya-karyanya merupakan buah dari formasi teologis yang dialamainya di Paris (1693-1700) di Seminari Saint Sulpice dan juga di Sorbonne.[14] Gaffney menulis: His readings and studies gave him the opportunity to verify his own experiences and to broaden and deepen his knowledge and love of Our Lady. It also supplied him with theological foundations on which to build a Marian spirituality. Montfort’s strong Trinitarian basis for his Marian writings, his emphasis on the centrality of the Incarnation, and his stress on Christocentric spirituality were not only in line with the spirit of Saint Sulpice but were verified for Montfort through the books he critically examined. His theological studies helped foster a healthily discerning analysis of the Marian devotion of his time and gave him great confidence when he spoke about Our Lady.[15].   Pada tahun 1692, setelah menyelesaikan studi filsafatnya di Kolese St. Thomas Becket – Rennes, Montfort memulai studi teologi di sekolah yang sama. Namun beberapa bulan kemudian, ia menghentikan studi teologinya itu karena mengikuti tawaran untuk belajar teologi di Paris. Di Paris, Montfort tinggal di sebuah komunitas para calon imam yang didirikan oleh Pater Claude Bottu de la Barmondière (1635-1694), mantan pastor di Paroki Saint Sulpice. Komunitas ini membantu para seminaris secara finansial, membentuk mereka secara spiritual dan menyekolahkan mereka di Sorbonne. Montfort tinggal di komunitas ini dari tahun 1692 sampai tahun 1694. Setelah kematian Pater Claude Bottu de la barmondière Montfort pindah ke sebuah komunitas yang menampung empat puluh seminaris miskin, yang berada tidak jauh dari Sorbonne. Komunitas ini didirikan oleh Pater François Boucher. Setelah jatuh sakit parah, Montfort kemudian pindah ke “seminari kecil”. Seminari ini diperuntukkan bagi para seminaris yang tidak mampu membayar biaya secara penuh. Montfort tinggal di seminari ini dari tahun 1695 sampai tahun 1700. Selama dua tahun tinggal di komunitas La Barmondière Montfort mengalami suatu hidup studi yang teratur. Ia mengikuti perkuliahan di Sorbonne. Karya Boudon, Les saintes voies de la croix begitu berkesan bagi Monfort oleh karena ia mampu mengkombinasikan teologi, hidup rohani dan pastoral. Selain itu Montfort juga membaca Letres spirituelles dari Surin yang menggarisbawahi pentingnya pengalaman akan Allah. Setelah pindah ke “Seminari Kecil” Saint Sulpice – setelah ia jatuh sakit parah – Montfort tidak lagi mengikuti perkuliahan di Sorbonne, dia hanya mengikuti pelajaran-pelajaran yang diberikan di komunitas. Jadi selama lima tahun di “Seminari Kecil” Saint Sulpice, Monfort melakukan studi secara pribadi. Dia membaca banyak, membuat catatan-catatan dari apa yang dibacanya. Dia juga seorang petugas  perpustakaan sehingga dia memiliki informasi yang baik tentang berbagai buku. Mariologi dan Katekese merupakan dua bidang kajian yang menarik minatnya selama studi pribadi itu. Ia meninggalkan dua buah buku catatan yang berisikan materi studi pribadinya itu, yakin livre de Sermon (berkaitan dengan khotbah, katekese dan konferensi-konferensi) dan Cahier de Notes (berkaitan dengan Mariologi). Ketika menulis buku Bakti Sejati kepada Maria, Montfort telah membaca hampir semua buku marial yang beredar saat itu. Ia sendiri mengakui itu dalam buku Bakti Sejati kepada Maria 118: “Saya telah membaca hampir semua buku tentang bakti kepada Perawan teramat suci dan pada tahun-tahun terakhir telah membicarakannya secara pribadi dengan orang-orang yang sangat saleh dan tepelajar”. Dia membaca tulisan Poiré yakni La Triple Courrone… dan juga buku Bernardin de Paris yakni La Communion de Marie… Mareka ini merupakan penulis yang memiliki hidup devosional yang mendalam, akan tetapi tulisan mereka memiliki fondasi teologis yang solid. Dia membaca juga penulis-penulis yang “lebih teologis”, seperti Crasset dengan bukunya La véritable devotion…,D’Argentan dengan bukunya Conférences… dan Carthagena dengan bukunya Homiliae….Selain itu ia tentu saja membaca pengarang-pengarang berikut: Grenier, spineli, Nicquet, Boissieu, Boudon, Saint-Jure, Nepveu, Bérulle, Olier, Camus, dst. Patut dicatat bahwa ketegangan dengan Protestan dan keraguan dari kaum Yansenist ikut memotivasi keseriusan Montfort menemukan fondasi teologis yang memadai bagi ajaran-ajaran dan tulisan-tulisannya. Selain itu pada akhir abad ke-17 polemik seputar Monita salutaria belum benar-benar hilang dari ingatan. Karena itu ada semacam kebutuhan untuk menanggapi keberatan-keberatan yang muncul, untuk menegaskan mana devosi-devosi yang palsu dan mengajukan devosi yang sejati secara lebih jelas, meyakinkan dan memiliki dasar teologis yang kuat. Pada akhir masa studinya di Saint Sulpice, Montfort merasakan suatu kerinduan yang mendalam untuk memperdalam hidup rohani, menjadi orang yang menapaki jalan menuju kesucian dan membimbing sesame kepada Allah. Ia juga meraskan kerinduan untuk menjadi manusia Gereja, artinya menjadi orang yang secara total bersedia untuk keperluan-keperluan mendesak. Mungkin itu sebabnya dia memilih untuk memberikan diri bagi karya-karya pastoral di tengah umat. Mariologinya menjadi teologis dan devosional, perjalanan hidup rohani dan pendalaman kebenaran-kebenaran iman: kebenaran-kebenaran Kristologis, Trinitarian dan eklesial. Sebetulnya, Montfort bukan hanya seorang yang tekun membaca tetapi juga seorang yang memang cerdas. Hal itu tampak dari riwayat pendidikannya. Pada tahun 1685, ketika berusia sebelas tahun, Louis Marie dikirim ke Kolese St. Thomas Becket, sebuah sekolah yang dikelola oleh para Yesuit di Rennes. Sekolah ini memiliki reputasi yang baik dan menampung sedemikian banyak pelajar, sekitar dua ribu orang. Sekolah ini mengajarkan the classical humanities berdasarkan ratio studiorum 1599. Montfort mulai dengan apa yang disebut sixième (1684-1689), kemudian retorika (1689-1690) dan akhirnya filsafat (1990-1992). Di Kolese St. Thomas Becket ini Louis Marie dinilai oleh para gurunya sebagai siswa yang cerdas, rajin belajar, saleh, berbakat seni dan agak pemalu. Dia mendapat penghargaan pada setiap akhir tahun pelajaran. Kemampuannya dalam  menulis luar biasa. Hal itu dapat kita ketahui melalui tulisan-tulisannya di kemudian hari. Ia dapat dengan mudah menuangkan gagasannya dalam bahasa tulisan yang diformulasikan dengan sangat jelas dan to the point namun tidak “garing”; sangat tajam tetapi juga segestif.     2. Mariologi Montfort 2.1 Inti Mariologi Montfort Mariologi sebagai “refleksi teologis mengenai Maria, Ibu Yesus, kedudukan dan perannya dalam karya penyelamatan Allah”[16] ditemukan pada nomor 14-36 buku Bakti Sejati kepada Maria. Karena itu BS 14-36 boleh disebut “landasan teologis” bagi ajaran Montfort mengenai bakti yang sejati kepada Maria dan bentuk sempurna dari bakti sejati itu, yaitu pembaktian diri kepada Yesus melalui Maria. Namun isi inti dari Mariologi Montfort itu ditemukan dalam BS 1: “Melalui Santa Perawan Maria, Yesus Kristus telah datang ke dunia. Melalui Maria pulalah Dia harus meraja di dunia”. Konsep yang termuat dalam pernyataan ini diulang Montfort beberapa kali (misalnya dalam BS 13, 15, 19, 20, 22, 35, 44, 49, 50, 75, 113, 120, 156, 262)[17] sehingga menjadi semacam fondasi atau prinsip dasar bagi seluruh Mariologi Montfort. Kita melihat dalam rumusan itu dua hal penting, yakni: Pertama, alasan bagi keberadaan Maria dan karena itu alasan bagi Montfort untuk membicarakan Maria adalah Yesus Kristus (Kristosentris), tepatnya merajanya Kristus di dunia (BS 1, bdk BS 227). Merajanya Kristus di dunia itu, tidak lain dari pada bersatu dan serupanya manusia dengan Kristus (BS 120). Demi kerajaan Kristus melalui Maria inilah Montfort mendedikasikan segala aktivitas misionernya termasuk tulisan-tulisannya.[18] Kedua, Kaitan esensial antara Maria dengan Yesus Kristus dan alasan bagi berperannya Maria dalam proses persatuan dan keserupaan manusia dengan Yesus Kristus adalah peristiwa Inkarnasi (penjelmaan Allah Putera menjadi manusia). Karena Yesus Kristus datang ke dunia (Inkarnasi) melalui Maria, maka Ia pun berkuasa atau meraja di dunia melalui Maria (BS 1).  Dalam BS 1 ini kita melihat adanya basic agreement antara Konstitusi Dogmatis Lumen Gentium bab VIII (Konsili Vatikan II) dan ajaran Montfort. Lumen Gentium bab VIII merefleksikan “realitas terdalam Maria” dalam terang Kitab Suci dan Tradisi, yakni dalam relasinya dengan Yesus Kristus.[19] Hal ini tampak dalam judul Bab VIII Lumen Gentium: “Santa Perawan Maria Bunda Allah dalam Misteri Kristus dan Gereja.” Relasi Maria dengan Gereja (dengan kaum beriman) bersumber dari relasinya dengan Yesus Kristus dalam misteri keselamatan. Kesaksian Yohanes Paulus II memperlihatkan secara implisit bahwa perspektif bab VIII Lumen Gentium juga merupakan perspektif Montfort: Whereas previously I had held back for fear that devotion to Mary would obscure Christ rather than give him precedence, I understood with the light of Grignion’s book that in truth it was entirely different. Our interior relationship to the Mother of God is the organic outgrowth of our connection to the mystery of Christ. So it is impossible that one should prevent us from seeing the other….‘True devotion’ to the Blessed Virgin reveals itself more and more clearly in those who advance in the mystery of Christ, the Word incarnate, and in the trinitarian mystery of salvation, which has this mystery at its center. Sebagaimana halnya para penulis Perjanjian Baru tidak pernah membicarakan Maria terpisah (terisolasi) dari Yesus Kristus, demikian juga dengan Montfort dan Lumen Gentium bab VIII. Alasan Maria dibicarakan adalah Yesus Kristus. Pembicaraan tentang Maria tidak pernah terisolasi dari Yesus Kristus. Karena itu peran Maria dalam kehidupan Gereja pun tidak pernah terisolasi dari Yesus Kristus. Hubungan istimewa Maria dengan Yesus Kristus dalam Inkarnasi menjadi dasar bagi hubungan istimewa antara Maria dengan Yesus dalam kehidupan Gereja saat ini.  Peran Maria dalam Inkarnasi: Bunda Allah Montfort mengakui bahwa peran fundamental Maria dalam peristiwa Inkarnasi adalah sebagai Bunda Allah. Melalui campurtangan Allah Tritunggal Mahakudus dan persetujuan bebas Maria (fiat-nya) terealisasilah penjelmaan Allah Putera menjadi manusia. Pertemuan antara kehendak Allah dan jawaban “ya” Maria memungkinkan Maria dapat mengemban peran sebagai Bunda Allah Putra.   2.2 Maria Menjadi Bunda Allah Melalui Komunikasi Diri Allah Tritunggal Tiga Pribadi Ilahi (Allah Bapa, Allah Putra dan Allah Roh Kudus) telah secara bebas memutuskan bahwa mereka memerlukan Maria untuk memainkan peran sebagai Bunda Allah yang melahirkan Yesus Kristus, Putera Allah yang menjelma menjadi manusia. Dalam kerjasama antara Tiga Pribadi Ilahi itu martabat dan tanggungjawab Maria dihormati secara sempurna: “Allah Bapa telah memberikan Putra tunggal-Nya kepada dunia tidak lain daripada melalui Maria…. Allah Putra telah menjadi manusia demi keselamatan kita tetapi di dalam Maria dan oleh Maria. Allah Roh Kudus telah membentuk Yesus Kristus di dalam Maria, setelah lebih dahulu meminta persetujuan wanita ini melalui salah satu malaikat agung” (BS 16). Inkarnasi digambarkan oleh Montfort sebagai tindakan dari Tiga Pribadi Ilahi. Masing-masing Pribadi bertindak dalam kesatuan yang sempurna dengan Pribadi lainnya, namun dengan tindakan-tindakan khusus sesuai dengan kekhasan masing-masing pribadi sehingga masing-masing Pribadi memiliki relasi yang khas dengan Maria. Namun Montfort bergerak lebih jauh dari sekadar memaparkan relasi Tiga Pribadi Allah Tritunggal itu dengan Maria. Montfort “mengalami” bahwa relasi Tiga Pribadi Allah Tritunggal dengan Maria dalam Inkarnasi terus menerus diaktualkan lagi dalam kehidupan Gereja hingga kini dalam rangka melahirkan semua anggota Tubuh Mistik Kristus (BS 22-36). Mari kita secara singkat melihat relasi Allah Tritunggal dan Maria dalam Inkarnasi. Pertama, relasi Allah Bapa dan Maria. Pada BS 16 dikatakan bahwa “Allah Bapa telah memberikan Putra-Nya yang tunggal kepada dunia tidak lain daripada melalui Maria”. Dari pernyataan ini menjadi jelas bahwa Allah Bapalah yang mengutus Putra-Nya ke dunia. Inisiatif ini dilaksanakan dengan cara yang ditentukan-Nya: melalui Maria dan hanya melalui Maria. Dia bebas untuk bertindak dengan cara lain dari itu namun dalam kenyatannya Dia memilih untuk bertindak dengan cara itu. Itulah cara yang dipilihnya untuk mendekati manusia. Dia pun membuat Maria mengambil bagian dalam kesuburan-Nya, sebagaimana dilukiskan dalam kutipan berikut ini: “Allah Bapa telah membuat Maria mengambil bagian dalam kesuburan-Nya sejauh seorang makhluk murni mampu untuk itu. Ia memberi Maria kemampuan untuk melahirkan Putra-Nya dan semua anggota Tubuh Mistik-Nya” (BS 17). Dalam pola relasi intern antara Tiga Pribadi Ilahi, Bapalah yang “melahirkan” Putra dan dalam waktu Marialah yang dipanggil untuk melahirkan Yesus Kristus, Putra Allah. Dalam Inkarnasi Allah Bapa mengkomunikasikan kesuburan-Nya kepada Maria. Komunikasi ini membentuk sebuah relasi yang unik antara Allah Bapa dan Maria. Rencana Allah bagi keselamatan manusia dan dunia diaktualisasikan pertama kali dan secara istimewah dalam Maria, putri-Nya yang tercinta, buah pertama dari panggilan untuk mengambil bagian dalam kehidupan ilahi yang tampak dalam diri Yesus Kristus. Kedua, relasi antara Allah Putra dan Maria. “Allah Putra telah menjadi manusia demi keselamatan kita tetapi di dalam Maria dan oleh Maria” (BS 16). Dengan kata lain, Allah Putra telah memilih Maria “untuk menjadi ibu yang pantas bagi-Nya” (BS 243). “Allah Putra telah turun ke dalam rahim Maria yang murni sebagai Adam Baru ke dalam taman firdaus-Nya” (BS 18). Allah Putra tidak hanya menjadi manusia dalam dan melalui Maria tetapi juga mengkomunikasikan kepada Maria apa yang khas dari diri-Nya sebagai Putra dari Allah Bapa, yakni ketergantungannya pada Allah Bapa.[21] Yesus mengkomunikasikan diri-Nya kepada Maria sebagai Putra. Dalam Inkarnasi, Putra mengungkapkan ketergantungan-Nya kepada Bapa dalam dan melalui ketergantungan kepada Maria karena Dia hidup dalam Maria, bersatu dengan Maria melalui suatu ikatan cinta keputraan yang tak “terkatakan” secara tuntas.[22]. Ketergantungan Yesus pada Maria menurut Montfort tidak dihapahami sebatas ketergantungan dalam aspek “jasmaniah” tetapi lebih sebagai ketergantungan personal, dalam arti bahwa Yesus secara penuh menerima suatu ketergantungan personal seorang anak pada ibunya.[23] Putra mengkomunikasikan kepada Maria ketergantungan-Nya yang total kepada Allah. Komunikasih diri Allah Putra ini memungkinkan Maria menjadi Putri Allah Bapa. Dengan kata lain, Allah Putra mengkomunikasikan keputraan-Nya kepada Maria dan dengan demikian Maria memiliki sikap yang sama dalam relasinya dengan Allah Bapa. Ketiga, relasi Allah Roh Kudus dan Maria. Dalam Inkarnasi terwujudlah karya agung Roh Kudus, yaitu Allah-Manusia, Yesus Kristus. Karya agung ini merupakan buah kerja sama Roh Kudus dan Maria. “Allah Roh Kudus telah membentuk Yesus Kristus di dalam Maria, setelah lebih dahulu meminta persetujuan wanita ini” (BS 16).  Relasi antara Maria dan Roh Kudus ada pada level persekutuan cinta dan kerja sama. Allah Roh Kudus mengkomunikasikan dirinya kepada Maria sebagai Cinta yang mengikat Allah Bapa dan Allah Putra. Roh Kudus mengkomunikasikan dirinya kepada Maria sesuai dengan keunikannya itu, yakni mewujudkan “kesuburan” Allah Bapa dan “keputraan” Allah Putra dalam Inkarnasi. Jadi Maria mengambil bagian dalam karya Roh Kudus atau menjadi mempelai Roh Kudus dalam penjelmaan Allah Putra menjadi manusia. Karena itu Maria mengambil bagian dalam hidup Roh Kudus dengan cara yang sedemikian unik.  2.3 Maria Menjadi Bunda Allah Melalui Persetujuan Bebas Maria Jika di satu sisi Maria menjadi Bunda Allah karena inisiatif dan campur tangan Ketiga Pribadi Ilahi, di sisi lain itu juga karena konsekuensi dari persetujuan yang dinyatakan Maria secara bebas terhadap rencana Allah. Dalam buku Cinta dari Kebijaksanaan Abadi (CKA), Montfort menulis, “Tak mungkin diungkapkan dengan kata-kata, bagaimana dari satu pihak Allah Tritunggal Mahakudus menyatakan Diri-Nya penuh kemesraan kepada makhluk yang jelita ini, dan bagaimana dari pihak lain Maria penuh kesetiaan menjawabi karunia-karunia pencipta-Nya” (CKA 105) Montfort menyatakan bahwa Kebijaksanaan Ilahi ingin menjadi Manusia dalam Maria kalau Maria memberikan persetujuan (CKA 107). Dalam BS 16 Montfort menyatakan, “Allah Roh Kudus telah membentuk Yesus Kristus di dalam Maria setelah lebih dahulu meminta persetujuan wanita ini melalui salah satu malaikat agung”. Maria merupakan wanita yang – dengan imannya – menyetujui penjelmaan Kebijaksanaan Ilahi. Meskipun menyadari dengan sungguh bahwa inisiatif itu datang dari Allah, Montfort mengakui bahwa bahwa Allah tidak ingin meniadakan jawaban bebas, tanggungjawab, cita-cita dan aspirasi Maria.[24]  2. 4 Peran Maria dalam Hidup Gereja Montfort mengafirmasi bahwa peran Maria dalam hidup Gereja didasarkan pada perannya dalam Inkarnasi. “Pola bertindak yang diikuti Ketiga Pribadi Tritunggal Mahakudus saat penjelmaan, yaitu datangnya Yesus Kristus yang pertama kali, tetap dipegang mereka setiap hari di dalam Gereja secara tidak kelihatan. Sampai akhir zaman, yaitu saat datangnya Yesus Kristus yang terakhir kali, Mereka akan tetap setia kepada pola yang sama” (BS 22) Dari BS 22 ini kita bisa mengartikulasikan tiga implikasi yang hadir secara implisit. Pertama, peran Maria sebagai Bunda Allah dalam Inkarnasi berlanjut kini dalam misi keibuannya terhadap anggota Tubuh Mistik Kristus. Kedua, relasi antara Tiga Pribadi Allah Tritunggal Mahakudus dengan Maria merupakan model bagaimana masing-masing dari Tiga Pribadi Ilahi itu berelasi dengan kita dalam hidup rohani kita. Ketiga, cara Maria menanggapi komunikasi diri dari Tiga Pribadi Ilahi itu merupakan model bagi kita dalam menggapi komunikasi diri Allah dalam hidup rohani kita. Menurut Montfort, relasi Allah dan manusia yang tergambarkan pada Maria harus diperbaharui dalam hidup setiap manusia. Setiap orang dipanggil untuk masuk dalam relasi seperti itu.[25] Montfort mengaitkan keibuan Maria terhadap Sabda yang menjadi daging dengan keibuan spiritualnya terhadap kita dalam ketergantungan dan kerja sama dengan Tiga Pribadi Ilahi sebagaimana nyata dalam Inkarnasi. Dengan demikian kita menemukan kesatuan dan kesinambungan sejarah keselamatan. Dalam Inkarnasi Allah Bapa memberikan putra-Nya kepada dunia melalui Maria; kini pun ia memberikan Maria kemampuan untuk melahirkan semua anggota Tubuh Mistik-Nya (BS 16, 17). Dalam Inkarnasi Allah Putra lahir dari Maria dan tunduk kepadanya; kini dan sampai akhir zaman Dia tetap melanjutkan mukjizat-mukjizat-Nya melalui Maria (BS 16, 18, 19).  Dalam Inkarnasi, dengan persetujuan Maria Roh Kudus membentuk Kristus dalam Maria; kini bersama Maria dan dalam Maria Roh Kudus memberikan kehidupan kepada anggota-anggota Tubuh Mistik Kristus (BS 16, 20, 21). Bagi Montfort, segenap rencana keselamatan dilaksanakan sesuai dengan “hukum Inkarnasi” dan hukum ini menuntut kehadarian dan tindakan kebundawian Maria. Kehadiran dan tindakan kebundawian Maria ini adalah dalam rangka membentuk kita menjadi serupa dengan Yesus Kristus (Kristosentris): “Allah Bapa ingin sampai akhir zaman menciptakan anak-anak-Nya melalui Maria” (BS 29); “Allah Putra ingin dijadikan lagi setiap hari dan, katakanlah, menjelma menjadi manusia dalam anggota-anggota-Nya melalui Bunda-Nya yang terkasih” (BS 31). “Allah Roh Kudus mau membentuk orang-orang terpilih bagi diri-Nya di dalam Maria dan melalui Maria” (BS 34). Karena itu Maria menerima dari Tiga Pribadi Ilahi segala yang diperlukan untuk menjalankan misi kebundawiannya terhadap kita (BS 23-36). Allah Bapa menyimpan segala rahmat-Nya bahkan Putra-Nya sendiri pada Maria (BS 23). Allah Putra menyimpan pahala-pahala dan keutamaan-Nya pada Maria dan mengenakan kepada anggota-anggota-Nya melalui Dia (BS 24). Allah Roh Kudus memberi kepada Maria anugerah-anugerah yg tak terkatakan dan memilih Maria menjadi pembagi segala sesuatu yang dimiliki-Nya (BS 25). Bagi Montfort keibuan spiritual Maria bukanlah keibuan adoptif. Kita dapat sugguh mengatakan bahwa Maria melahirkan kita sebagai alter Kristus. Hal ini sangat ditekankan karena dilihat sebagai konsekwensi dari fakta bahwa Maria adalah Ibu dari Kepala anggota Tubuh Mistik. Montfort menulis, “Kalau kepala umat manusia, Yesus Kristus, lahir dari Maria, maka dengan sendirinya orang-orang terpilih, yang adalah anggota-anggota dari kepala itu, juga lahir dari wanita ini. Tidak mungkin ibu yang sama melahirkan kepala tanpa anggota-anggota, juga tidak mungkin anggota-anggota tanpa kepala” (BS 32). Seandainya keibuan spiritual Maria bersifat adoptif belaka, itu berarti Maria, dengan melahirkan Juruselamat, (hanya) secara tidak langsung “melahirkan” semua orang yang diselematkan oleh Yesus Kristus. Sesungguhnya keibuan spiritual yang dimaksudkan oleh Montfort adalah bahwa Maria secara personal dan sebulat-bulatnya melibatkan diri dalam keibuannya, bekerjasama dengan Tiga Pribadi Ilahi dalam rangkat melahirkan kembali kita menjadi serupa dengan Kristus.[26] [1] Paus Yohanes Paulus II, Kurnia dan Misteri, Jakarta: Obor, 1997, hlm. 32; bdk. Giovanni Paolo II, Dono e mistero, Città del Vaticano, Libreria Editrice Vaticana, 1996, hlm. 37 [2] Patrick Gaffney, S.M.M., “Mary” dalam Stefano De Fiores, S.M.M., – Patrick Gaffney, S.M.M., (ed.), Jesus Living in Mary: Handbook of the Spirituality of St. Louis Marie de Montfort, Bayshore, NY: Montfort Publications, 1994, hlm. 690-691. [3] Ibid., hlm. 690. [4] François Marie Léthel, O.C.D., “San Luigi Maria di Montfort dottore dell’amore di Gesù in Maria” dalam Battista Cortinovis, S.M.M., (ed.), Spiritualità Montfrotana 2, Roma: Centre International Monfortain, 2003, hlm. 6. [5] “San Luigi Maria di Montfort nella Chiesa di oggi e di domani”  dalam Battista Cortinovis, S.M.M., (ed.), Spiritualità Montfortana 1,Rome: Centre International Montfortain, 2003, hlm. 18. [6] Franҫois-Marie Léthel, O.C.D., “San Luigi Maria di Montfort dottore dell’amore di Gesù in Maria” Op. cit., hlm. 18 [7] “San Luigi Maria di Montfort nella Chiesa di oggi e di domani”, op. cit. p. 10. [8] Ibid., hlm. 19-20. [9] J. P. Michaud, “Bible”, dalam Stefano De Fiores, S.M.M.,  – Patrick Gaffney, S.M.M., (ed.), Jesus Living in Mary: Handbook of the Spirituality of St. Louis Marie de Montfort, Bayshore, NY: Montfort Publications, 1994, hlm. 112-113. [10] Franҫois-Marie Léthel, O.C.D., “San Luigi Maria di Montfort dottore dell’amore di Gesù in Maria”, op. cit., hlm. 17. [11] R. Deville, “The French School of Spirituality”, in Stefano De Fiores, S.M.M.,  – Patrick Gaffney, S.M.M., (ed.), Jesus Living in Mary: Handbook of the Spirituality of  St. Louis Marie de Montfort, Bayshore, NY: Montfort Publications, 1994, hlm. 437. [12] Ibid. [13] Ibid. [14] Franҫois-Marie Léthel, O.C.D., “San Luigi Maria di Montfort dottore dell’amore di Gesù in Maria”, op. cit., hlm. 16. [15] Patrick Gaffney, S.M.M.,  “Mary”, op. cit., hlm. 695. [16] C. Groenen, Mariologi, Teologi dan Devosi, Yogyakarta: Kanisius, 1988, hlm. 13. [17] Battista Cortinovis, Montfort Pilgrim in the Church, Roma: Missionari Montfortani, 1997, hlm. 119 [18] J.M. Hupperts, Pour elle, Série Immaculata 5, Secretariat Marie-Médiatrice, Louvain 1957, hlm 24. [19] Alphonse Bossard, S.M.M.,”True Devotion”, dalam Stefano De Fiores, S.M.M.,  – Patrick Gaffney, S.M.M., (ed.), Jesus Living in Mary: Handbook of the Spirituality of St. Louis Marie de Montfort, Bayshore, NY: Montfort Publications, 1994, hlm. 1224. [20] André Frossard, “Be Not Afraid!” Pope John Paul II Speaks Out on His Life, His Beliefs and His Inspiring Vision for Humanity, NY: St. Martin’s Press, 1982,  hlm. 124-27. [21] Patrick Gaffney, “Mary” Op. cit., hlm. 701. [22] Ibid., hlm. 702. [23] Alphonse Bossard, “Incarnation” dalam Sfano De Fiores, (general editor), Jesus Living in Mary, Bay Shore, NY: Montfort Publications, 1994, hlm. 546. [24] Wiel Logister, “God” dalam Sfano De Fiores, (general editor), Jesus Living in Mary, Bay Shore, NY: Montfort Publications, 1994, hlm. 473-475 [25] Wiel Logister, op. cit., hm. 473-475. [26] Patrick Gaffney, “Mary”, op. cit., hlm. 715.  

Bagikan: