Paroki SMM
Paroki adalah karya para Montfortan pertama di Indonesia. Karya misi paroki dilakukan para montfortan karena sesuai dengan kebutuhan umat pada saat itu. Terlebih ketika Keuskupan Sintang diserahkan kepada para Montfortan.
Karya parokial masing dijalankan oleh para Montfortan karena masih sesuai dengan kebutuhan umat. Bahkan paroki yang ditangani oleh para Montfortan, kini tersebar di beberapa keuskupan.
Paroki Hati Santa Perawan Maria Tak Bernoda, Putussibau
Pendirian Paroki
Pelayanan para misionaris di Putussibau sudah terjadi jauh sebelum paroki Putussibau terbentuk tahun 1939. Sebelumnya, yakni tahun 1938, Putussibau sudah mulai dilayani oleh para suster SMFA, yang menangani Rumah Sakit milik pemerintah Hindia Belanda. Menurut catatan sejarah, 3 orang suster pertama yang melayani Rumah Sakit Pemerintah Hindia Belanda di Putussibau adalah Sr. Xaveria, Sr. Bernadeta dan Sr. Dolorata. Para misionaris Kapusin yang tinggal di Bika juga melayani hingga Putussibau. Saat itu Putussibau belum menjadi sebuah paroki sendiri.
Tahun 1939, para misionaris Montfortan (SMM) tiba dari Belanda setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh. Mereka datang dari Belanda, berdasarkan permintaan resmi Vikaris Apostolik Kalimantan yakni Mgr. Van Valenberg. Penawaran kepada konggregasi Serikat Maria Montfortan untuk mengambil bagian dalam karya misi di Kalimantan Barat sudah terjadi sebelumnya tetapi baru bisa direalisasikan pada tahun 1939, setelah mendapat persetujuan dari Konggregasi Suci untuk penyebaran iman (propaganda fide), yang dinyatakan lewat suratnya tanggal 23 September 1938. Borneo adalah daerah misi kapusin.
Para misionaris Monttfortan pertama yang datang ke Indonesia adalah Br. Bruno, P. Linsen dan P. L’ortye.Mereka menggunakan kapal Laut Sibajak dari Marseille menuju Singapura dan dari Singapura mereka menumpang kapal “Khoen Hoa” menuju Pontianak.7 April 1939 mereka tiba di Pontianak.17 April 1939 mereka menuju Sintang, menyusur Sungai Kapuas dan tiba di Sintang pada 20 April 1939. 26 April 1939 mereka menuju Bika yang jaraknya kurang lebih 900km. Mereka tiba di Bika pada 29 April 1939. Bika adalah tempat pertama Misi SMM di Indonesia.Mereka tinggal di tengah masyarakat Dayak tradisional dengan aneka kebiasaan hidup yang dijalani. Para misionaris mulai berkarya di tengah suku Dayak tradisional. Ada yang tekun mempelajari Bahasa daerah, ada yang bergabung bersama-sama masyarakat dan minum “saguer” dan ada pula yang mempelajari budaya-budaya yang lainnya. Selain itu, aktivitas misi juga dilakukan; melatih koor, mengajar, mengobati orang sakit, membabtis, dsb.
Seperti yang telah dikisahkan sebelumnya, di zaman Kapusin, Putussibau dilayani oleh para Pater dari Bika. Mereka melayani suku Dayak dan membuka sekolah-sekolah di Melapi. Para tamatan sekolah-sekolah ini lalu meneruskan pendidikannya di “Standaardschool”, atau pun di sekolah pertanian, atau juga di seminari Nyarumkop. Anak-anak inilah yang kemudian hari diharapkan menjadi tenaga inti Paroki Putussibau. Sayang semua seminaris itu di masa perang dunia tidak bertahan dan berhenti bersekolah kecuali satu orang saja, yaitu Alois Ding, yang kemudian menjadi Montfortan Indonesia yang pertama.
Pada tanggal 10 Juni 1939 tadi – yaitu kira-kira setelah dua bulan para Montfortan tiba di Bika – Pater Linssen pindah ke Putussibau untuk bersama tiga orang suster SMFA melayani daerah Putussibau. Dasar utama kepindahan P. Linsen ke Putussibau adalah untuk mendampingi suster-suster SMFA yang setahun sebelumnya (1938) sudah mulai menangani Rumah Sakit Umum Putussibau atas permintaan Pemerintahan Hindia Belanda. 10 Juni 1939, Pater Linsen pergi ke Putussibau sekaligus untuk mengobati kakinya yang luka dan sejak saat itu mulai menetap di Putussibau. Di Putussibau, belum ada gedung Gereja dan Pateran. Sebagai penginapan, mula-mula P. Linsen menggunakan salah satu kamar di rumah penginapan milik pemerintah, namanya “pasanggrahan”. Namun, karena tempat itu kurang cocok, maka Ia pindah ke pavilyun rumah bapak kontrolir. P. Linsen tinggal di sana sampai Ia menemukan dan membeli rumah pengawas hutan. Rumah itu lebih tepat disebut pondok, karena hanya sebesar satu kamar dan dapur kecil. P. Linsen menyebut Pateran tersebut sebagai Pateran yang paling sopan dan menyenangkan untuk dikunjungi. Dalam catatan hariannya Ia menulis; “lantainya sudah begitu rusak, sehingga setiap ada tamu yang masuk, lemarinya pun langsung mengangguk dengan ramah”.
Pada waktu itu Kota Putussibau hanya dihuni oleh orang Melayu, Cina dan beberapa orang Eropa. Saat itu belum ada orang Dayak. Di luar tugas misioner bagi orang Daya, pater Linssen memiliki hubungan baik dengan para pegawai Melayu karena kursus bahasa Belanda dan kursus kesehatan yang ia berikan. Hubungan yang baik ini didukung oleh para suster yang berkarya di rumah sakit.
Sebagai Montfortan, Pater Linssen tinggal sendirian, sehingga secara rutin Pater Linssen sering pulang dengan sepedanya ke Bika untuk bergabung dengan para konfraternya. Sebagai komunitas mereka saling mengisahkan pengalamannya dan saling meneguhkan dengan doa bersama. Sebagai Pater paroki, Pater Linssen berusaha menjalin hubungan yang baik dengan para pegawai Melayu. Ia memberikan pelajaran bahasa Belanda dan ilmu kesehatan.
Pentahbisan Imam Dayak Pertama
10 Juni 1942 mulai tersiar kabar bahwa sekelompok perampok dari Jepang sedang mudik. Sementara itu, Kontrolir Davijdt di Putussibau memberitahukan bahwa mulai pkl. 08.00 pagi, kontak telepon dengan Bika telah putusatau tidak diangkat lagi. Seorang penduduk yang bernama Jon Sin yang baru pulang “sabung ayam” juga bercerita bahwa ia telah melihat kapal-kapal sedang berlayar mudik.
Satu catatan penting selama masa pendudukan Jepang adalah Pentahbisan Imam Dayak yang pertama yaitu Pater Aloysius Ding SMM putera Dayak Kayan Mendalam dari Kampung Tanjung Kuda. Ayahnya adalah seorang petani yang berperan sebagai kepala kampung. Pada saat itu, seluruh keluarganya berpegang pada kepercayaan animisme, tetapi setelah Ding ditahbiskan menjadi imam, ayah dan ibunya pun dibabtis. Pater Alois Ding begitu sebutan beliau, pada tanggal 13 Agustus 1945 diberi tonsura (pencukuran pusar kepala) dan tahbisan rendah oleh Mgr. Jamagutsi Uskup Nagasaki. Dua hari kemudian yaitu tanggal 15 Agustus 1945 menerima tahbisan sub diakonat, lalu tanggal 30 Agustus 1945 Pater Ding menerima tahbisan Diakonat. Selanjutnya pada tanggal 16 September 1945 Pater Aloysius Ding ditahbiskan menjadi Imam oleh Mgr. Leven SVD Vikaris Apostolik Flores. Dalam catatan hariannya P. Ding menulis: “ sebulan setelah pentabhisan, monsinyur memberi kami yurisdiksi supaya dapat mulai berkarya di di Paroki. Demikian para neomis (imam baru) diutus ke berbagai tempat di seluruh wilayah Flores. Aku menetap di seminari supaya dapat meneruskan pelajaran dan studi. Di sela-sela kegiatan belajar, aku juga disibukan oleh karya Pastoral…kadang-kadang menunggang kuda selamaberjam-jam melalui daerah-daerah yang bergunung-gunung dan ketika tiba di tujuan, walaupun sangat lelah dan mengantuk aku langsung mendengarkan pengakuan dari ratusan umat”.
Misionaris Pribumi Mulai Berkarya
Tahun 1995, tiba dua frater yang akan menemani tugas Pastoral parokial Pater Kees Smith di Putussibau yakni Frater Konradus Hancu, SMM dan Fr. Yohanes Gausana, SMM. Pada tahun yang sama, tepatnya 15 Agustus 1995, frater Konradus Hancu, SMM dan frater Mateus Juang, SMM ditahbiskan menjadi diakon oleh Mgr. Isak Doera bersama 4 diakon calon imam keuskupan Sintang. Upacara penahbisan dilaksanakan di Gereja Paroki Putussibau. Upacara tahbisan dilaksanakan dengan sangat meriah. Perarakan dilakukan mulai dari asrama Putra atau Gedung SMP Karya Budi yang lama (sekarang bruderan MTB).
Satu tahun berikutnya, 17 Maret 1996 Pater Konradus hancu dan Pater Mateus Juang di Putussibau oleh Mgr. Bumbun, OFM.Cap. Upacara tahbisan ini juga meriah dengan tari-tarian. Perarakan dimulai dari rumah Bpk. Rugin menuju Gereja Paroki. Liturgi pun meriah yang dikoordinasi Fr. Yohanes Gausana.
Tidak lama kemudian, 29 Juli 1996 Pater Kees Smith, SMM kembali ke Belanda. Kesehatannya semakin parah, terutama oleh kenyataan bahwa Ia terkena rematik dan penglihatan matanya yang sangat mundur. Rupanya, kondisi mata kanannya tidak bisa lagi tertolong, maka bersama pimpinan SMM Belanda, dibuatlah keputusan bahwa Pater Kees Smith harus menetap di Belanda, meskipun Ia sangat ingin untuk kembali ke Indonesia.
Sepeninggalan Pater Smith yang cuti ke Belanda, Paroki Putussibau untuk sementara waktu dilayani oleh Pater Mateus Juang, SMM. Saat itu, Pater Konradus Hancu SMM juga berangkat ke Flores untuk menghadiri misa perdana Pater Stef Seli, SMM yang baru saja ditahbiskan. Di tengah perjalanan pulang dari Flores untuk kembali ke Putussibau, Pater Konradus Hancu, SMM mendapat telepon dari Pater Piet Derckx, SMM-pimpinan SMM Indoensia saat itu- bahwa dia harus menjadi Pater paroki menggantikan Pater Smith. Pater kon cukup kaget dan hendak menolak karena masih terlalu muda dan tidak punya persiapan. Tetapi Pater Piet Derckx, SMM tetap pada keputusannya. Pater Konradus Hancu, SMM akhirnya menjadi misionaris pribumi pertama yang menjadi Pater paroki Putussibau.
Paroki Penampakan Tuhan, Siut
Paroki Penampakan Tuhan (Epifania) Siut-Melapi adalah hasil pemekaran dari Paroki Hati Santa Perawan Maria Tak Bernoda, Putussibau, berdasarkan Surat Keputusan No. 197/Par/79 dari tanggal 24 Agustus 1979 yang dikeluarkan oleh Mgr. Isak Doera. Dalam Surat Keputusan ini, Mgr. Isak Doera membuat pemekaran paroki-paroki dari 7 paroki menjadi 34 paroki. Pastor Jean Subra. OMI menjadi pastor paroki Siut-Melapi. Wilayah paroki ini meliputi wilayah Kecamatan Putussibau Selatan dari Batang Suai sampai Tanjung Lokang, yang terletak di Hulu Sungai Kapuas.
Tidak diketahui pasti kapan mulainya misi Katolik di daerah Siut dan Melapi. Catatan turne paroki Bika dan Putussibau sebelum tahun 1948 tidak ditemukan dalam arsip. Tetapi berdasarkan catatan turne Pastor Fulgentius, yang saat itu adalah pastor paroki Sintang, ia pergi ke Bika pada tanggal 23 Oktober 1932 untuk inspeksi sekolah. Karena kapal motor milik Bika sedang rusak, sehingga Pastor Fulgentius, Pastor Oktavianus, dan rombongannya harus berdayung menuju Melapi pada tanggal 25 Oktober 1932. Berangkat jam 04:45 pagi buta dan tiba di kampung Rumah Bok jam 20 malam. Karena tak dapat dilanjutkan lagi maka mereka harus berjalan kaki hingga tiba di Melapi pada jam 21 malam.
Tujuan para misionaris Kapusin pergi ke Melapi ialah untuk inspeksi sekolah misi di Betania. Karena sudah ada sekolah, maka sudah dapat dipastikan bahwa sudah ada kunjungan yang agak teratur ke Melapi sejak berdirinya Paroki Bika. Dari Melapi, dua Pastor kapusin ini melanjutkan perjalanan ke Padua di Mendalam, pada tanggal 27 Oktober 1932. Pastor Fulgentius, OFM Cap dan Pastor Flavianus, OFM Cap hendak ke Melapi lagi pada tanggal 22 Februari 1934, tetapi batal, karena guru yang mengajar di Melapi sakit dan diopname di Bika, ditangani oleh seorang dokter.
Daerah-daerah sekitar Putussibau, termasuk Siut dan Melapi sudah mulai dikunjungi secara teratur sejak berdirinya Paroki Putussibau tahun 1947. Pastor Hub Reijnders, SMM melakukan banyak kunjungan ke kampung-kampung di wilayah paroki Putussibau. Pastor Reijnders mengunjungi Melapi pada tanggal 22 Maret 1949 dan bertemu dengan seorang guru, yaitu Pak Bau. Beliau kembali mengunjungi Melapi pada tanggal 27 Juni 1949. Pastor ini kembali ke Melapi pada tanggal 23-24 November 1953 dan menikahkan Yohanes Dayut dengan Sarika. Tahun-tahun berikutnya kunjungan pastoral dari Putussibau menjadi lebih teratur karena sudah menjadi salah satu stasi penting dari paroki putussibau.
Paroki Santo Antonius dari Padua, Mendalam
Paroki St. Antonius Padua, Mendalam terdiri dari 10 stasi. Selain para imam, ada banyak tokoh umat yang berjasa dalam menumbuhkan Gereja di wilayah ini, antara lain, Tevo Ure, Ding Lata, Aki Sano, Paran Li, Yosef Usup, Paulus Bato, ljot, serta beberapa katekis, yaitu Yulius Pandi, Gregorius Seman, dan Agnes Ado.
Tidak ditemukan catatan kapan persisnya para misionaris mulai memasuki dan mewartakan injil ke wilayah Mendalam dan sekitarnya. Dari data berikut, dapat disimpulkan bahwa karya misi di Mendalam sudah mulai sejak berdirinya paroki Bika.
Dari laporan turne disebutkan bahwa Pastor Fulgentius, OFM Cap dan Pastor Oktavianus, OFM Cap mengunjungi Padua di Mendalam pada tanggal 27 Oktober 1932 dalam rangka melakukan inspeksi atas sekolah di sana. Pastor Fulgentius, bersama Pastor Gijsbers, OFM Cap dan Bruder Bertrandus, OFM Cap kembali melakukan inspeksi sekolah di Padua pada tanggal 15-17 Februari 1934. Dengan kata lain sudah ada sekolah Katolik di Mendalam pada tahun itu, yang mana harus diandaikan bahwa misi Katolik sudah masuk ke Mendalam sejak tahun-tahun sebelumnnya.
Pastor Harrie L’Ortye, SMM, Pastor Linssen, SMM dan Pastor Edmundus, OFM Cap yang tinggal di Bika berkesempatan mengunjungi Hulu Kapuas, masuk ke kota Putussibau dan sungai Mendalam, khususnya ke kampung Tanjung Karang dan Tanjung Kuda pada tahun 1939. Sejak berdirinya paroki Putussibau pada tahun 1947, maka kunjungan pastoral ke daerah Mendalam sudah mulai dilakukan lebih rutin
Pastor Hub Reijnders, SMM mengunjungi Mendalam beberapa kali pada tahun 1949, yaitu pada tanggal 15-18 Januari dan bertemu dengan guru Ingan Ding; tanggal 25 Januari; tanggal 19 April; tanggal 26 April; tanggal 4 Mei bersama dengan Pastor L vanden Boorn, tanggal 27-28 Mei. Tanggal 26 Januari dan 3 Maret 1949 Beliau ke Teluk Engkala, ada urusan sekolah dengan guru Abu.
Sejak tahun 1979, Mendalam menjadi sebuah paroki baru dengan pastor pertama yang bertugas ialah Pastor Aloysius Ding, SMM hingga tahun 1994. Di tempat ini pulalah Beliau meninggal dan dikuburkan pada tahun 1995.
Untuk memperlancar jalannya pelayanan umat, Paroki St. Antonius Padua, Mendalam membagi wilyah parokinya dalam 10 stasi. Pada umumnya, semua stasi dapat dilewati dengan kendaraan darat, kecuali beberapa stasi yang belum memiliki jalan darat, sehingga harus menggunkan sampan bermotor.
Paroki Santa Maria Ratu Rosario, Lebang
Gereja Santa Maria Rotu Rosario, di Lanjing Wilayah Lebang, khususnya Nanga Lebang sudah sering dikunjungi sejak berdirinya paroki Sintang pada tahun 1932. Bagian dalam (darat) paroki ini belum dikunjungi. Dari data laporan turne, wilayah hulu sungai Lebang pernah dikunjungi antara tahun 1953-1959.
Pada masa itu misi Katolik masih asing di wilayah sungai Lebang. Mulanya iman katolik masuk ke wilayah Lebang ini adalah diperkenalkan oleh seorang tokoh yaitu Bapak Petrus Djudi (alm). Beliau berasal dari kampung Bubur (wilayah Pelimping sekarang ini). Bapak Petrus Djudi ini merantau ke Sintang dan menjadi salah seorang pengurus PPD (Partai Persatuan Dayak). Selama dalam perantauan dan pergaulan bersama teman-teman, Beliau melihat iman Katolik dan merasa tertarik untuk mengikutinya. Pada tahun 1955 PPD tidak masuk dalam pemilu dan dibubarkan karena bersifat kedaerahan, maka Beliau pulang ke kampung dengan membawa keinginan untuk mengembangkan iman Katolik di kampungnya di Bubur.
Pada tahun 1957 di kampung Bubur, Bapak Petrus Djudi mulai memperkenalkan agama Katolik kepada keluarga-keluarga dekatnya, dan mulai dengan belajar katekumen bersama.Walaupun Bapak Petrus Djudi sendiri belum dibaptis, Beliau bisa membimbing keluarganya dalam masa persiapan katekumen ini. Tahun 1959, Pastor Vleuten berkesempatan masuk sepanjang sungai Lebang, dari tanggal 12-22 Maret 1959. Beliau mengunjungi kampung Nanga Lebang, Nanga Pintas, dan tanggal 17 Maret bertemu dengan Pak Djudi, berdayung terus ke hulu sungai, ke Pelimping Lanjing dan Bengkuang. Pada masa turne inilah Pastor Vleuten dan Pak Petrus Djudi. Pastor Vleuten kembali mengunjungi sepanjang sungai Lebang dari tanggal 21-1 Desember 1960.
Masa persiapan katekumen ini ternyata cukup lama. Baru pada tahun 1961 Pastor Van der Vleuten, SMM mengajak 9 orang katekumenat ini ke Sintang baptis di Gereja Katedral Sintang (data Baptisan tercatat di Paroki Katedral). Sembilan umat perdana ini adalah, Bapak Petrus Djudi, Ibu Lusia Enta, Bapak Alypius Gesang, Ibu Yosepha Sinda, Bapak Aloysius Sarap, Ibu Itut, Bapak Hiasintus Sekadang, Bapak Penggang, dan Bapak Yohanes Saka. Dari 9 orang ini yang masih ada hingga hari ini hanya tinggal 3 orang saja, sedangkan yang lainnya sudah meninggal.
Dari tahun 1960 wilayah Lebang ini sebagai salah satu stasi yang bergabung dengan Paroki Katedral Sintang mendapat pelayanan dua kali setahun oleh Pastor Van Vleuten, SMM. Beliau merupakan pastor pertama yang melayani stasi Lebang dan juga sebagai Imam Montfortan pertama yang melayani umat stasi Lebang.
Tahun 1961, Pastor van der Vleuten digantikan oleh Pastor van Cuyk, SMM. Pastor ini langsung mengunjungi sungai Lebang dari tanggal 6-16 januari 1961. Dalam turnenya dari tanggal 27 Desember 1961 hingga 15 Januari 1962, ada banyak sekali calon katekumen, yaitu 26 orang di Bengkuang, 40 orang di Belepung, 124 orang di Serangas, 7 orang di Sei Pukat, 84 orang di Sepan, 65 orang di Lanjing, dan 43 orang di Pelimpin. Pastor van Cuyck melayani hingga tahun 1967.
Pada tahun 1968 Pastor Piet Derckx, SMM menggantikan Pastor van Cuyk SMM. Beliau mulai dengan mendirikan Sekolah Dasar (dulu SR). SD ini masih eksis hingga sekarang yaitu yang kita kenal dengan SD Swasta Lanjing. Dengan dibukanya SD di Lanjing ini, Umat Katolik di stasi Lebang mengalami perkembangan yang sangat signifikan. Jumlah umat bertambah sangat pesat karena di sekolah juga diajarkan agama Katolik.
Pada tahun 1974 Pastor Cornelis J. Smit, SMM menggantikan Pastor Piet Derckx, SMM sebagai Pastor Lebang. Pastor Smit dikenal sebagai pastor yang sangat akrab dengan umat dan sangat rajin turne ke kampung-kampung. Pada tahun 1979, Stasi Lebang berubah status menjadi Paroki Lebang. Paroki ini mengambil nama Lebang karena wilayah Paroki ini berada pada daerah aliran sungai (DAS) Lebang, dari hulu sampai ke Nanga Lebang. Sebagai paroki baru, sejak tahun 1979, Pastor Kees Smit adalah Pastor Paroki Lebang yang pertama. Beliau melayani umat Paroki Lebang dari tahun 1974 hingga tahun 1995, alias selama 21 tahun. Umat paroki Lebang terutama kalangan tua-tua sangat terkesan pada pastor ini karena Beliau sangat membaur dengan umat dan kalau turne betah berlama-lama di kampung.
Tahun 1995, Pastor I. Widodo, SMM menggantikan Pastor Kees Smit, SMM. Beliau mulai memikirkan untuk mendirikan gedung gereja sebagai Gereja pusat paroki, karena di pusat paroki hanya memiliki sebuah kapel sederhana yang berdinding papan. Rencana ini akhirnya terwujud ketika Gereja pusat paroki selesai dibangun dan diresmikan pada tahun 1998 di Lanjing. Saat bersamaan juga memberi nama baru untuk paroki, yaitu Paroki Maria Ratu Rosari, Lebang, mengikuti nama pelindung Gereja pusat paroki. Sejak masih sebagai berstatus sebagai stasi dari paroki Katedral Sintang hingga sekarang, wilayah paroki Lebang dilayani oleh para imam Serikat Maria Montfortan (SMM).
Keadaan ekonomi umat Paroki Maria Ratu Rosari Lebang, pada umumnya adalah petani, khususnya karet. Belakangan ini juga mulai dimasuki oleh perkebunan kelapa sawit yang menyerap lahan yang sangat luas sehingga petani karet mulai sulit meluaskan kebun karet mereka. Pola hidup pun mulai berubah. Karena itu, Paroki, melalui Dewan Pastoral Paroki, tetap mendorong umat untuk pertahankan lahan yang masih ada untuk ditanami karet dan mengolah lahan rawa-rawa untuk dijadikan persawahan serta mulai dengan kolam untuk beternak ikan.
Paroki ini belum menghasilkan imam dan bruder, namun hingga tahun 2011 ini, paroki Lebang sudah menghasilkan 2 (dua) orang suster yang sudah berkaul dan 1 orang suster yang baru postulat serta 5 orang seminaris. Para suster berasal dari Paroki Lebang ialah, Sr. Indrawati, ALMA, yang bertugas di Medan, dan Sr. Marsinta, OSC Cap, seorang rubiah Kapusin yang bertugas di Sarikan.
Paroki St. Montfort, Poco
Pendirian Paroki
Paroki St. Montfort Poco diresmikan oleh Almarhum Mgr. Eduardus Sangsun, SVD pada 31 Desember 1999. Paroki ini terletak kira-kira 11 KM dari Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai. Paroki St. Montfort Poco mencakup empat stasi dan dua wilayah. Pelayanan bisa menggunakan kendaraan bermotor (sepeda dan mobil). Mata pencaharian umat umumnya adalah petani.
Taman Doa Poco
Paroki Santo Montfort Poco, telah berusia 16 tahun, namun paroki ini belum memiliki Gua Maria untuk meningkatkan semangat devosional umat kepada Bunda Maria, seturut semangat Pelindung Paroki – Bapa yang baik dari Montfort – yaitu Santo Montfort. Maka, muncullah beberapa pertimbangan awal berdirinya Gua Maria ini: pertama, kami teringat akan kisah Santo Montfort yang ketika usia remaja sangat mencintai doa dan devosi kepada Bunda Maria. Setiap setelah selesai misa, ia selalu berdoa di depan patung Bunda Maria yang berada disamping gereja. Kedua kami teringat kisah tulisan Santo Montfort “Melalui Santa Perawan Maria, Yesus Kristus telah datang ke dunia. Melalui Maria pulalah Dia harus berkuasa di Dunia” (BS No.1). Ketiga, adanya dorongan dari para konfrater yang mengingatkan supaya ada kekhasan bagi paroki yang dilayani oleh Serikat Maria Montfortan. Keempat, keadaan dan situasi pohon beringin yang sudah bertumbuh besar sehingga akarnya merusak lantai gereja paroki. Maka, pohon ini harus ditebang dan kemudian diubah menjadi taman doa, yakni di sisi kanan gereja dari arah pintu masuk Gereja St. Montfort Poco. Rencana pemotongan dan pembanguan taman doa itu muncul tanggal 21 September 2016 ketika saya sedang berada dalam kegelisahan pribadi yang tak bisa beristirahat siang dan langsung dieksekusi tanggal 22 September 2016 (Pohon beringin dan kemiri dipotong).
Antara Gua dan Taman Doa
Ketegangan terjadi ketika kami hendak memulai pembangunan. Antara memilih membangun Gua Maria atau membangun Taman Doa dengan atap ijuk. Membangun Gua Maria rasanya sulit karena dana tidak cukup dan tiadanya tempat berlindung ketika berdoa diwaktu hujan. Akhirnya, pilihan jatuh pada yang kedua yakni membangun Taman Doa dengan atap ijuk. Mengapa atap ijuk? Karena umat di Paroki St. Montfort Poco memiliki pohon enau/aren. Namun faktanya, justru kami susah mendapatkan ijuk lagipula harganya mahal. Mengingat modal keuangan paroki sedikit maka kami memilih membangun Taman Doa dengan atap seng.
Apa yang bisa dibuat untuk membaharui semangat umat Allah
Sebagai Pastor Paroki Santo Montfort Poco, saya selalu dan selalu bertanya diri “apakah yang bisa kami bertiga (Pater Jack, Diakon Martin, SMM dan Frater Salves, SMM) lakukan demi membawa umat pada sebuah pembaharuan hidup? Apakah hanya sebatas pelayanan rutinitas saja?” Dengan penuh keyakinan kami akan menjawab “Tidak”. Sebuah pembaharuan hidup tentu lebih penting dari pada sebuah pelayanan yang rutinitas saja. Pemharuan hidup tentu memiliki dua makna penting, yakni: 1) pembaharuan ke arah yang lebih baik sesuai dengan kehendak Allah dan 2) sebaliknya, ke arah yang tidak baik kalau hanya mengandalkan kehendak sendiri. Karena itu perlu untuk mendengarkan Tuhan yang hadir dalam diri sesama, baik konfrater maupun para pengurus dan umat Allah. Dengan membuka diri melalui komunikasi bersama dengan orang muda khususnya Jery dan Evan, kami membuat sebuah perencanaan untuk membuat taman doa dan Jery membuat gambar taman doa dengan ukuran panjang 8 meter dan lebar 4 meter. Dengan gambar dan ukuran yang ada kami memberanikan diri untuk menyampaikan kepada tukang yang akan mengerjakannya, yakni Bpk. Ignatius, Bpk. Marsel, Bpk. Lius, serta Yul. Keempat orang ini memulai pembangunan Taman Doa. Material batu pasir, semen, besi, kami pesan melalui umat di Tengkuk Tok 1 yakni Bpk. Maksi. Modal atau dana awal 7.000.000 rupanya tidak mencukupi terutama pada awal pembangunan (1 bulan pertama yaitu bulan September). Sebagai solusi, awal bulan Oktober kami memberkati lilin dan membagikan lilin kepada 18 KBG di wilayah 1-4 (Pusat Paroki) dan mereka harus membayar. Maka, pada awal November uang lilin selama Doa Rosario terkumpul sebesar 6 juta. Selain itu, umat secara pribadi memberi sumbangan berupa uang dan material, antara lain, pasir. Selain itu kami juga mendapatkan bantuan dari beberapa orang di Jakarta. Berbekalkan kerjasama yang baik dari tukang dan juga umat yang kerja bakti pembangunan Taman Doa serta pengerjaan tangga dapat diselesaikan setelah hari Raya Natal. Ada sukacita ketika melihat perkembangan pembangunan, umat terlibat ambil bagian untuk menyelesaikan pembangunan Taman Doa secara fisik, mengajak umat, KSM, Kelompok “Ca Nai: Sehati ” (kumpulan para orang tua yang anaknya di Seminari Menengah, Aspiran, Postulan, Novisiat, Seminari Tinggi, suster, frater, bruder dan imam yang berasal dari Paroki Poco untuk berdoa bersama agar pembangunan taman doa dapat terselesaikan dengan baik. Namun ada juga rasa duka yakni begitu banyak dana yang dikeluarkan untuk tukang, material, dll. Bersyukurlah pada tanggal 31 Desember 2016, bertepatan dengan ulangtahun paroki yang ke-17 kami memberkati Taman Doa Maria Pengantara Segala Rahmat, yang didahului dengan acara adat Manggarai “Kebeng” pada tanggal 30 Desember 2016. Kami mendapat sumbangan patung Bunda Maria Kerahiman Ilahi, dari seorang bapak di Jakarta, dan patung dibuat di Yogyakarta. Pada tanggal 23 Januari 2017, patung tiba di Poco. Pada tanggal 29 Januari 2017, Patung Bunda Maria diberkati di Gereja. Pembangunan Taman Doa ini menghabiskan dana sebesar 76.000.000. Kini taman doa sudah dapat digunakan untuk meningkatkan devosional umat kepada bunda Maria. Kelompok KSM Poco menggunakan sebagai tempat pertemuan bersama setiap minggu ke-3 dalam bulan. Pembangunanan Taman Doa sudah selesai dan digunakan tetapi umat tetap memberikan masukan untuk penataan selanjutnya yakni menyediakan tempat untuk kolekte, tempat untuk mentahtakan lilin dan juga membuat pagar sehingga membuat umat lebih aman dan tenang untuk berdoa di Taman Doa. Jalan yang terbaik untuk menjadikan diri sebagai pembawa pembaharuan adalah percaya kepada Allah Tritunggal Mahakudus dan berjalan bersama Maria serta membangun kerjasama yang baik dengan sesama, umat Allah, tegas, jujur dan terbuka.
Mengandalkan Allah Saja melalui Maria dalam tangan kasih sesama
Perencanaan pembangunan Taman Doa, boleh dikatakan hanya bermodal nekat. Tidak punya modal atau dana yang besar hanya sedikit saja. Hanya bermodalkan pemberian Allah melalui orang lain, yang memberi dengan tulus hati. Seraya mustahil untuk dapat terselesaikan dengan baik, namun bagi Allah tidak ada yang mustahil. Jika mengandalkan Allah dan memasrahkan diri ke dalam tangan kasih Bunda Maria pasti dan yakin akan membuahkan hasil yang membahagiakan. Maka ingatlah kata-kata Bunda Maria “Apa yang dikatakan kepadamu, buatlah itu” (Yoh. 2:6). Inilah tanda pertama di Kana, yang membuat para murid percaya. Percayalah bahwa kehendak Allah akan terlaksana dalam setiap karya pelayanan jika selalu mendengarkan Tuhan: “FirmanMu Pelita Bagi Kakiku dan Terang Bagi Jalanku (MZM 119:105).
Akhirnya…
“Bersukacita dalam Tuhan, bersukacitalah. Karena Dialah yang membuat semua rencana manusiawi kita dapat terselesaikan dengan baik dan semuanya indah pada waktunya. Bersyukurlah selalu dalam tiap langkah hidup, karya dan pelayanan dan terimalah setiap berkat dan kesempatan yang Tuhan anugerahkan, dan berdoalah selalu bagi mereka yang telah memberikan sumbangan apapun bagi hidup kami”. Itulah ungkapan doa, syukur dan pujian yang dapat umat Paroki St. Montfort haturkan kepada Tuhan atas berkat dan kasihNya bagi kami pada tahun Kerahiman Ilahi serta Tahun Liturgi bagi kami Umat Allah Keuskupan Ruteng. Kini kami mulai memasuki Tahun 2017 sebagai Tahun Pewartaan. Umat Allah Paroki St. Montfort Poco mulai bangkit dan membaharui hidup dengan terlibat ambil bagian dalam ekaristi, ibadat, doa serta kegiatan bersama di tingkat KBG, Stasi, Wilayah, Paroki dan Keuskupan. Berkat Tuhan dan doa bunda Maria Pengantara segala Rahmat menyertai kami umat Paroki St. Montfort Poco.
Paroki St. Antonius, Mbeling
Pada, Minggu 24 Agustus 2014, sebuah babak sejarah baru terjadi di Gereja St. Antonius Padua, Mbeling, Keuskupan Ruteng, Kecamatan Borong – Kab. Manggarai Timur. Paroki ini memiliki delapan stasi dengan jumlah umat: 7691 jiwa. Paroki ini berjalan tanpa seorang pastor kepala sejak tahun 2009, namun dilayani Romo Mus, Pr dan Pater Stef, SVD. Umat Paroki Antonius Padua Mbeling membuka diri terhadap perubahan yang terjadi dengan diserahkannya paroki itu menjadi tanggung jawab misionaris Serikat Maria Montfortan.
Tanggal 24 Agustus 2014, P.John, SMM diterima sebagai seorang pastor kepala paroki dan dibantu P. Frans Borgias, SMM. Rm. Mus, Pr menyerahkan tugas estafet ini kepada P. John Suri, SMM dalam sebuah perayaan paroki mbeling Ekaristi bersama umat. P.John Suri, SMM dalam sambutannya saat upacara serah terima itu berkata “Kalau ditanya kepada saya, di manakah kekayaanmu? Maka saya akan menjawab dengan mengutip kata-kata Santo Diakon Laurensius, bahwa inilah kekayaan yang saya miliki, sembari menunjuk ke arah umat. Perayaan Ekaristi ini dipimpin oleh romo Vikep Borong, Rm. Simon Nama, Pr. Sebagai perwakilan Gereja lokal, Rm.Simon menyampaikan ucapan terima kasih kepada P.Stef, SVD dan Rm.Mus, Pr yang telah membimbing karya pastoral di paroki Mbeling walau tanpa seorang pastor kepala paroki. Romo Simon juga mengucapkan selamat bertugas kepada Serikat Maria Montfortan, khususnya kepada P. John,SMM yang diutus untuk menjadi pastor paroki Mbeling. Sementara itu, P.Stef Seli, SMM yang mewakili pimpinan Serikat Maria Montfortan saat itu, menyampaikan pesan berupa ucapan terima kasih dari Pater Provinsial Serikat Maria Montfortan kepada umat di paroki Mbeling yang bersedia menerima kehadiran Serikat Maria Montfortan, khususnya P.John,SMM sebagai pastor paroki dan permohonan maaf atas ketidakhadiran Pater Provinsial dalam upacara penyerahan Paroki Mbeling untuk menjadi tempat karya misi Serikat Maria Montfortan. Rm. Simon, Pr yang menjadi selebran utama perayaan Ekaristi pagi itu didampingi oleh beberapa imam lain dari Serikat Maria Montfortan, seperti P.Fidelis, SMM, P.Marsel Lobi, SMM, P.Marsel Ngebu, SMM, P.Jack,SMM.
Paroki St. Petrus Kanisius, Kandui
Bersamaan diresmikannya Paroki St. Montfort PIR Butong, Mgr. A. Sutrisnaatmaka, MSF menyerahkan Paroki St. Petrus Kanisius, Kandui, kepada SMM. Dengan demikian, Paroki St. Petrus Kanisius menjadi wilayah pastoral SMM sejak September 2013. Sebelumnya umat Paroki St. Petrus Kanisius dilayani tim pastoral Paroki Muara Teweh. P. Ignasius Widodo, menjadi Pastor Paroki, baik Paroki St. Montfort PIR Butong maupun Paroki St. Petrus Kanisius, Kandui. Paroki Petrus KanisiusJadi, konfrater SMM membentuk satu komunitas, namun melayani dua paroki. Tim pastoral untuk kedua paroki ini adalah: P. Ignasius Widodo, SMM (Pastor Paroki St. Montfrot PIR Butong dan Paroki St. Petrus Kanisius), P. Kosmas Ambo Patan, P. Ariston, P. Frumens, Bruder Niko. Namun, dalam perjalanan waktu, P. Kosmas Ambo Patan diangkat menjadi pastor Paroki PIR Butong terhitung sejak pertengahan 2015. Dia dibantu P. Frumens (2015-2016). Awal Agustus 2016 P. Ariston pindah dari Kandui ke Bandung. Saat ini, konfrater SMM yang berkarya di Paroki Kandui adalah: P. Ignatius Widodo, SMM (Pastor Paroki), P. Stef Seli, SMM (September 2016-….) dan Bruder Niko Narimo, SMM.
Katekese Lewat Gambar
Paroki St. Petrus Kanisius Kandui membangun tembok bagian depan paroki. Namun, pembangunan tembok ini bukan sekadar memagari paroki tetapi juga bahan katekese. Artinya, bangunan ditembok penuh dengan gambar-gambar yang terinpirasi dari Kitab Suci. Sehingga, ketika umat melihat salah satu gambar, mereka dapat “bertemu” dalam ingatan akan tokoh atau kisah dibalik lukisan itu. Menurut P. Ignatius Widodo, SMM, ide ini muncul dari kesadaran bahwa katekese di jaman ini tidak hanya dilakukan lewat “kata-kata yang terucap” seperti pertemuan, retret, seminar, tetapi juga lewat gambar atau lukisan. Waktu yang dibutuhkan untuk membangun pagar tembok bergambar ini adalah dua bulan (Mei-Juni 2017). Lihat beberapa gambar berikut ini.
Paroki St. Montfort PIR Butong
Paroki St. Montfort PIR Butong diresmikan oleh Mgr. A. Sutrisnaatmaka, MSF (Uskup Keuskupan Plangka Raya) pada 1 September 2013. Nama St. Montfort yang menjadi nama pelindung paroki ini didedikasikan untuk menandai kehadiran karya SMM secara definitif di Keuskupan Palangka Raya.PIR Butong Maka sejak peresmian ini, terbentuklah suatu komunitas pastoral SMM di PIR Butong dengan Pastor Parokinya, P. Yusup Gunarto dan dibantu P. Kosmas Ambo Patan, sebagai pastor rekan, ditambah Bruder Niko Narimo dan Fr. Ryan, SMM (Frater TOP). P. Yusup Gunarto tidak lama menjadi pastor paroki di sini, karena ia pindah ke Purwokerto pada awal tahun 2014. Sebagai gantinya, P. Ignatius Widodo SMM diangkat Provinsial untuk menjadi pastor Paroki St. Montfort PIR Butong. Saat ini, P. Ignasius Widodo, SMM didampingi P. Kosmas, SMM (Bulan Agustus 2013. Sebelum paroki ini diresmikan P. Kosmas sudah bertugas di Paroki Muara Teweh sebagai pastor rekan); P. Ariston, SMM (mulai tahun 2013), P. Frumens (mulai Agustus 2014-Agustus 2016), Bruder Niko (sejak tahun 2013). Frater TOP (2015) adalah: Theodorus Meko Koten, SMM dan Frater Top Tahun 2016 adalah Fr. Oris Goti, SMM (undur dari SMM 2017). Tahun 2015, P. Kosmas diangkat menjadi pastor Paroki PIR Butong dan P. Yohanes Baptista Waja, SMM menjadi pastor rekan sejak Juli tahun 2016.
Paroki St. Antonius Padova, Pasuruan
Masa Sebelum Terbentuk Paroki
Agama Katolik masuk ke Nusantara secara resmi ditandai dengan kedatangan dua pastor Yesuit yaitu pastor Jacobus Nelissen dan pastor Libertus Prinssen pada 4-4-1808 di Batavia.
Semula seluruh Hindia Belanda merupakan ”daerah misi” dengan status adalah Prefektur Apostolik Betawi. Pastor Jakobus Nilissen sebagai Prefek Apostolik Pertama. Status Perfektur ditingkatkan menjadi Vikariat Apostolik Betawi dengan Pastor Yakobus Groff sebagai Vikaris Apostolik Pertama (20 September 1842) yang meliputi hampir seluruh wilayah Nusantara (Hindia Belanda)
Sekitar tahun 1880 sudah muncul usulan agar Vikariat Apostolik Betawi (yang tunggal) dimekarkan dan bagian-bagiannya dipercayakan kepada Ordo-ordo Religius. Namun baru di antara tahun 1902-1919 banyak wilayah dipisahkan dari Vikariat Apostolik Betawi dan diangkat sebagai Prefektur otonom. Vikariat Apostolik Betawi tinggal meliputi Pulau Jawa saja. Pemekaran kemudian berlanjut dengan dibentuknya propinsi-propinsi gerejani di Pulau Jawa.
Sejak tanggal 19 Pebruari 1923, daerah misi yang dipercayakan kepada Ordo Karmel adalah wilayah bagian timur Jawa Timur meliputi Karesidenan Malang, Karesidenan Besuki dan Pulau Madura dengan pulau-pulau kecil di sekitarnyamerupakan cikal bakal terbentuknya keuskupan malang yang dimulai dengan diresmikan.
Pada tanggal 3 Agustus 1923 diadakan acara “serah terima” antara imam-imam Yesuit dengan para Imam Karmel. Pada tanggal 10 Mei 1927, daerah misi ini ditingkatkan menjadi Prefektur Apostolik Malang oleh Paus Pius XI dan Pastor Clemens van der Pas, O. Carm diangkat menjadi Prefek Apostolis Malang pertama. Pelantikannya dilakukan pada tanggal 20 Nopember 1927 oleh Mgr. A.P.F. van Velzen, SJ (Vikaris Apostolik Betawi).
Pembangunan Gedung Gereja
Sebelum menjadi paroki, Pasuruan merupakan stasi dari Gereja Permanent yang dikunjungi secara tetap sejak 1825. Gedung gereja ini lebih tua dari Gereja Hati Kudus Kayutangan Malang (tahun 1906) dan Gereja Lawang (tahun 1916).
Gedung gereja dibangun atas sumbangan seorang dermawan bangsa belanda yang bernama Alexander Manuel Anthonijs. Anthonijs adalah seorang pengusaha sukses yang juga merupakan pegawai Proefstation Oost Java (POJ) yang sekarang bernama Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI). Karena Santo Antonius dari Padova merupakan pelindung keluarga Anthonijs, maka gereja katolik di Pasuruan juga diletakkan di bawah perlindungan Santo Antonius Padova. Pada tanggal 28 Juli 1895, gedung gereja ini diberkati oleh Mgr. W.J. Staal, Uskup Batavia (sekarang Jakarta) seperti tercantum pada prasasti marmer yang terdapat didekat pintu masuk utama gereja lama sebagai berikut:
DEZE KERK GESTICHT DOOR DE MILDDADIGHEID VAN DEN WEG. HEER ALEXANDER MANUEL ANTHONYS WERD INGEZEGEND DOOR DEN TIT. BISSCHOP V. MAURICASTRO W. J. STAAL 28 JULY 1895
Yang terjemahannya adalah: Gereja ini, pembangunannya berkat kedermawanan dari Tuan Alexander Manuel Anthonys diberkati uskup kehormatan (titulair bishop) dari Mauricastro W.J. Staal pada 28 Juli
1895.
Pembentukan dan Perkembangan Paroki
Sejak berdirinya gedung gereja, kurang lebih selama 28 tahun umat dikunjungi oleh pastor dari dengan naik kuda dari Surabaya menuju Pasuruan. Pada tahun 1923, ketika imam karmelit diberi tugas untuk bekerja di wilayah residensi Malang, Besuki, dan Pamekasan. Pada tahun 1924, stasi Probolinggo didirikan. Sejak itu Gereja Pasuruan dikunjungi pastor dari Probolinggo satu bulan sekali.
Pada tahun 1931, gedung pastoran dibangun dengan biaya 1200 gulden. Pada 31 Januari 1932 Pasuruan diberi seorang pastor yang menetap yaitu Romo Gregorius Jongmans, O Carm. Lalu status Pasuruan ditingkatkan dari stasi menjadi Paroki. Setelah menjadi paroki, maka pelayanan pastoral seperti baptisan, krisma, komuni pertama, kematian, perkawinan dan lain-lain boleh dicatat setempat di paroki sendiri, tidak lagi harus dicatat di Gereja Kayutangan Malang yang sebelumnya merupakan gereja induk stasi Pasuruan.
Adalah suatu hal yang menarik dan merupakan keindahan tersendiri kalau tanggal berdirinya sebagai paroki disatukan dengan tanggal peringatan santo pelindungnya. Maka ditetapkan tanggal 13 Juni sebagai Hari Raya Paroki Pasuruan dan tanggal 13 Juni 1932 adalah Hari Raya Paroki Pasuruan yang pertama (lihat serba-serbi).
Pada tahun 1932 itu, tepatnya tanggal 13 Februari 1932 tercatat di buku baptis, seorang baptisan pertama bernama Santy Lily, anak dari Lodewijk Jacob B. Memang pada waktu itu umat katolik Pasuruan kebanyakan orang eropa. Akan tetapi pada tanggal 31 Maret 1934 tercatat nama Betty Djie Kiem Hwa (sekarang Oei Siem Kwie) sebagai orang Pasuruan pertama yang dibaptis. Sejak saat itu umat Pasuruan makin berkembang.
Mulai dari tahun 1932 sampai sekarang terdapat 23 pastor yang pernah bertugas di Paroki Santo Antonius Pasuruan, baik sebagai pastur kepala maupun sebagai pastur pembantu. Nama dan masa tugas gembala umat di Pasuruan disajikan pada Tabel tersendiri.
Seiring dengan perkembangan umat, gedung gereja pun berkembang. Dimulai tahun 1975, gedung gereja baru dibangun pada masa Romo Harmelijnk. Peletakan batu pertama dilakukan oleh Bapa Uskup Mgr. F.X. Hadisoemarto pada tanggal 28 Juli 1975, sehari setelah peringatan sepuluh windu Gereja Santo Antonius yang kala itu diperingati tanggal 27 Juli 1975. Gereja baru diberkati Bapak Uskup pada 4 April 1976.
Pada masa Romo Hudiono, tahun 1993 kursi gereja yang terbuat dari besi dan spon diganti dengan kursi kayu yang ada tempat berlutut. Genting gereja lamapun diganti baru. Gedung pastoran juga direnovasi. Di bagian belakang pastoran dibangun gedung bertingkat dua yang digunakan sebagai kantor dan ruang rapat. Pada tahun 1995 dalam rangka perayaan 100 tahun gedung gereja, dibangun gapura yang kokoh ke arah jalan Balaikota. Pada masa Romo Hudiono digalakkan kecintaan umat untuk membaca kitab suci.
Perkembangan Paroki Masa Kini
Pada kurun waktu 1999-sekarang yaitu pada masa penggembalaan Romo Irwanto, banyak pembangunan fisik dilakukan diantaranya penggantian lantai gereja baru, perbaikan dekorasi dan desain altar serta pembangunan aula Saint Peter, yang menempel dengan pastoran gereja. Tidak hanya gereja di Pasuruan, Kapel di Stasi Bangil pun direnovasi dan dilengkapi dengan berbagai sarana seperti lukisan jalan salib, aula, ruang kantor, organ dan sebagainya.
Tidak hanya berupa pembangunan fisik, pada masa ini tercatat perkembangan kegiatan menggereja yang signifikan. Seiring perkembangan demokrasi di Indonesia, pemilihan pengurus dewan paroki dan lingkungan juga dilaksanakan dengan demokratis.
Paroki Pasuruan meliputi wilayah Kota Pasuruan dan sebagaian wilayah Kabupaten Pasuruan. Sekarang ini secara gerejawi dibagi menjadi 13 lingkungan dan 2 stasi. Pada mulanya nama-nama lingkungan tidak terlihat keteraturannya. Seiring dengan himbauan untuk berdevosi kepada pelindung, baik pribadi, maupun kelompok seperti lingkungan. Pada tahun 2001, disepakati perubahan nama lingkungan dan mengacu kepada murid-murid Yesus yang awal. Perubahan nama disajikan pada tabel. Seiring dengan perubahan nama ini, tiap tanggal pesta pelindung, lingkungan-lingkungan mengadakan devosi dan perayaan.
Secara akta notarial BPGDA, nama resmi Paroki Pasuruan adalah ‘St. Antonius”. Untuk memperjelas karena banyak orang kudus bernama ”Antonius” maka yang digunakan sehari-hari adalah nama ”St. Antonius Padua”. Pada masa Romo Irwanto nama tersebut disesuaikan dengan nama asli kota di Italia menjadi St. Antonius Padova. (Lebih jelasnya lihat serba serbi).
Paroki St. Montfort, Monterado
Sejarah baru tercipta dalam peziarahan Gereja Katolik Keuskupan Agung Pontianak dan juga Serikat Maria Montfortan Provinsi Indonesia. Pada hari ini, sebuah paroki baru terbentuk di bumi Borneo bagian barat, tepatnya di Kecamatan Monterado, Kabupaten Bengkayang, Provinsi Kalimantan Barat. Hadir di dalam perayaan ini, Bupati Bengkayang, Ketua DPRD Bengkayang, Provinsial SMM Indonesia, dan Uskup Agung Pontianak serta ratusan umat separoki St. Montfort Monterado.
Sejarah Singkat
Paroki St. Montfort Monterado sebelumnya bernama Stasi St. Mikael Monterado yang berinduk ke paroki St. Yosef Samalantan. Sebelum para Montfortan masuk, reksa pastoral di stasi ini seluruhnya ditangani oleh para imam yang berkarya di paroki St. Yosef Samalantan. Montfortan masuk dan berkarya di wilayah Keuskupan Agung Pontianak bersumber pada permintaan Mgr. Agustinus Agus, Uskup Agung Pontianak. Serikat merespons dan menjawab permintaan itu yang ditandai dengan pengutusan Pastor Stefanus Seli, SMM ke Paroki St. Yosef Samalantan pada tanggal 18 Januari 2020. Beliau mendapat tugas sebagai pastor rekan dan tinggal di Pastoran Samalantan bersama RD. Indra Lubis, Pr, dan RD. Surip, Pr.
Dalam rangka menguatkan dan memperlancar karya pastoral, SMM Indonesia mengutus Frater David Rabim, SMM medio Agustus 2020 untuk menjalani Tahun Orientasi Pastoral di Paroki St. Yosef Samalantan. Pastor Stefanus Seli, SMM dan Fr. David Rabim, SMM pindah dari pastoran Samalantan ke Pastoran Monterado pada 01 Januari 2021. Tanggal itu menjadi awal dimulainya pemisahan karya misi dan reksa pastoral antara Samalantan dan Monterado. Para Montfortan yang menjadi perintis karya misi di Monterado bertanggunjawab penuh bagi keberlangsungan seluruh pelayanan pastoral di semua wilayah yang secara administratif ada di wilayah Kecamatan Monterado. Selain itu, mereka mendapat tugas untuk menyiapkan peralihan Stasi St. Mikael Monterado menjadi Kuasi paroki dan menjadi Paroki.
Tanggal 07 Februari 2021, Stasi St. Mikael Monterado berubah status menjadi Kuasi Paroki. Uskup Agung Pontianak, Mgr. Agustinus Agus hadir dalam perayaan itu dan nama pelindungnya pun berubah dari St. Mikael menjadi St. Montfort. Dengan demikian, nama tempat misi yang baru ini ialah Kuasi Paroki St. Montfort Monterado. Dalam perayaan itu, Mgr. Agus secara resmi mengangkat Pastor Stefanus Seli, SMM sebagai pastor kepala kuasi paroki St. Montfort Monterado. Di dalam perayaan itu, Bapak Uskup Agung Pontianak meminta tanggal yang cocok bagi perayaan peresmian dari kuasi menjadi paroki. Pada saat itu juga, Pastor Stef, SMM memilih tanggal 20 Juli 2021 sebagai waktu yang tepat bagi keberlangsungan perayaan peresmian. Pemilihan tanggal itu didasarkan pada peristiwa bersejarah dalam Serikat Maria Montfortan sebab pada tanggal itu, Bapa Pendiri, Santo Monfort digelari kudus (kanonisasi) di dalam Gereja, tepatnya Pada tanggal 20 Juli 1947 oleh Paus Pius XII. Tim pastoral Monterado mendapatkan suntikan tenaga baru setelah pimpinan provinsi mengutus Diakon Hironimus Edison, SMM sebagai anggota tim pastoral Monterado. Diakon Hiro tiba di Monterado pada tanggal 15 Juni 2021.
Perayaan Peresmian
Langit Monterado pada hari ini tampak dipenuhi awan. Sinar matahari pagi yang cerah dari ufuk Timur menyengat langsung ke kulit tubuh dan membuat semua orang bermandi keringat. Umat-umat dari stasi-stasi yang ada di paroki Monterado serta para tamu undangan mulai berdatangan satu per satu ke Gereja. Semua berkumpul di dalam gedung gereja dan di halaman luar gereja sambil menunggu kehadiran Bapak Bupati Bengkayang, Rombongan DPRD Bengkayang dan Provinsi Kalimantan Barat, Bapak Uskup Agung Pontianak, Pater Provinsial SMM, serta pastor kepala Paroki Monterado yang bersiap-siap di Kantor Desa. Mereka membicarakan satu dan lain hal sambil menunggu dimulainya perayaan Ekaristi dengan judul Syukur Peresmian paroki yang akan dimulai pukul 09.00 WIB.
Perayaan Ekaristi yang dipimpin langsung oleh Mgr. Agustinus Agus berlangsung lancar dan khidmat. Belasan Imam dari keuskupan dan paroki-paroki tetangga serta para montfortan dari Sintang turut hadir memeriahkan perayaan Ekaristi yang berlangsung dengan meriah dan megah. Koor pun menyanyikan lagu-lagu dengan sangat meriah dan merdu diiringi musik-musik dan tarian-tarian yang meriah. Perayaan Ekaristi berlangsung hingga pukul 12.00. Perayaan ini juga ditandai dengan pelantikan para pengurus Dewan Pastoral Paroki St. Montfort Monterado periode 2021-2024. Rangkaian sambutan pun berlangsung di dalam Perayaan Ekaristi. Ketua panitia peresmian, Pater Provinsial SMM Indonesia, Bapak Uskup, dan Bapak Bupati Bengkayang menjadi perwakilan yang memberikan sambutan berdasarkan jabatannya masing-masing. Keempatnya memberikan tekanan pada hal yang sama, yakni semoga dengan diresmikannya Monterado sebagai paroki baru maka kehidupan iman, sosial, dan moral umat sungguh-sungguh terbentuk dan semakin terarah ke identitas baptisan yang sudah diterima. Pater Provinsial secara khusus mengaitkan peristiwa hari ini dengan momen kanonisasi St. Montfort, pelindung paroki Monterado agar kekudusan St. Montfort menjadi teladan yang diikuti oleh segenap umat paroki ini. Paroki St. Montfort Monterado memiliki 18 Stasi dan semuanya berada di wilayah administrasi kecamatan Monterado. Artinya, satu paroki ini melayani satu wilayah kecamatan.
Rangkaian acara syukur peresmian dilanjutkan dengan resepsi bersama yang berlangsung di kompleks halaman gereja dan pastoran. Ngobrol santai berlangsung hingga pukul 16.00 WIB. Goyang ria bersama, bernyanyi, serta bincang santai menjadi rangkaian acara dalam resepsi. Semua kegiatan berlangsung lancar karena didukung oleh suasana langit Monterado yang bersahabat. Akhirnya, proficiaat untuk semua umat di Monterado dan selamat berkarya bagi para Montfortan yang menjadi tim pastoral di paroki baru ini.