gambar para smm ke indonesia di atas perahu

Sejarah SMM Ke Indonesia

SMM ke Indonesia menujukan penyebaran karya para Montfortan dan spiritualitas Santo Montfort.

Ada baiknya kita melihat secara khusus perkembangan SMM di Belanda. Sejak awal SMM dimengerti sebagai Kongregasi untuk orang Prancis. Dengan demikian, ketika mereka masuk Belanda tahun 1881 mereka membawa dan mendatangkan para calon dari Prancis. Beberapa tahun kemudian barulah mereka menerima calon-calon non-Prancis. Masuknya calon-calon asal Belanda mendorong mereka untuk membuka Sekolah Apostolik di Schimmert tahun 1883. Pesatnya perkembangan SMM di Belanda menjadikan mereka propinsi baru tahun 1905. Situasi sulit di Prancis membawa berkah besar bagi Gereja dan SMM karena dari sinilah muncul ratusan misionaris yang tersebar ke seluruh dunia termasuk Indonesia.

Para Montfortan Belanda masuk Indonesia tahun 1939[1]. Tiga misionaris perintis P. Harry L’Ortye, P. Jan Linsen dan Br. Bruno tiba di Pontianak pada 7 April 1939. Setelah tinggal 10 hari di Pontianak mereka mengarungi Sungai Kapuas dan tiba di Sintang 20 April. Dari Sintang mereka berlayar terus ke Kapuas Hulu dan tiba di Paroki Bika pada 29 April. Bika-Nazaret menjadi tempat tinggal pertama para Montfortan di Indonesia. Perang Dunia II tahun 1952-1945 menyeret para misionaris Belanda termasuk SMM ke camp penahanan di Kuching, Malaysia.

Setelah pulang dari penahahan di Kuching, pemimpin SMM Indonesia, P. L’Ortye menetap di Sintang dan menjadikannya sebagai pusat kegiatan misi. Pada 1946 P. Jan Linsen memulia karya baru di Putussibau. Putussibau menjadi tempat bersejarah bagi SMM karena merupakan paroki pertama yang didirikan oleh SMM di Indonesia. Paroki-paroki yang lain (Bika, Sejiram, Martinus, dll) hanya melanjutkan karya yang telah dimulai oleh para misionaris Kapusin. Pada tahun yang sama SMM mengambil alih pelayanan Paroki Martinus (April), lalu Sejiram (Juli). Dengan aliran tenaga misionaris baru dari Belanda, pada akhir 1946 seluruh wilayah misi Sintang diambil alih oleh SMM dari tangan Kapusin.

Sejak awal 1947 SMM mulai mengarah ke Sungai Melawi.  Paroki pertama di wilayah Melawi di resmikan tahun 1950 di Nanga Serawai. Empat tahun kemudian Nanga Pinoh juga diresmikan sebagai paroki. Sementara itu wilayah misi Sintang mulai membentuk hirarki Gereja. Mula-mula menjadi Prefektur Apostolik (1948) dengan Mgr. Lambertus van Kessel SMM sebagai Prefeknya. Tahun 1956 ditingkatkan menjadi Vikariat Apostolik dengan Vicarisnya tetap Mgr. Lambertus van Kessel SMM. Dan ketika Sintang secara resmi menjadi sebuah keuskupan tahun 1961, Mgr. Lambertus van Kessel SMM menjadi Uskup pertama Keuskupan Sintang.

Ketegangan diplomatik antara pemerintah Belanda dan Indonesia sungguh menghambat ruang gerak para misinaris Belanda di Indonesia. Untuk menghadapi kesulitan itu, karya misi SMM Indonesia diambil oleh Montfortan Amerika (1959-1973). Sejarah mencatat 6 imam dan seorang bruder Montfortan Amerika pernah berkarya di Indonesia. Setelah hubungan Indonesia-Belanda kembali membaik, para Montfortan Amerika meninggalkan Kalimantan dan menerima misi baru di Amerika Latin.

Sejak kedatangannya di Indonesia tahun 1939, para Montfortan hanya berpikir tentang karya pelayanan kepada umat. Mereka mendirikan sekolah, membangun gereja, membuka klinik, melayani orang sakit, dan sebagainya. Setelah Konsili Vatikan II, aliran misionaris dari Belanda semakin berkurang. Untuk mempertahankan kelangsungan karya misinya dan menanggapi keinginan putra-putra Indonesia untuk menjadi biarawan, SMM di Indonesia memikirkan untuk memulai karya formasi.

Putra Daya’ pertama yang menjadi SMM adalah P. Aloysius Ding.[2] Formasi SMM Indonesia secara remsi dimulai tahun 1979 di Putussibau dengan calon satu-satunya Aloisius Djamal. Dia adalah calon bruder yang bertahan dalam kaul sementara selama 8 tahun, tetapi mengundurkan diri sebelum berkaul kekal tahun 1989. Kemudian novisiat dipindahkan ke Sintang (1983) dengan calon-calonnya adalah beberapa Putera Daya’ dan transmigran dari Jawa. Ketika P. Piet Derckx, SMM diminta untuk menjadi Rektor Seminari Tinggi Keuskupan Sintang di Bandung (1984), Beliau membawa serta dua orang postulant SMM. Untuk menemani P. Piet Drckx, tahun 1985 P. Wim Peeters, SMM membawa para Novis Montfortan ke Bandung. Dengan demikian, sejak tahun 1985 formasi SMM Indonesia secara resmi berlokasi di Bandung. Kedua Montfortan asal Belanda ini harus diakui sebagai peletak dasar formasi SMM Indonesia.

 Banyaknya para peminat dari seluruh wilayah Nusantara untuk bergabung menjadi SMM, sementara Novisiat Montfortan di Bandung mempunyai daya tampung yang terbatas, maka pada tahun 2002 rumah novisiat dipindahkan dari Bandung ke Keuskupan Ruteng di Pulau Flores. Sekali lagi P. Wim Peeters membawa rombongan para novisnya dan kali ini dari Bandung ke Ruteng. Dengan dimulainya Novisiat Montfortan di Ruteng, calon skolastik pun bertambah dan Seminari Montfort di Bandung terasa kecil. Untuk itu SMM Indonesia memikirkan untuk mencari lokasi dan wilayah baru untuk membangun skolastikat. Sejak tahun 2004 SMM mulai membentuk komunitas formasi di Malang dan tahun 2005 Seminari Montfort secara resmi dan defenitif  dipindahkan dari Bandung ke Malang.

Karya Montfortan Indonesia telah menghasilkan buah-buah yang kelihatan. Serikat Maria Montfortan merupakan peletak dasar Gereja Keuskupan Sintang. Pembangunan sekolah-sekolah dasar dan menengah telah meningkatkan sumber daya manusia masyarakat setempat. Selain itu, untuk kalangan Montfortan sendiri, mereka berhasil mendidik putra-putra pribumi yang melanjutkan karya di Indonesia bahkan bermisi ke luar negeri.

Sampai akhir tahun 2013 SMM Indonesia telah menghasilkan 50[3] imam dan bruder pribumi berkaul kekal.  Sementara itu ada puluhan frater yang sedang belajar di Novisiat dan Skolastikat. Sejak tahun 2003 kepemimpinan SMM Indonesia sudah diambil alih oleh Montfortan pribumi. Berbagai karya di bidang formasi, paroki dan kategorial pun semuanya ditangani Montfortan pribumi Indonesia.[4] Montfortan Indonesia juga sudah mulai berkiprah ke luar negeri. Sejak tahun 2000 SMM Indonesia sudah mengirim tenaga ke Papua New Guniea dan tahun 2010 ke Equador dan bahkan ada yang terpilih sebagai anggota dewan pimpinan pusat di Roma. Tahun 2016 Konfrater mulai dikirim ke Nikaragua (P. Zakarias Beong dan P. Jefro Daman, SMM)

Selain perkembangan yang menggembirakan, SMM Indonesia juga mengalami berbagai masalah. Masalah terbesar adalah kedewasaan dan kematangan anggotanya. Hal ini terlihat dari adanya konfrater berkaul kekal yang menanggalkan jubah. Para calon di rumah formasi pun terasa agak gampang berubah haluan, bahkan mereka yang sudahmemasuki fase-fase akhir. Dengan demikian, Perayaan 75 tahun SMM Indonesia tahun 2014, selain parayaan syukur penuh kegembiraan dan kebanggaan, juga menjadi kesempatan untuk berbenah diri, membangun diri agar menjadi Montfortan yang tangguh, tanggap serta bertanggung jawab demi menegakkan Kerajaan Allah bersama Bunda Maria.

[1] Perjalanan SMM Indonesia bisa dilihat dalam Piet Derckx, Sejarah dimulainya Montfortan Hidup, dan Berkarya di Indonesia, Pusat Spiritualitas Marial, Bandung, 2008

[2] Pater Ding adalah imam Daya’ pertama. Dia ditahbiskan menjadi imam pada 16 September 1945 di Flores. Karena ingin menjadi SMM, dia masuk Novisiat Montfortan di Belanda tahun 1948. Pada 8 September 1949 dia mengucapkan kaul kebiaraan dan menjadi imam SMM.

[3] Angka ini termasuk yang sudah meninggal dunia dan meninggalkan imamatnya.

[4] Tetap mengakui dan menghargai kehadiran 4 orang Montfortan asal Belanda yang mendampingi dan menjadi “orangtua” bagi Montfortan muda.