(Berhenti Sejenak bersama sang Misionaris Apostolik)
Pengantar
Manusia adalah insan peziarah yang datang dari Sang Pencipta dan akan kembali kepada-Nya pada suatu saat, demikianlah ekistensi seorang ciptaan. Sejak kelahiran sampai kematiannya, ia hidup dan berada dalam sebuah “peziarahan”. Sebagai sang “peziarah” (homo viator), ia berjalan, bergerak, berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Itulah sebabnya, hidup manusia selalu ada dalam dinamika “peziarahan”. Menurut F. Garat dan E. Guil, kata “ziarah” berasal dari Bahasa Latin peregrinus. Akar katanya ialah per-agrare yang berarti “melakukan perjalanan yang jauh”. Jikalau mengacuh pada arti kata “ziarah” tersebut, maka ketika orang melakukan suatu “ziarah” sebagai “peziarah”, maka artinya dia melakukan suatu perjalanan yang jauh, pergi ke negeri yang asing dan singgah di sana. Belakangan ini, arti kata “ziarah” dimaknai (disempitkan) secara spiritual-religius. Dalam konteks ini “ber-ziarah” berarti melakukan suatu perjalanan ke tempat suci dengan tujuan religius.[1]
Menurut studi Garat dan Guil, asal-usul ziarah dapat ditelusuri sampai ke zaman yang paling kuno. Secara antropologis budaya “ziarah” memiliki tiga tahapan, pertama, kemampuan untuk mengatasi ruang (tempat) di mana seorang peziarah harus mampu mendobrak rutinitas kehidupan sehari-hari dan melakukan perjalanan ke tempat lain dalam rangka untuk mengubah diri dari dalam. Kedua, melakukan kontak (berelasi) dengan tempat suci. Di sini, seorang peziarah dapat menunjukkan praktik ulah kesalehannya, misalnya memeluk dan mencium patung kudus yang dikunjungi, berdoa dan bernyanyi sembari berjalan kaki atau berlutut di depan pelataran suci Bunda Maria atau orang kudus lainnya[2], meninggalkan souvenir atau cenderamata di tempat suci, bernazar di hadapan Yang Suci, dll. Ketiga, perjumpaan dengan “keilahian” dan “alam baka” di mana tempat suci (sanctuary) merupakan sebuah kenangan yang memberi ingatan tertentu akan hal itu.[3]
Berziarah ke tempat-tempat suci, pada hakikatnya mengingatkan orang akan pengalaman atau peristiwa pewahyuan, penyingkapan diri Allah. Di tempat-tempat inilah, setiap peziarah dapat menyadari kehadiran Sang Ilahi dalam dan melalui kontak atau relasi dengan-Nya baik secara pribadi maupun bersama.[4]
Manusia Kristiani: insan peziarah
Manusia Kristiani adalah “insan peziarah” yang sedang mencari jalan untuk berjumpa dengan Allah. Oleh karena ia adalah “peziarah”, maka sesungguhnya ia sedang berada di sebuah “perjalanan mencari”, persisnya mencari Dia dalam hidup setiap hari, setiap saat. Singkatnya, setiap umat Kristiani adalah umat Allah yang sedang berziarah menuju pada-Nya seperti Abraham, Bapa kaum beriman yang juga telah melakukan peziarahannya. Ia rela meninggalkan negeri asalnya menuju tanah (negeri) yang dijanjikan Tuhan padanya (bdk. Kej 12:1; Kis 7:2-8). Atau barangkali seperti Perawan Suci Maria yang setelah menerima Kabar Sukacita Malaikat Tuhan “berziarah” (berjalan) mengunjungi Elisabeth saudarinya di Kota Ain-Karim di pegunungan Yehuda (bdk. Luk 1:39-45). Di sana ia berbagi sukacita atas karya agung Allah padanya (bdk. Luk 1:46-56). Demikian pula halnya Santo Louis de Montfort (selanjutnya Montfort) adalah seorang “peziarah” yang tak pernah mengenal lelah dalam mencari Allah. Peziarahan hidup yang ia hayati semasa hidupnya di Prancis dan di beberapa tempat lainnya sebagaimana yang akan didalami melalui refleksi tulisan ini sekurang-kurangnya dapat membantu setiap orang untuk melihat lebih jauh atu lebih dekat betapa imam muda yang suci ini pantas menjadi tokoh panutan bagi manusia Kristiani, khususnya para Montfortan zaman kiwari ini dalam menelusuri “ziarah” hidup mereka masing-masing. Kita sekalian pergi berziarah ke Roma bersama orang kudus ini meski tidak secara fisik dengan dia, namun dalam doa dan keheningan, ia menemani kita bersama Bundanya yang terkasih, Perawan Suci Maria.
Montfort: rasul Kristus dan Maria yang berkobar-kobar
Montfort (1673-1716) hidup pada zaman di mana “Yansenisme”[5] dan “Gallikanisme” bertumbuh sangat subur di Prancis. Pada masa Gallikanisme,[6] sang “Misionaris Apostolik” ini menunjukkan sebuah ketaatan yang radikal kepada Bapa Suci.[7] Sebagaimana diketahui bahwa orang kudus ini pada dasarnya sangat tekun, berkobar-kobar dalam mewartakan Injil Kristus dalam dan melalui Maria. Misi pewartaan dan karya pelayanan semasa hidupnya menjadi saksi betapa Montfort memiliki passion yang mendalam menjadi seorang rasul Kristus dan Maria di tengah-tengah dunia. Terdorong oleh hal itu, imam Marial ini menunjukkan antusiasmenya untuk memulai misi yang dicita-citakannya dengan mencari petunjuk dari pemimpin tertinggi Gereja Katolik saat itu.
Menurut Blain, sahabat dekatnya, ziarah Montfort ke Roma didorong oleh dua alasan mendasar. Pertama, ia ingin menunjukkan sikap hormat dan ketaatannya kepada Kepala Gereja. Kedua, hasrat untuk meminta petunjuk dari Bapa Suci agar ia diperkenankan dapat berkarya di tempat lain sehingga pada akhirnya memperoleh hasil yang berlimpah. Latar-belakang dari alasan yang kedua sebetulnya berkaitan dengan kesulitan dan tantangan yang ia hadapi di Prancis. Blain mengatakan bahwa sahabatnya itu telah mengalami begitu banyak penderitaan dan tantangan di Prancis dalam menjalankan karya misionernya, apalagi ia sendiri tidak yakin apakah karya misinya di sana masih dapat dilanjutkannya atau tidak. Atas dasar pertimbangan-pertimbangan tersebut, imam muda ini berangkat ke Roma untuk maksud dan tujuan tersebut.[8]
Loreto: berhenti sejenak merenungkan misteri “Kenosis” Allah, Inkarnasi
Seperti yang diketahui bahwa di Potiers, imam muda ini menghadapi situasi yang sulit. Di sana terdapat iklim perlawanan yang mengancam akan menghalangi aktivitas misionernya dan mengakibatkan semua pekerjaannya menjadi tak berguna. Menurut catatan Garat dan Guil, Montfort diberhentikan oleh uskupnya, oleh karena itu ia memutuskan untuk melakukan perjalanan ke Roma dan meminta nasihat Paus agar dapat melihat di manakah Tuhan akan memanggilnya di kemudian hari. Perjalanan ke Roma dari Poitiers bukanlah sebuah perjalanan singkat[9], melainkan betul-betul merupakan sebuah perjalanan panjang dengan berjalan kaki. Tentu saja perjalanan imam muda ini sangat menguras tenaganya. Garat dan Guil mengatakan bahwa Montfort bepergian dalam semangat kemiskinan. Dalam perjalanannya itu ia memberikan sejumlah uang koin di sakunya dan meminta hal yang sama ke rekan seperjalanannya. Ia makan dan menginap sebagaimana Penyelenggaraan Ilahi menuntunnya.[10]
Dalam perjalanannya ke Roma, Montfort menyempatkan diri singgah di sebuah tempat yang seringkali menjadi tempat banyak orang berziarah, yaitu “Rumah Suci Loreto” (la santa casa di Loreto). Imam Prancis ini adalah seorang yang suka berdoa seperti yang diketahui dan momen ziarah saat itu merupakan waktu yang tampan baginya untuk “berhenti sejenak” menimba kekuatan rohani dari Sang Ilahi. Ia berhenti di sana dan berdoa. Dikatakan bahwa Montfort merasa senang bisa mengikuti teladan gurunya di Saint Sulpice: ia berdoa dan bermeditasi secara panjang lebar tentang misteri Inkarnasi yang pada dasarnya merupakan “dasar dari seluruh spiritualitasnya.”[11] Kalau melihat Montfort berangkat ke Roma dan berhenti sejenak di Loreto di rumah sucinya Bunda Maria untuk merenung: berdoa dan bermeditasi, sebetulnya apa makna tindakannya ini bagi para peziarah yang ingin mengikuti jejaknya? Sebetulnya peziarahan Montfort ke Loreto memiliki makna yang amat mendalam. Ini sejatinya mengingatkan setiap peziarah pada misteri mendasar yang sama dari iman Kristen, “Inkarnasi Sabda”,[12] Allah yang merendahkan diri-Nya (kenosis) dan mengenakan kodrat kemanusiaan dalam dan melalui Perawan Suci Maria (Bdk. Yoh 1:14; Flp 2:6-9; Gal 4:4-5).
Menurut B. Cortinovis, bagi Montfort, itu bagaikan sebuah “musik di telinga”. Sebagai seorang yang mengenyam pendidikan di Sekolah Bérulle dan guru-guru Sulpician, Montfort telah menempatkan misteri Inkarnasi sebagai dasar spiritualitasnya sendiri, “Misteri pertama Yesus Kristus: misteri yang yang paling tersembunyi, yang paling mulia dan yang paling kurang dikenal” (BS 248), “Misteri di mana Yesus Kristus hanya bisa dilihat di dalam Maria, dan yang menjadi manusia di dalam rahimnya” (BS 246).[13]
Dikatakan bahwa dekat Paris, di kediaman musim panas seminari St. Sulpice, terdapat sebuah gereja yang dipersembahkan untuk Bunda Maria dari Loreto. J. J. Olier (1605-1657), pendiri seminari, sangat berdevosi pada sanctuary di Loreto yang pernah dia kunjungi sendiri. Dia meyakini bahwa spiritualitas Marial didirikan di atas dasar misteri Penjelmaan, sebagaimana inti dari seluruh Teologi Kristiani. [14]
Antara Februari dan Maret 1706, Montfort berangkat dari Prancis. B. Cortinovis menjelaskan bahwa tidak diketahui secara detail rencana perjalanan mana yang dia tempuh, tetapi dijelaskan bahwa ada bukti yang dimiliki yang merujuk pada data keberadaan Montfort di Roma pada pertengahan Mei. Jadi, diasumsikan bahwa Montfort berada di Loreto selama bulan April, di mana dia tinggal selama sekitar lima belas hari, dalam doa dan meditasi. Beberapa kali ia menginap di beberapa tempat (penginapan) yang disediakan bagi para peziarah dan kemudian diundang ke rumah salah seorang warga Loreto.[15]
Roma: tahap terakhir dari sebuah ziarah yang panjang
Roma menandai tahap terakhir dari ziarah Montfort. Ini merupakan sebuah ziarah terpanjang yang pernah dilakukan oleh imam muda tersebut. Dikatakan bahwa tatkala ia melihat kubah Basilika Santo Petrus, “ia bersujud, menundukkan wajahnya ke tanah”. Tatkala ia bangun, ia menanggalkan sepatunya dan melakukan perjalanan jarak terakhir tanpa alas kaki. Montfort diberikan kesempatan untuk audiensi dengan Paus Klemens XI pada 6 Juni 1706. Dia mengakui dirinya telah ditangkap dengan rasa hormatnya yang luar biasa di hadapan Bapa Suci. Ia percaya telah melihat Yesus Kristus sendiri dalam rupa atau wujud wakil-Nya di dunia. Audiensi dengan Paus memberi suatu kesegaran baru bagi imam muda Prancis ini atas segala pertanyaannya. Sebagai kenang-kenangan, dikatakan bahwa sepulang dari ziarah tersebut, Montfort membawa kembali salib indulgensi (indulgenced crucifix) yang diberikan padanya dan ditempelkan pada tongkat peziarahannya.[16] Dari Paus inilah, akhirnya imam muda ini menemukan kejelasan mengenai karya misinya, yakni negerinya sendiri, tepatnya di Keuskupan Nantes.[17]
Prancis: lahan misi bagi imam muda, Montfort
Dampak dari ziarahnya ke Roma amat mendalam maknanya. Montfort memang mengikuti nasihat Bapa Suci di mana dia didorong untuk kembali ke tempat asalnya, mewartakan pembaharuan janji-janji Baptis di sana.[18] P. Gaffney mencatat bahwa sebetulnya kita dapat menyimpulkan secara baik salah satu kemungkinan hasil pembicaraan, sharing Montfort dengan Paus Clemens XI ialah pengalaman akan kehadiran Maria yang ia alami di dalam hidup dan pengajarannya. Dari Paus inilah, Montfort digelari sebagai “Misionaris Apostolik”, seorang pewarta Kabar Gembira yang menemukan lahan evangelisasinya di Prancis Barat.[19] Sejak saat itu, tanpa ragu dan gelisah sang misionaris memulai karya pewartaannya, meskipun di sana ia masih harus berhadapan dengan aneka kesulitan dalam misi evangelisasinya.
Montfort dikenal luas sebagai seorang yang tidak pernah mengenal lelah dan selalu berkobar-kobar mewartakan Kerajaan Yesus melalui Maria. Semuanya itu dapat diringkas dalam apa yang disebut sebagai panggilan khasnya untuk mengadakan “pembaharuan janji-janji Baptis umat.” Hal ini dilihat sebagai jalan atau cara mereformasi Gereja. Salah satu keyakinannya yang utama, yaitu Maria hadir secara intrinsik dalam misi besarnya itu. Ini berarti ia tidak perlu meragukan lagi bahwa Maria sungguh-sungguh hadir di dalam karya misinya. Kehadirannya secara intrinsik justru memberi pengaruh yang kuat baginya. Menurut hematku, kehadiran Perawan Suci Maria bagi Montfort merupakan sebuah conditio sine qua non (absolut[ly] condition), yakni kondisi mutlak perlu. Dikatakan demikian karena kehadiran Maria di sini bukan sekedar unsur tambahan belaka, melainkan suatu unsur konstitutif bagi imam muda tersebut. Ringkasnya, sang misionaris ini ingin menyertakan Maria di dalam proses pembaharuan janji-janji Baptis umat. Berkaitan dengan ini, Gaffney mengatakan bahwa garis-garis pokok Mariologi Montfort justru berada di dalamnya.[20]
Montfort dan ziarah Marialnya: sebuah inspirasi?
Ziarah Montfort pada dasarnya tak terpisah dari Maria, artinya seluruh dinamika peziarahannya sebagai homo viator (“man on a journey/man as pilgrim” – manusia peziarah) selalu berada dalam persatuan yang intim, mesra dengan Kristus dan Bunda-Nya. Persatuannya dengan Maria tentu tidak boleh dipisahkan dari relasi utamanya dengan Sang Putranya, yang adalah “Jalan, Kebenaran dan Hidup” (bdk. Yoh 14:6), yang kepada-Nya, imam muda ini meneruskan “ziarah” yang sudah ia mulai di bumi ini sampai akhirnya bersekutu secara paripurna dalam Kerajaan Allah di surga. Sebagaimana Montfort adalah homo viator yang terus “berjalan, berziarah” mencari Allah dan kehendak-Nya bagi seluruh karya misinya, orang suci ini tidak pernah melupakan peran sang Bunda yang amat ia kasihi, Maria.[21] Bersamanya, ia tetap “berjalan” melakukan karya-karya kebaikan, membaharui iman umat dan Gereja di masanya untuk sebuah perubahan (pertobatan) yang lebih baik sebagaimana yang ia rindukan dan ingin dihayati. Perjumpaannya dengan Bapa Suci, Paus Klemens XI sejatinya telah menyegarkan dan membaharui jiwa dan semangat misionernya. Mengikuti jejak Montfort dalam “ziarah napak tilas” artinya “berziarah bersama sang misionaris” yang tidak pernah tinggal diam dalam “kemapanan, kenyamanan hidup”, dia yang tidak pernah “mengandalkan kekuatan dan kemampuan sendiri dalam karya misinya”, namun dalam kerendahan hati belajar mencari kehendak dan cita-cita Allah baginya. Semuanya itu ia lakukan dengan sukacita dan ketaataan total serta kesetiaannya pada Allah dalam dan melalui Maria, Ibunya yang suci.
Catatan Akhir
Andaikata terdapat satu aspek di mana kepribadian dan kerasulan hidup Montfort mencapai tingkat persatuan yang tinggi, maka itu ada dalam kategori tentang Yesus-Maria. Dalam konteks ini, tatkala orang suci ini mengajari umatnya untuk berbakti kepada Maria, maka sebetulnya Yesus Kristus mesti dipandang sebagai titik sentral atau pusat dari bakti tersebut. Dengan demikian, baik karya misi maupun ajaran spiritualitas Marial (Mariologi) orang kudus ini memiliki landasan yang kokoh, sebab Kristus tetap menjadi titik pusat refleksi teologis dan dasar utamanya. Banyak penulis rohani atau teolog menggarisbawahai kebenaran ini. Singkatnya, sentralitas pada Kristus adalah kunci untuk menyelami kekayaan yang luar biasa dari spiritualitas dan karya kerasulan Marialnya.
Ketika seorang “peziarah” ingin mengikuti jejak Montfort dengan berziarah baik secara batin (spiritual) maupun secara fisik – saat di mana ia akan sampai di tempat di mana orang suci Prancis ini pernah singgah di sana (Loreto) selama beberapa saat sebelum akhirnya menuntaskan “peziarahannya” ke Roma – kira-kira apakah yang ingin diperoleh dari ziarah yang dilakukan? Apakah ia ingin sekedar menghabiskan masa-masa “berhenti sejenak” dari kesibukan akan tugas-tugas pelayanan di paroki, di komunitas, di masyarakat atau di tempat-tempat kategorial sembari menikmati keindahan panorama atau alam baru nan indah di belahan bumi yang lain? Ataukah “ziarah” yang dijalaninya itu hanya sekedar untuk merasakan atmosfer lingkungan dan kebudayaan setempat? Ataukah bahkan ziarah ini hanya sekedar untuk mengenal kebiasaan dan tradisi lain sebuah masyarakat baru di dunia biru (Eropa)? Atau apakah “ia” ingin memaknainya secara lain dan lebih mendalam dari sebuah “perjalanan”, ziarah yang justru akan membantunya dapat “berjalan, bergerak dan masuk” lebih jauh ke dalam ziarah hidup panggilan perutusan dan karya misionernya? Kiranya momen peziarahan yang dijalani dan telah dihidupi Montfort hampir 300-an tahun yang lalu (1706-2023) justru semakin membuka hati dan pikiran sang “peziarah” (Anda dan saya) akan arti dari sebuah “perjalanan” menuju Allah, Sang Kebijaksanaan, Sumber dan Tujuan Akhir “ziarah” itu sendiri. Buon cammino!
Roma, 31 Januari 2023
Peringatan 350 tahun Kelahiran St. Montfort
P. Fidel Wotan, SMM
[1] F. GARAT – E. GUIL, “Pilgrimage” dalam S. DE FIORES (ed.,), Jesus Living in Mary. Handbook of the Spirituality of St. Louis Marie de Montfort, Montfort Publications, Bay Shore (NY) 1994, hlm. 931. Bdk. Edisi Italianya, IDEM, “Pellegrinaggio” dalam S. DE FIORES (a cura di), Dizionario di Spiritualità Montfortana, Edizioni Monfortane, Roma 2005, hlm. 1311-1324.
[2] Dalam praktik ulah kesalehan (pious excercises), kesalehan umat (popular piety) bisa dijumpai aneka bentuk ekspresi kesalehan/kerohanian umat seperti “prosesi”, “jalan salib”, “doa novena”, dll. Bdk. S. ESPOSITO, Liturgia: Mistero di Cristo e storia della salvezza. Line per una catechesi liturgica, Poligrafica Marotta & C.S.r.l, Napoli 1994, hlm. 24. Bdk. C. MAGGIONI, «Educare alla Pietà Popolare», dalam M. SODI (a cura di), Liturgia e pietà popolare, Libreria Editrice Vaticana, Città del Vaticano 2013, hlm. 167.
[3] Bdk. F. GARAT – E. GUIL, “Pilgrimage”, dalam JLM, p. 932. Tempat Suci (Sanctuary-Shrine) seperti Loreto dan banyak tempat suci lainnya pada hakikatnya merupakan tempat perjumpaan manusia dengan Tuhan. Manusia dapat berkomunikasi, berelasi secara khusus dengan-Nya melalui tempat suci tersebut. Melalui tempat khusus ini, para peziarah terbantu dalam kehidupan mereka setiap hari. Mereka didukung dalam tingkah-laku hidup dalam kaitannya dengan masa lalunya yang kurang baik (masa yang gelap), dibantu dalam menatap masa depan yang cerah dan juga dibantu dalam hal kesehatan mental dan fisik. Di tempat seperti itu, mereka dapat memohon dan menerima berkat dari Tuhan untuk kehidupannya. Bdk. J. RIES, Pélerinages, pèlerin et sacralisation de l’espace, dalam P. C. VON SAUCKEN (sous la direction de), Pèlerinages. Compostelle, Jèrusalem, Rome, Editions Zodiaque – Desclée de Brouwer, Paris 1999, hlm. 22.
[4] Bdk. S. DE FIORES, Maria presenza viva nel popolo di Dio, Edizioni Monfortane, Roma 1980, hlm. 195. Bdk. FRANCESCO, «Il santuario il luogo del popolo», dalam I. RICUPERO – M. TREMBLAY (a cura di), Il santuario porta aperta per la nuova evangelizzazione: la pietà popolare una novità antica, San Paolo, Cinisello Balsamo (Milano) 2021, hlm. 11-18.
[5] Yansenisme adalah sebuah bidaah soal rahmat. Nama Yansenisme ini diambil dari Kornelis Otto Yansen (1585-1638). Ia adalah seorang berkebangsaan Belanda, alumnus dari Universitas Leuven, Belgia dan menjadi profesor di sana. Yansenisme merupakan sebuah gerakan bainisme (Michael Baius, seorang yang sangat memengaruhi Kornelis Otto Jansen terutama dalam hal “kodrat dan rahmat, penolakan akan adanya kehendak bebas pada diri manusia dan ajaran predestinasi”). Gerakan ini memeroleh dukungan, kekuatan dan disebarluaskan melalui taktik politik-religius. Aliran ini, ditingkat akademik ternyata memikat beberapa orang, antara lain: St. Cyran dan belakangan kemudian dibela habis-habisan oleh Arnauld (seorang teolog). Sejak awal, heresi ini menimbulkan polemik dan sama sekali tidak mendapat sambutan positif dari para Yesuit dan Kuria Roma. Bdk. DICTIONARY OF DOGMATIK THEOLOGY, Cet. IV, terj. E. DORONZO, The Bruce Publishing Company, Milwaukee 1964, hlm. 153. Bdk. W. DOYLE, Jansenism: Catholic Resistance to Authority from the Reformation to the French Revolution, Studies in European History, Palgrave Macmillan, T:t. 2000, hlm. xi.
[6] Gerakan Gallikanisme (Gallia = Prancis) bertumbuh subur pada masa kekuasaan Raja Louis XIV (1643-1715). Ini merupakan sebuah gerakan yang terjadi di dalam Prancis yang semakin menghebat pada abad ke-17 dan ke-18. Gerakan ini mau memisahkan diri dari Gereja Katolik Roma. Louis XIV, didukung oleh Universitas Sorbonne dan begitu banyak imam dan uskup, menuntut ”otonomi” dari otoritas Gerejawi Roma. Pada tahun 1681, disusunlah empat hasil keputusan Gereja Prancis yang menolak intervensi Paus. Keempat butir keputusan itu, yakni pertama, Paus tidak memiliki otoritas atas kekuasaan duniawi. Ia hanya berkuasa dalam bidang rohani. Raja dan ratu tidak tunduk pada otoritas gerejawi. Kedua, konsili ekumenis berada lebih tinggi dari Paus. Ketiga, penggunaan kekuasaan apostolik Paus mesti selaras dengan Tradisi Gereja Prancis. Keempat, setiap keputusan Paus dalam hal iman harus mendapat persetujuan dari seluruh Gereja. Bdk. E. FAHLBUSCH – J. PELIKAN (eds.), The Encyclopedia of Christianity, vol. 2, W. B. Eerdmans Publishing Company, Michigan 2001, hlm. 378. Bdk. G. O’COLLINS – E. G. FARRUGIA, Kamus Teologi, Kanisius, Yogyakarta 1996, hlm. 85.
[7] Bdk. L. M. GRIGNION DE MONTFORT, Cantique dalam M. GENDROT (sous la direction), OEuvres completes de saint Louis-Marie Grignion de Montfort, Éditions du seuil, Paris 1966, No. 6:50, p. 895. Selanjutnya disebut Kidung. Bdk. Kidung 57; Kidung 147.
[8] Bdk. J.-B. BLAIN, Summary of the Life of Louis-Marie Grignion de Montfort, terj. B. J. RABILLER et al., St. Gabriel Press, Rome 1977, hlm. 173.
[9] Menurut catatan salah satu situs, Montfort berjalan kaki sepanjang ribuan mil (a thousand miles) / seribu-an langkah kaki. Seribu mil (= 1.609 km). Dalam bahasa Indonesia, kata “a thousand miles” sesungguhnya merupakan sebuah “metafora yang sempurna”. Jadi untuk mengetahui secara persis datanya – menurut hematku perlu diperiksa data-data yang valid atau rute perjalanan mana saja yang ditempuh oleh Montfort dari Poitiers ke Roma. Saya kutip: “St. Louis De Montfort walked to Rome — a thousand miles — and put his case to Pope Clement XI.” Http://www.catholictradition.org/Classics/secret-mary12.htm. Diakses pada 24 Januari 2023, pkl. 10.10 a.m. Tentang rute perjalanan Montfort di sini, B. Cortinovis mengatakan bahwa tidak diketahui rute perjalanan mana yang ditempuh Montfort, namun dikatakan bahwa ada bukti yang dimiliki yang merujuk pada data keberadaan Montfort di Roma pada pertengahan Mei. Bdk. B. CORTINOVIS, “Guardando a Fatima 2017. I Santuari mariani nella vita di Montfort: Loreto”, dalam L’Apostolo di Maria (2017).
[10] F. GARAT – E. GUIL, “Pilgrimage” JLM, hlm. 935.
[11] Ibidem. Menurut B. Cortinovis, dalam perjalanan menuju Roma, Montfort ingin mengutamakan Loreto, sebuah tempat kudus, tempat perlindungan Maria. Dengan berjalan kaki ke Italia (Roma) dan singgah (istirahat sejenak) di Loreto, itu seakan-akan mau mengatakan bahwa «Melalui Marialah Yesus Kristus harus meraja di dunia» (BS 1). Dikatakan bahwa Loreto pada tahun 1700 sudah menjadi tujuan banyak peziarah, dari Italia dan bahkan hampir seluruh Eropa. Saat ini tempat suci tersebut telah dikunjungi oleh begitu banyak peziarah tidak hanya dari Eropa saja, tetapi juga dari berbagai belahan dunia lainnya. Asal diketahui, sebetulnya terdapat begitu banyak orang suci telah pergi ke sana. Dalam perjalanan dari utara, Loreto seringkali menjadi tempat persinggahan sebelum mencapai Roma. Loreto merupakan sebuah Rumah Suci, peninggalan unik di dunia, dan tempat yang menarik perhatian manusia yang ingin berziarah dan berdoa (berdevosi) ke sana. Bdk. B. CORTINOVIS, “Guardando a Fatima 2017. I Santuari mariani nella vita di Montfort: Loreto”, dalam L’Apostolo di Maria (2017).
[12] Bdk. Ibidem.
[13] Bdk. Ibidem.
[14] Bdk. Ibidem. Bdk. F. GARAT – E. GUIL, “Pilgrimage” JLM, cit., hlm. 935.
[15] Bdk. B. CORTINOVIS, “Guardando a Fatima 2017. I Santuari mariani nella vita di Montfort: Loreto”, dalam L’Apostolo di Maria (2017).
[16] Bdk. F. GARAT – E. GUIL, “Pilgrimage”, JLM, cit., hlm. 935.
[17] Pada mulanya Montfort memang cukup sukses melakukan karya misinya di sana. Di mana-mana ia diterima, disukai dan dihormati, tetapi kekaguman penerimaan itu tidak bertahan lama karena kini ia harus menanggung derita lagi. Ia ditolak dan diusir oleh uskupnya sendiri. Ketidaksimpatisan terhadap dirinya ternyata terus menimpanya. Sekali lagi ia dicobai. Bukit kalvari yang baru saja didirikannya ternyata tidak mendapat restu dari pihak Keuskupan Nantes dan ia dilarang juga untuk berkotbah dan memberi sakramen pengakuan dalam keuskupan tersebut. Bdk. F. B. WOTAN, Salib adalah Kebijaksanaan dan Kebijaksanaan adalah Salib (Skripsi), STFT Widya Sasana, Malang 2008, hlm. 48-49.
[18] Dikatakan bahwa sekembalinya ke Prancis, Montfort mencari Bruder Mathurin di Biara Ligugé dan menjalani retret selama delapan hari di tempat seorang sahabatnya; pastor paroki di sekitar Poitiers. Garat dan Guil menulis: “Tatkala ia menyelesaikan retretnya, rencana-rencananya diputuskan: ia akan menjalankan misi-misi barunya di bawah perlindungan Perawan Suci Maria dan Malaikat Agung Santo Mikael. Bersama Bruder Mathurin, ia pergi ke Notre Dame des Ardilliers dan melewati Angers, berjalan terus menuju Bukit Saint Michel.” F. GARAT – E. GUIL, “Pilgrimage”, JLM, cit., hlm. 935.
[19] Bdk. P. GAFFNEY, “Mary”, in JLM, hlm. 697.
[20] Bdk. Ibidem.
[21] Ziarah bagi imam muda Prancis ini pada hakikatnya juga merupakan kesempatan yang tampan baginya untuk dihidupi. Sahabatnya, Blain melukiskan kepergian Montfort ke Paris di jembatan Cesson, dekat Rennes demikian: “Matanya sering terarah pada langit, hatinya di St. Sulpice, doa yang terus-menerus pada Maria keluar dari bibirnya, demikianlah ia meninggalkan Rennes.” J.-B. BLAIN, Summary of the Life of Louis-Marie Grignion de Montfort, hlm. 18. Bdk. F. GARAT – E. GUIL, “Pilgrimage”, JLM, p. 938.