Kerasulan Bakti Marial Montfortan Masa Kini

kerasulan bakti Marial Montfortan pada masa kini pada dasarnya tak pernah terpisah dari sosok yang namanya Santo Louis Marie Grignion de Montfort [1673-1716]. Pembicaraan atau refleksi kita tentang apa yang menjadi esensi dari kerasulan bakti Marial yang dimaksud bersentuhan langsung dengan ajaran atau Spiritualitas Marial Santo Montfort. Berkenaan dengan tema ini, kita dapat mendalami tema ini dalam terang karya mariologis “sang teolog klasik”, yakni Bakti yang Sejati kepada Maria.

Buku Bakti yang Sejati kepada Maria yang dipahami oleh kebanyakan orang sebagai maha karyanya Santo Louis de Montfort (selanjutnya disebut Montfort), merupakan sebuah karya yang tak dapat disangkal lagi kualitasnya. Karya orang kudus Prancis ini secara sangat efektif turut melambungkan namanya ke seluruh jagat raya dan memperlihatkan sisi terdalam suatu devosi khusus nan mesra kepada Maria yang pada gilirannya ikut menandai pula perjalanan rohaninya.

Menurut Kardinal O’Connell, ajaran Montfort terkenal dengan apa yang disebut dengan praktik Bakti yang Sejati kepada Maria yang ia ajarkan itu tersebar luas di antara para imam religius dan bahkan kaum awam di seluruh dunia.[1] Melihat kesan seperti ini, Kardinal ini berkata bahwa pengaruh tersebut dirasakan di seluruh dunia dan itu baginya merupakan sesuatu yang menguntungkan.[2]

Berikut ini, akan disajikan beberapa pemikiran, refleksi berkaitan dengan tema yang dibahas dalam tulisan ini. Tulisan ini dibagi ke dalam tiga bagian utama yakni, spiritualitas bakti marial Louis de Montfort, kerasulan marial Louis de Montfort, kerasulan marial dan panggilan montfortan masa kini.

I. Spiritualitas Bakti Marial Santo Louis De Montfort

Untuk mendalami dan mengenal secara lebih jauh spiritualitas kerasulan bakti Marial a la Montfort, maka sangatlah perlu mengenal lebih dekat salah satu karya mariologisnya, yakni Bakti yang Sejati kepada Maria. Karya tulis ini dapat dikatakan sebagai salah satu maha karya hebat yang ikut melambungkan namanya ke seluruh dunia sampai hari ini.

I. 1. Bakti Yang Sejati Kepada Maria Dan Praktik Yang Sempurna

Buku Bakti yang Sejati kepada Maria karya agung dari Montfort memuat isi utama doktrin Marial atau Mariologi.[3] Dari buku sang “Misionaris Apostolik” ini, para Montfortan dan para pembaca Kristiani dapat menimba begitu banyak kekayaan dan inspirasi untuk hidup dan karya kerasulannya dalam mewartakan Kristus di tengah dunia melalui Maria. Jikalau seorang mengenal karya orang kudus ini, maka itu berarti dia mengenal inti terdalam spiritualitas dan doktrin Marial sang “teolog klasik” asal Prancis ini.

Memang buku ini, sudah dicetak ke dalam berbagai bahasa dan itu berarti sudah “diulas” (baca: dibicarakan atau dibahas) berkali-kali dalam aneka bahasa yang berbeda pula.[4] Hanya saja muncul pertanyaan ini; apakah orang mengenal dengan baik buku tersebut dan memahami isi keseluruhan karya orang kudus Prancis itu? Sejauh mana buku ini dikenal dan disukai atau diminati oleh para pembaca Kristiani di zaman ini dan juga secara khusus di Indonesia?

Dari catatan yang diberikan oleh Alfons Bossard, barangkali kita memperoleh suatu gambaran umum bahwa ternyata buku karya Montfort itu sudah tersebar di mana-mana dan diterjemahkan ke dalam pelbagai bahasa, termasuk ke dalam Bahasa Indonesia.[5] Ini artinya, karya tulis orang kudus ini sudah dikenal dan diketahui di mana-mana.

Apa yang disebut Montfort tentang Bakti yang Sejati kepada Maria pada dasarnya merupakan suatu sikap bakti (devosi)[6] atau penghormatan istimewa yang diarahkan pada Perawan Suci Maria. Orang suci Prancis ini sangat menekankan praktik penghormatan yang demikian dalam hidup setiap umat Kristiani. Sebetulnya sikap bakti[7] kepada Maria dipandang sebagai kewajiban bagi semua mereka yang sadar akan misi Allah yang dipercayakan kepada Maria (bdk. Luk 1:26-38).

Dalam konteks itu, sebetulnya setiap pewarta Tuhan memiliki suatu tugas pastoral yang amat mulia, yakni menghantar umat Kristiani sampai pada suatu pengenalan dan penghayatan akan bakti yang sejati kepada Maria. Dari lain pihak, tatkala seorang pewarta, misalnya dalam hal ini seorang yang merasa tergerak oleh suatu dorangan cinta yang besar untuk mewartakan ajaran Montfort mampu mengusulkan praktik yang sempurna, maka itu juga menjadi suatu ajakan bahkan kewajiban untuk mempraktikkannya. Berkaitan dengan ini, Bossard mengatakan bahwa bakti yang sempurna kepada Maria merupakan suatu bentuk penghayatan hidup rohani yang mustahil dilakukan apabila tidak ada yang mau memakai cara yang ditawarkan oleh Montfort. Itulah sebabnya, Bossard berkata: “kita pun perlu mencari (red: memakai) cara lain untuk berbakti kepada Maria demi suatu penghormatan kepadanya selain cara yang diajarkan oleh Bapa Pendiri kita.”[8]

Dengan berkata demikian, sejatinya andaikata ada cara lain selain yang diajarkan Montfort, maka tentu saja dilakukan suatu penghormatan istimewa kepada Maria. Namun, pertanyaan yang muncul seperti ini, apakah cara yang ditempuh itu jauh lebih efektif dan berdaya guna dalam suatu bakti (devosi) kepada Perawan Suci Maria? Menurut Bossard, sebetulnya ketika Montfort berbicara tentang “praktik yang sempurna”, yang tampak ialah ia mengacuh pada metode-metode tertentu yang telah ditetapkan dalam pola atau cara-cara khusus yang akan dipraktikkan, dihayati secara sadar dalam kehidupan devosional seseorang.

Baginya, Montfort dibenarkan dalam hal bagaimana ia menggambarkan praktik yang diajarkannya sebagai suatu cara yang sempurna sebab praktik itu menuntut radikalitas pemberian, penyerahan diri kepada Kristus dan oleh karena Maria hadir sebagai sarananya yang sempurna.[9] Orang kudus ini menawarkan sebuah “praktik yang sempurna Bakti Sejati.” Hal ini dibicarakannya dalam Bakti yang Sejati kepada Maria 118-273. Andaikata kita mendalami bagian ini, itu artinya menelusuri inti pokok penjelasan mengenai praktik yang sempurna tersebut. Dengan sangat jelas, Montfort mengatakan bahwa ia samasekali tidak mengenal satu bakti (devosi) kepada Perawan Maria manapun yang paling baik, selain yang dia uraikan sendiri dalam karya mariologisnya itu. Bakti (devosi) yang diajarkan dan ditawarkannya pada hakikatnya merupakan sebuah bentuk penghormatan kepada Maria. Penghormatan ini pada akhirnya akan menghantar seseorang bersatu secara lebih erat dengan Kristus. Dari sebab itu, ajarannya sangatlah kristosentris, di mana Kristus menjadi tujuan akhir dari suatu bakti atau penghormatan kepada Maria.[10]

Bakti yang diajarkan Montfort dapat dilihat sebagai sebuah model hidup, persisnya suatu bentuk penghormatan yang lebih memuliakan Allah, lebih menyucikan manusia dan lebih menguntungkan sesama. Montfort menulis:

“Setelah semuanya ini, aku katakan dengan lantang bahwa aku telah membaca hampir semua buku yang berbicara tentang bakti kepada Perawan Tersuci, dan telah berdiskusi secara akrab dengan orang-orang yang paling kudus dan paling terpelajar pada tahun-tahun terakhir ini, dan aku tidak pernah mengenal atau mendengar praktik bakti kepada Perawan Suci yang sebanding dengan bakti yang ingin kuuraikan, yang meminta dari sebuah jiwa lebih banyak pengurbanan bagi Allah, yang lebih mengosongkan jiwa itu dari dirinya sendiri dan dari cintanya kepada dirinya sendiri, yang memelihara jiwa itu dengan lebih setia dalam rahmat, dan rahmat dalam jiwa itu; yang menyatukan jiwa itu dengan lebih sempurna dan dengan lebih mudah kepada Yesus Kristus; dan akhirnya yang lebih memuliakan bagi Allah, lebih menguduskan bagi jiwa dan lebih berguna bagi sesama.”[11]

Pada nomor selanjutnya, no. 119 Montfort mengenal gradasi bakti (devosi) kepada Maria. Di situ ia menguraikan secara panjang lebar dan menjelaskan apa yang menjadi inti terdalam bakti yang ia ajarkan. Inti ajarannya ini terletak pada “unsur batiniah” yang mestinya dibentuk secara lebih baik dari dalam diri manusia. Bagi orang kudus ini, tidak semua orang mampu memahami bakti seperti ini.

Ia melihat bahwa memang ada beberapa orang hanya sampai pada sisi lahiriah saja lalu berhenti. Jumlah kelompok ini banyak. Kemudian, ada beberapa orang lagi akan maju terus sampai ke tingkat batiniah. Jumlah mereka lebih kecil dari kelompok pertama dan mereka hanya naik satu tingkat. Selanjutnya, terdapat sekelompok orang yang berhasil sampai ke tingkat yang ketiga yakni, dia yang kepadanya Roh Yesus Kristus akan membuka rahasia ini. Jadi bagi Montfort, hanya Roh Yesuslah yang akan membuka rahasia istimewa ini. Menurutnya, “Dia sendirilah yang menghantar jiwa yang sangat setia itu ke sana, untuk membuatnya maju dari keutamaan ke keutamaan, dari rahmat ke rahmat dan dari terang ke terang, untuk sampai pada perubahan rupa dirinya sendiri dalam Yesus Kristus, dan sampai pada kepenuhan usia-Nya di dunia dan kepenuhan kemuliaan-Nya di surga.”[12]

Selain Montfort dibenarkan tatkala ia menekankan radikalitas pemberian diri dalam praktik tersebut, ia juga dibenarkan dalam hal lain. Dia dibenarkan manakala melalui praktik itu, setiap orang dimudahkan dan diuntungkan saat mempraktikkannya berkeyakinan amat kuat untuk maju kepada kesempurnaan berkat rahmat pemberian diri sendiri pada Maria.[13] Montfort itu realistis – di satu sisi ia mengatakan bahwa bakti (devosi) kepada Maria yang diajarkannya adalah yang paling unggul dari semua devosi yang lain[14] – ternyata di pihak lain dia juga tidak pernah menyarankan bahwa praktik yang ia ajarkan itu merupakan satu-satunya cara yang bagus untuk mencapai kesempurnaan hidup Kristiani.[15]

Sebagaimana kata Bossard, kekuatan Montfort justru terletak pada presentasinya, seperti yang belum pernah terjadi sebelumnya. Ini meliputi dua hal, yakni pertama, bakti yang sejati kepada Maria dan mengapa hal itu perlu. Kedua, pembaktian diri kepada Maria dan “perhambaan suci”[16] padanya (red: Maria) yang menghantarnya ke suatu pengudusan total kepada Kristus di tangan Maria. Melalui cara inilah, kata “penyucian” menunjukkan nilai teologis yang penuh dan mewujudkan semua yang semestinya ada.[17]

I.2. Hasil Yang Mengagumkan Dari Penghayatan Bakti Yang Sejati Kepada Maria

Montfort merindukan agar siapa pun yang menghayati “bakti khusus kepada Maria” dengan setia dapat sungguh-sungguh mengalami persatuan yang tetap dengan Kristus, Putranya. Hal ini sebetulnya dapat dibaca sebagai kesaksian pribadi orang kudus Prancis ini tentang pengalamannya sendiri. Bertolak dari pengalamannya sendiri akan baktinya yang mendalam kepada Maria, ia berani berkata demikian. Montfort menunjukan beberapa hal yang menarik yang muncul tatkala praktik pemberian diri kepada Kristus melalui Maria dihayati secara baik dan benar. Itu bisa dilihat mulai dari BS 213. Ia berkata bahwa Bunda Maria yang rendah hati akan membagikan kerendahan hatinya yang mendalam, sehingga setiap orang dapat menganggap hina atas dirinya sendiri dan sungguh mau mencintainya. Kemudian, dalam BS 214, ia menunjukkan bahwa Marialah yang akan memberikan imannya kepada kita. Selanjutnya dalam BS 215, ia menjelaskan bagaimana Maria memperluas hati kita. Hal yang dikerjakan Maria dalam konteks ini, yaitu ia akan menghilangkan segala macam kepekaan yang berlebihan dan ketakutan dari dalam diri sendiri. Selanjutnya dikatakan bahwa Maria akan memenuhinya dengan kasih murni.

Jadi, sebetulnya dengan bantuan Perawan Suci Maria, kita tidak lagi bertindak berdasarkan suatu ketakutan tertentu kepada Allah, melainkan berdasarkan kasih yang murni. Kemudian dalam BS 216, Montfort mengatakan bahwa Bunda Marialah yang akan memperbesar kepercayaan kita yang kuat kepada Allah dan kepada diri sendiri. Salah satu hal yang dikatakannya soal bagaimana kita mendekati Yesus. Dalam hal ini, seorang yang hendak datang kepada Kristus bukan berdasarkan kekuatan sendiri, melainkan karena perantaraan Maria. Montfort menulis: “Perawan Suci akan memenuhi dirimu dengan kepercayaan yang besar kepada Allah dan kepada dirinya sendiri: 1. Karena kamu tidak akan mendekati Yesus Kristus dengan bersandar pada kekuatanmu sendiri melainkan selalu melalui ibu yang baik ini.”[18]

Orang kudus ini menjelaskan bahwa Marialah yang akan mendandani atau meriasi kita dengan seluruh pahala,[19] rahmat dan balas jasa kita dengan maksud supaya ia pun dapat memakainya seturut kehendak hatinya (Maria). Kemudian sebagai ganti atas praktik penyerahan diri tersebut, Maria akan memberikan dirinya kepada kita dengan cara yang mengagumkan tetapi nyata. Ringkasnya, melalui semua bantuan Maria ini, sejatinya “misionaris Apostolik” ini mau mengatakan bahwa sikap yang perlu ditanamkan secara mendalam ialah “mengandalkan Maria”, yang adalah “khazanah harta Allah.”[20]

Selanjutnya dalam no. 218-221, Montfort menggambarkan bagaimana Maria mampu membentuk Yesus di dalam diri kita. Ia berkata: “Jika anda memelihara Maria, pohon kehidupan, dengan baik di dalam jiwa anda melalui penghayatan dan pengalaman bakti ini, pada waktunya dia akan membuahkan hasil dan hasil itu tidak lain daripada Yesus Kristus.”[21]

Kemudian, pada no. 222-225, sang “teolog klasik” ini menunjukkan betapa Maria mendorong munculnya suatu proses pertumbuhan yang cepat di dalam menghayati praktik yang ia ajarkan ini. Salah satu poin penting yang dapat diperlihatkan di sini, yakni kalau setiap orang mau menjalankan praktik ini dengan setia, maka menurut bahasa “Misionaris Apostolik” ini, sejatinya dia akan memberi lebih banyak hormat kepada Yesus Kristus daripada bila bertahun-tahun menjalankan praktik yang lain.[22]

II. Kerasulan Marial Seorang Louis De Montfort

Gaffney melihat bahwa bakti atau penghormatan Montfort kepada Bunda Maria sejatinya masih harus dicermati dan ditelaah dengan baik, artinya itu perlu diuji sejauh mana membawa orang (baca: umat) semakin bersatu dengan Yesus Kristus Putra Maria. Selama 16 tahun Montfort mengembangkan Spiritualitas Marial yang tidak hanya syarat dengan nuansa teologi belaka, akan tetapi juga menyesuaikannya dengan situasi dan tingkatan umat sederhana di Prancis Barat.[23]

II. 1. Karya Misioner Montfort: Misi Paroki Dan Retret

Salah satu faktor penting dalam perkembangan Spiritualitas Marial Montfort, yakni pelaksanaan lebih dari 200 retret dan misi.[24] Adalah hal yang tidak bisa dibayangkan bahwa orang kudus Prancis ini melaksanakan ratusan kali retret dan misi di tanah asalnya. Barangkali dalam konteks ini, seperti kata Gaffney pengaruh pokok bakti Marial-nya memiliki dampak yang baik dan berguna bagi “kebutuhan Gereja.” Itu tidak hanya terjadi di Gereja Prancis Barat, akan tetapi menjadi kebutuhan dari keuskupan sendiri, wilayah paroki.

Pertama-tama hal sederhana yang dapat dikatakan ialah sekalipun pola dan isi pewartaannya tidak menyimpang dari dasar-dasar teologis yang ada, Montfort ingin melakukan suatu pendekatan yang secara sederhana dapat menjangkau umat. Artinya ia berusaha agar karya pewartaannya mudah dipahami dan diterima oleh umat.[25] Dalam konteks ini, sang misionaris ini menghendaki agar misi pelayanan dan pewartaannya langsung ditangkap dan diterima dengan baik. Jadi, misi itu dibuat sedemikian rupa sehingga umat merasa mudah mengikuti dan menikmati buahnya. Hal ini memang mesti selaras dengan antusiasme dalam mendekatkan Allah pada mereka secara sederhana dan tidak berbelit-belit. Itulah sebabnya mengapa sasaran pewartaan Montfort dikhususkan untuk kaum sederhana dan bukan bagi para pemikir atau kelompok elit-cendekiawan.[26] Dengan demikian, metode pengajaran dan pewartaan Marial-nya pun pada dasarnya tepat sasaran dan mudah dipahami oleh umat. Bisa dilihat bahwa sang misionaris ini menghendaki agar misi pelayanan dan pewartaannya langsung dipahami dan diterima dengan baik. Apa yang dilakukan Montfort dalam misi pelayanannya bagi umat sungguh menyentuh hati umat. Tentang hal ini memang dikatakan bahwa pengaruh Montfort bagi umat sungguh luar biasa. Menurut keterangan Blain, sahabat karibnya bahwa ada tiga komponen kekuatan yang dimiliki Montfort dalam menarik simpati umat yakni, sebuah bakti  kepada Maria yang tak dapat dibandingkan yang disebutnya sebagai Bundanya yang baik, suatu kehausan yang tak pernah dipuaskan dan suatu ketaatan yang heroik.[27]

Montfort memang sangat mengedepankan suatu teologi yang sederhana dan dapat diterima dengan baik oleh umatnya. Hal itu dapat dijumpai dalam maha karyanya, Bakti yang Sejati kepada Maria. Menurut Bossard, misionaris keliling ini lebih suka menyampaikan pengajarannya untuk orang kecil dan sederhana. Dalam bayangan kita, kalau itu disampaikan kepada kaum kecil, maka sudah pasti bahasa yang dipakai pun merupakan bahasa sederhana, suatu pengajaran dengan kategori-kategori berpikir yang simpel, mudah diterima dan memengaruhi hidup umat.[28]

Itulah sebabnya benar sekali apabila para penulis biografi atau pun mereka yang melakukan risetatas hidup dan karya Montfort menekankan kesederhanan pikiran dan ajarannya. Sejatinya orang kudus ini tidak ingin menjadi teolog, pemikir atau pun menjadi seorang terpelajar dan penulis untuk suatu kebutuhan akademis. Tulisan orang kudus ini hampir tidak pernah diterbitkan semasa hidupnya dan barangkali tetap belumlah selesai. Salah satu kerinduan dasarnya, yakni ia ingin selalu dan hanya menjadi seorang misionaris bagi orang-orang kampung. Ia amat memperhatikan kaum pinggiran, umat sederhana dengan melakukan perjalanan ke desa-desa sembari mengajarkan katekismus dan mengajarkan bagaimana menjalani hidup beriman secara baik dan benar.[29]

Buku Bakti yang Sejati kepada Maria yang barangkali ditulis[30] hanya beberapa tahun sebelum kematiannya memperlihatkan kemampuan dasariah orang kudus ini dalam mewartakan kebenaran-kebenaran iman melalui contoh-contoh, simbol-simbol dan analogi-analogi yang menarik bagi umatnya. Hal itu tidak mesti harus sesuai dengan budaya pada abad ke-21. Gaffney melihat bahwa dalam pewartaan Montfort tentang Maria, beberapa bahan mentah dapat dilihat sebagai topik pembicaraannya, yakni soal “raja, …, apel busuk, … kehidupan keluarga, kehamilan dan kelahiran, para pelayan dan hamba.”[31]

Montfort adalah seorang “teolog”, “misionaris”, “pengajar” yang baik dan handal bagi umat. Ia berbicara banyak hal tentang Allah Tritunggal dan Bunda Maria. Dia sungguh dilihat sebagai seorang “Misionaris Apostolik” yang “hebat dan populer.” Kehebatannya justru terletak pada kemampuannya dalam menuturkan ajaran atau spiritualitasnya (Marial) secara sederhana dan mudah dipahami umat. Itulah sebabnya mengapa dalam pengajaran atau pewartaannya, ia memakai kidung atau pun nyanyian rakyat, pengajaran mimbar dan elaborasi aneka prosesi yang sejatinya dapat menghantar umat masuk ke dalam kebenaran-kebenaran iman yang begitu kompleks. Dijelaskan pula bahwa jikalau dibandingkan dengan karya Henri Boudon (1624-1702)[32] tentang “Perhambaan Suci”, karya tulis Montfort, yakni Bakti yang Sejati kepada Maria dan Rahasia Maria lebih ringkas dan jelas. Selanjutnya, karya mariologisnya itu pada saat yang sama lebih berbasis teologis daripada tulisan atau karya Boudon yang terkesan lebih merupakan sebuah karya bergaya sangat Barok; agak rumit dan terkadang berbelit-belit.[33]

II. 2. Tekanan Pada Pembaharuan Janji Baptis: Seni Menghayati Hidup Kristiani

Pengaruh lain dari pelayanan Montfort atas bakti Marial-nya ialah tekanan pada “Pembaktian Diri kepada Yesus melalui Maria” sangat sepadan dengan pembaharuan janji-janji Baptis. Montfort mengetahui hal-hal ini selama berada di seminari, namun itu hanya muncul tatkala mengalami pengaruh dari karya pastoralnya. Menurut Gaffney, hal ini dapat dibayangkan seperti sebuah pendekatan yang diwujudkan Montfort sedemikian rupa sehingga dia sendiri menyadari secara penuh akan nilainya. Kemudian ia menegaskannya sebagai ciri khas dari karya misi dan retret yang diberikannya.[34] Gaffney mengamati bahwa sebetulnya itu tidak hanya diwartakan secara jelas, akan tetapi sungguh-sungguh diajarkan sebagai kerangka kerja dari gaya hidup Marial.[35] Hanya saja dikatakan bahwa apakah hanya dalam Bakti yang Sejati kepada Maria – kecuali rumusan Pembaktian Diri yang terkenal itu yang hanya semata-mata ditemukan dalam CKA 223-227 – Montfort menjelaskan secara eksplisit bahwa bakti (devosi) Marial yang sempurna merupakan pembaharuan yang sempurna dari janji-janji Baptis?[36] Patut diingat bahwa esensi yang diajarkan orang kudus Prancis ini pada dasarnya sama, yakni “membaktikan diri kepada Kristus melalui tangan Santa Perawan Maria.” Jadi, tidak ada dua pembaktian diri; yang satu kepada Kristus dan yang lain kepada Maria. Montfort hanya menekankan satu pembaktian diri. Montfort berkali-kali sangat menekankan ajaran ini kepada umatnya dan bahkan dalam arti tertentu kepada para pendengarnya di zaman ini, umat Kristiani seluruhnya tanpa kecuali.[37]

Orang suci ini sangat mendorong umat Kristiani agar melakukan Tindakan ”Pembaktian Diri” kepada Yesus melalui Maria. Spiritualitasnya dipenuhi dengan spirit tersebut. Dalam konteks ini, hidup seorang Kristiani di mata Montfort mesti diwarnai oleh semangat penyerahan diri secara total kepada Allah. Dalam arti ini, Maria dipandang sebagai jalan atau sarana dalam proses tersebut. Oleh Montfort, tindakan itu diparafrasekannya sebagai ”rahasia” untuk mengalami persekutuan secara sempurna dengan Yesus Kristus. Apa yang diajari oleh sang ”Misionaris Apostolik” tentang ”Pembaktian Diri” kepada Allah, pada hakikatnya merupakan pembaharuan yang sempurna dari janji-janji baptis yang sudah diucapkan. Hal ini memang menjadi salah satu ciri utama dari Spiritualitas ”Pembaktian Diri” a la Montfort. Dari sebab itu, seringkali dikatakan pula bahwa ”Pembaktian Diri” yang diajarkan sang ”teolog klasik” ini pada dasarnya merupakan implikasi langsung dari Sakramen Pembaptisan.[38]

II. 3. Montfort Dan Spiritualitas Yang Dihidupinya

Setiap penulis atau pengarang pasti memiliki gaya dalam penulisan, tendensi atau teologi-spiritualitas tertentu yang menjadi ciri khasnya tersendiri. Dengan kata lain, seorang penulis mewarisi suatu karakter atau gaya berpikir dan refleksi yang membedakannya dengan yang lain. Sebagai seorang ”penulis rohani” di zamannya, Montfort memiliki begitu banyak kekayaan spiritualitas yang diwariskan kepada Gereja. Gaya penulisan, teologi dan spiritualitas yang ditampilkannya pun berbeda dengan para penulis rohani atau bahkan para teolog yang lain. Salah satu spiritualitasnya yang paling menonjol ialah “Spiritualitas Marial” atau Doktrin Marial.[39] Montfort tidak hanya mampu merangkai kata-kata secara indah dan mendalam dalam suatu seri tulisan yang berbobot, tetapi juga menghidupinya secara kuat dan mendalam di dalam karya pastoral atau pelayanannya.

Pelayanan apostolik Montfort rupanya berpengaruh sangat kuat pada bakti (devosi) Marial-nya dengan mendalami spirit dari Spiritualitas Marialnya sendiri. Sehubungan dengan ini, Gaffney menulis:

“The profound changes brought about in his village missions convinced him of the need to be ever more immersed in living the faith, of being truly a child and slave of Mary, Mother and Mistress, in order to be filled with the Spirit for the glory of God Alone.”[40]

Sebetulnya perubahan-perubahan yang mendalam yang dibawa Montfort dalam misi pelayanannya ke daerah asalnya memberikan keyakinan padanya tentang bagaimana perlunya semakin menenggelamkan diri dalam menghidupi iman. Hal itu justru membantunya belajar terus-menerus menjadi seorang anak dan hamba Maria, dia yang adalah Bunda dan Ratu agar juga semakin dipenuhi dengan Roh kemuliaan Allah semata.[41]

Montfort diyakinkan bahwa pada dasarnya ia tidak dapat mengajar secara efektif dengan kata-kata andaikata kehidupannya sendiri bukanlah merupakan sebuah injil yang hidup. Atau dengan kata lain, sang misionaris ini tidak dapat mewartakan Injil dengan baik, jikalau ia sendiri tidak menghidupinya secara konsekuen.[42] Montfort berhasil mewartakan iman dengan baik di tempat-tempat penampungan, rumah-rumah prostitusi dan alun-alun kota. Dalam konteks ini, Gaffney melihat bahwa peran Bunda Maria dalam kehidupan Kristiani mengakar dalam hati sang misionaris yang kontemplatif ini.[43] Ia mewartakan suatu kebenaran iman yang turut memengaruhi kehidupan umat yang dilayaninya.

Menurut Gaffney, buah dari pewartaannya yang ia terima dan rasakan meyakinkannya bahwa pribadi Maria mesti menjadi hal penting bagi hidupnya sendiri dalam Yesus Kristus. Dari kedalaman iman yang dimiliki Montfort dan kesatuannya yang intim dengan Allah justru telah menghantarnya sampai pada tingkat persatuan mistik dengan Perawan Maria. Orang suci Prancis ini telah menjadi pribadi yang secara total terbuka pada pengaruh keibuannya. Dalam Kidung-nya, Montfort mengatakan bahwa ia telah membawa Maria di dalam pusat keberadaannya. Montfort menulis:

“Here is something hard to grasp: In my heart’s center I carry her Etched with strokes of glory, Yet in faith’s darkness still.”[44]

Gaffney mengatakan bahwa Montfort dapat berbicara tentang “mengubah efek atau pengaruh dari Pembaktian Diri secara total”, sebab ia sudah mengalaminya secara mendalam dalam dirinya.[45] Menarik sekali untuk dicermati lebih jauh bahwa sekalipun Montfort telah mengalami suatu fase hidup yang tinggi, yakni mengalami pengalaman mistik bersama Bunda Maria, dia samasekali tidak pernah memohon bahkan merindukan suatu penglihatan, pewahyuan atau pun kenikmatan-kenikmatan rohani. Dalam karya mariologis lainnya, Rahasia Maria, orang kudus ini menulis: “Aku tidak minta kepadamu penglihatan atau pewahyuan atau rasa enak atau kenikmatan, bahkan yang rohani pun tidak.”[46] Montfort tidak menginginkan hal yang lain, selain hidup karena iman itu sendiri, oleh karena itu soal “vision” atau wahyu pribadi bukanlah sasaran yang mau dicapai atau ingin dimilikinya (bdk. Yoh 20:29; 1 Kor 13:12).[47]

II. 4. Bakti Marial Montfort Dan Kaum Sederhana

Sebagai seorang “teolog rakyat kecil”, yang tulisannya banyak diperuntukkan bagi mereka, Montfort sangat mendedikasikan pengajaran Marial-nya bagi orang-orang sederhana. Kenyataan ini sebetulnya ikut mendesain cara berpikir kita tentang dimensi kerasulan dari doktrin Marial yang dia ajarkan dan wartakan. Dari sebab itu, Bossard pun menyadari bahwa sebetulnya akan sangat mengherankan jikalau Montfort tidak memahami dan mengartikulasikan dimensi kerasulan dari segala bakti kepada Maria. Bossard menulis:

“Although he does not include this dimension among the visible marks of true devotion, we would not be betraying him to consider it one. It is naturally connected to Mary and her mission: if she was made to lead us to Christ and help us to know him, how could she not urge her children forward on this same path? Whatever can be said of true devotion (e. g. TD 48, 57-59, 62, 113) can a fortiori be said of its perfect practice (e. g. TD 171-172, 214, 265).”[48]

Ajaran Marial (Mariologi) Montfort memang tidak hanya terbatas pada aspek doktrinal saja, akan tetapi memiliki pula dimensi apostolis atau kerasulan. Jadi, betul seperti kata Bossard bahwa ajaran sang misionaris tentang Maria justru membantu para pembaca supaya dapat menghayati secara lebih kuat suatu bakti sejati kepada Maria dalam praksis kehidupan sehari-hari. Praktik penghormatan kepada Maria dalam konteks ini justru menghantar seseorang mengalami persatuan yang intim dan permanen bersama Kristus.[49]

Semakin orang tahu bagaimana memberi penghormatan yang tepat kepada Maria, justru dia semakin bersatu secara sempurna dengan Kristus. Persatuan yang erat dengan Maria akan memampukan seseorang menyatukan diri dan seluruh hidupnya dengan Kristus, buah tubuhnya yang terpuji itu. Montfort selalu mengajak dan meyakinkan umatnya dalam karya pelayanan atau kerasulannya agar siapa pun juga dengan rela mau menghayati praktik atau penghormatan kepada Maria secara benar dan penuh dengan kelemahlembutan.

II. 5. Bakti Marial Dan Persatuan Erat Dengan Kristus

Menurut Bossard, istilah “Pembaktian Diri yang sempurna kepada Yesus Kristus” pada dasarnya merupakan sub judul pertama yang sungguh asli dari tulisan Montfort. Frasa ini merujuk pada praktik sempurna bakti kepada Perawan Suci, dia yang akan memimpin setiap orang berjalan masuk secara sempurna kepada Yesus yang selaras dengan prinsip pertama dari semua bakti yang sejati.[50] Girolamo dal Maso mengatakan bahwa pembaktian diri ini – sebagaimana yang dipikirkan Montfort – dilihat sebagai bentuk unione a Cristo; yakni persatuan dengan Kristus di mana, Maria dilihat oleh orang suci ini sebagai model unggulnya. Baginya, Maria adalah pribadi yang paling bersatu dengan Putranya sehingga dengan cara itu ia paling dibaktikan dan paling disucikan pada-Nya.[51]

Bagi Montfort, kesempurnaan seseorang memang harus tampak dalam “persatuannya dengan Yesus Kristus” dan persatuan ini hanya menjadi mungkin dan dibuat semakin sempurna ketika ia dibaktikan kepada Maria. Artinya ketika seseorang membaktikan dirinya kepada Maria, di situ ia pun melakukan penghormatan yang istimewa kepadanya. Dari sebab itu, semakin ia dibaktikan, dia semakin disatukan dengan Yesus Kristus Putranya. Dikatakan demikian oleh karena bagi Montfort, Maria adalah seorang yang paling dekat, paling erat hubungannya dengan Sang Putra. Jadi, kalau “Bapa kaum miskin” ini berkata bahwa semakin seseorang itu bersatu dengan Maria – diparafrasekannya demikian: “dibaktikan kepada Maria” – maka semakin dalam dan sempurna pula ia dibaktikan kepada Yesus Kristus.[52]

Dari catatan Montfort tersebut, dapat dijelaskan bahwa sebetulnya Maria adalah sarana, jalan menuju persatuan dengan Kristus. Jadi dalam konteks ini, tepatlah apabila Montfort menampilkan suatu bentuk bakti (devosi) kristosentris (devozione cristocentrica). Dengan demikian, benarlah pula apabila sebagai kaum Kristiani, kita semua menemukan diri kita justru di jantung persatuan dengan Yesus Kristus yang sudah sejak awal diinkorporasikan dalam Pembaptisan dan kemudian diperbaharui selalu seperti yang diuraikan Montfort dalam BS 126-131.

Agar menjadi “sepenuhnya milik Yesus Kristus” melalui Maria, kiranya setiap orang memberikan dirinya secara “total dan mutlak.” Sehubungan dengan ini, Montfort menjelaskan pentingnya suatu penyerahan diri yang seutuhnya kepada Maria agar siapapun yang melakukan itu – melaluinya – menjadi milik Yesus Kristus. Totalitas penyerahan diri ini dikatakan secara jelas oleh Montfort dalam BS 121. Di situ ia menjelaskan bahwa penyerahan itu bersifat lahiriah dan batiniah (badan, jiwa, harta lahirah yang sekarang dan yang akan datang, dan juga harta batiniah serta rohaniah). Bagi orang suci ini, penyerahan diri yang demikian merupakan suatu bentuk pemberian diri yang total dan radikal.[53]

Kalau memperhatikan kembali “penyerahan diri kepada Kristus melalui Maria” sebagaimana yang dipikirkan Montfort, maka kita pun bertanya “bagaimana caranya seseorang mengarahkan hal tersebut kepada Maria?” Menurut Bossard, ini tampak seperti suatu bentuk tindakan atau sikap latria yang hanya ditujukan kepada Allah. Apabila pemahaman ini yang ditonjolkan, maka posisi Maria itu sama dengan Allah, padahal sebaliknya harus dikatakan bahwa penyembahan itu hanya diberikan kepada Allah, dan kepada Maria hanya diberikan sebuah penghormtan (hyperdulia).[54] Menurut Corrado Maggioni, Maria dimuliakan sesudah puteranya melampaui para malaikat dan manusia oleh karena rahmat Allah dan bahkan oleh karena dia adalah Bunda Allah yang telah mengambil bagian di dalam misteri-misteri Kristus. Inilah alasannya mengapa kebaktian ini diarahkan kepadanya secara khusus.[55]

Dalam pandangan Montfort, semua bakti yang sejati kepada Maria terarah pada Kristus dan bersatu dengan Kristus. Hal ini mestinya ditempatkan pada jantung kehidupan Kristiani. Semakin besar bakti seseorang kepada Maria, maka semakin jelas dan kuat pula persatuannya dengan Kristus yang adalah tujuan akhir dari bakti (devosi) tersebut. Oleh karena itu, praktik sempurna sama artinya dengan pembaharuan janji baptis yang sempurna. Hal ini menjelaskan mengapa bakti (devosi) itu amatlah “sederhana”, karena tidak termasuk kewajiban yang baru bagi mereka yang ingin menerimanya. Bossard menulis:

“After we are consecrated, we must attempt to accomplish all that our state of life requires, in the spirit of interior practice. Again, we need to find methods of doing this, and so it is useful to have recourse to these particular practices, which are flexible and bountiful and can be observed “as far as one’s cicumstances and state of life permit (TD 257).”[56]

Masih dalam hubungan tersebut, Montfort berkata:

“Selain praktik-praktik lahiriah dari bakti ini, yang baru kami sampaikan, yang – sejauh status dan keadaan masing-masing orang memungkinkan – tidak boleh ditinggalkan oleh karena sebuah kelalaian atau oleh karena menganggapnya hina, berikut ini adalah praktik-praktik batiniah yang sangat menguduskan bagi orang-orang yang Roh Kudus panggil kepada kesempurnaan yang tinggi. Praktik-praktik ini dapat diungkapkan dengan empat kata, melakukan segala perbuatan kita melalui Maria, bersama Maria, dalam Maria dan untuk Maria, agar melakukan semuanya secara lebih sempurna lagi melalui Yesus Kristus, bersama Yesus Kristus, dalam Yesus dan untuk Yesus.”[57]

Dari pernyataan Montfort ini, dapat dikatakan bahwa bentuk-bentuk bakti yang khusus yang ditawarkannya kepada setiap orang adalah cara yang bisa dipakai dan dihayati demi mencapai kesempurnaan. Itu dihayati secara batiniah yang dapat diparafrasekan dengan sebutan “mebedaun”, yakni “melalui, bersama, dalam, dan untuk Maria.” Secara ringkas dapat dijelaskan demikian:

Pertama, “Melalui Maria.” Orang melakukan tindakannya melalui Maria. Di sini, setiap orang yang hendak menggunakan Maria, di mana dalam segala-galanya, ia mau belajar taat kepada Perawan teramat suci dan membiarkan dirinya dibimbing oleh rohnya, yang adalah Roh Kudus Allah (bdk. Rm 8:14).[58]

Kedua, “Bersama Maria.” Orang harus melakukan tindakannya dengan Maria. Dalam konteks ini, Montfort memandang Maria sebagai model yang sempurna dari setiap keutamaan dan kesempurnaan yang dibentuk oleh Roh Kudus di dalam seorang makhluk yang murni. Maksudnya agar dia sendiri mampu meneladaninya seturut kemampuannya yang amat terbatas itu. Sederhananya, Montfort berkata demikian: “bagaimana Maria telah melakukan hal ini atau bagaimana Maria akan melakukannya, seandainya dia berada di pihak kita?”[59] Baginya, agar hal ini dapat dihayati dengan baik, maka orang perlu mengintegrasikan keutamaan-keutamaan Maria ke dalam hidupnya.

Ketiga, “Dalam Maria.” Orang harus melakukan tindakannya dalam Maria. Untuk memahami maksud ini (dalam Maria), Montfort mengatakan bahwa orang harus mengetahui beberapa hal pokok. Hal-hal tersebut antara lain, mengenal identitas Maria sebagai “Taman Firdaus Sejati Adam Baru, tempat di mana Adam Baru, Yesus Kristus bersenang-senang selama sembilan bulan. Selain itu, ia juga perlu mengenal identitas lain dari Maria seperti yang dikatakan oleh para Bapa Gereja, misalnya “Gerbang Timur, tempat Imam Agung Yesus Kristus masuk dan ke luar dunia, Bait Suci keilahian, tempat istirahat Tritunggal Mahakudus, takhta Allah, kota Allah, altar Allah, kenisah Allah dan dunia Allah.”[60]

Keempat, “Untuk Maria.” Orang harus melakukan segala tindakannya untuk Maria. Menurut Montfort, oleh karena seseorang telah menyerahkan diri seutuhnya demi mengabdi Maria, maka dalam hal ini, Maria di mata sang “Misionaris Apostolik” ini adalah “tujuan dekat kita, lingkungan hidup yang penuh rahasia dan sarana yang mudah untuk pergi kepada Yesus Kristus.”[61] Jadi, Kristus harus menjadi tujuan final (kristosentris) dari bakti yang dilakukan melalui Maria. Jikalau tidak, maka menurut Montfort itu adalah sebuah “tipuan setan.”[62] Maria hanyalah sarana yang dipilih Allah untuk sampai kepada Kristus. Montfort sangat menekankan dimensi ini.

III. Kerasulan Marial Dan Panggilan Montfortan Masa Kini

Kalau kita membaca karya mariologis Montfort, Bakti yang Sejati kepada Maria dan juga beberapa karya mariologis lainnya seperti Rahasia Maria, Rahasia Rosario, maka sebetulnya seorang pengikut setia Montfort merasa terpanggil dan sekaligus ditantang untuk memahami, menghayati atau mengintegrasikannya dalam kehidupannya setiap hari. Dari sebab itu, panggilan untuk mewartakan ajaran Marial Montfort merupakan undangan bagi setiap Montfortan dalam menghidupi karya kerasulannya, dan juga merupakan ajakan bagi umat Kristiani yang merasa tergerak hatinya untuk mendalami dan menghayati serta menyebarkannya dalam hidup, karya dan perutusannya di tengah-tengah dunia.

Sebagai pengikut Montfort di zaman ini, seorang Montfortan dan juga mereka yang tertarik pada Spiritualitas Marialnya dapat menimba kekayaan yang melimpah dari warisan rohani, ajaran marial yang dituangnya dalam karya-karya tulisnya sebagaimana yang dimaksud tersebut. Melalui karya-karya pastoral, atau karya kerasulan di tengah-tengah umat; di paroki, di kelompok-kelompok kategorial atau pun di dalam pembinaan para calon (formasi awal – lanjutan), seorang Montfortan diundang dan didorong untuk senantiasa mengintegrasikan seluruh karya panggilan dan perutusannya dengan kerasulan dan ajaran marial Bapa Pendirinya.[63] Kehadiran Maria di dalam Tarekat ini, menurut hematku sejatinya bukan merupakan sebuah kebetulan, atau suatu unsur tambahan yang bersifat sampingan, melainkan sungguh-sungguh merupakan sebuah kondisi yang mutlak perlu (conditio sine qua non [absolute[ly] condition). Kehadirannya di dalam seluruh perjalanan hidup Tarekat ini bagaikan sebuah unsur “konstitutif” yang tidak dapat diabaikan begitu saja, suatu kehadiran yang memberikan ciri dan warna tersendiri.[64] Sama seperti Montfort dalam Gereja dilihat sebagai salah satu dari sekian banyak orang kudus yang memiliki relasi, hubungan yang erat dengan Perawan Maria,[65] demikian juga setiap umat Kristiani dari segala zaman terpanggil untuk meneladaninya dalam hal memandangnya sebagai “ibu” yang menuntun perjalanan hidup, panggilan dan karya kerasulannya.

III. 1. Bakti Dan Ajaran Marial Montfort Tetap Aktual

Antara hidup dan karya Montfort dan hidup manusia Kristiani di zaman kiwari atau dunia kontemporer sebetulnya terdapat jarak dan perbedaan yang cukup jauh. Yang satu adalah produk dari periode Barok[66], ia hidup pada 300-an tahun yang lalu,[67] berada di sebuah periode yang terbilang tidak mudah untuk dihidupi. Oleh sebagian besar pengarang, orang kudus Prancis ini hidup dalam suatu periode yang sukar (tidak teratur-kacau). De Fiores mengatakan bahwa di mata Montfort, sang misionaris dan mistikus ini, situasi pada zamannya tidak menggembirakan. Menurutnya, “Montfort menggambarkan situasi masyarakat pada akhir abad ke-17 sebagai “kekacauan umum” (BS 127), “kerajaan dunia yang busuk” (RM 59), dan “kerajaan para musuh Allah (DM 4).”[68] Di hadapan “kekacauan umum” (BS 127) itu, De Fiores mengatakan bahwa Montfort merasa perlu berseru: “Kebakaran-kebakaran, tolong!” (DM 28) seperti sedang berada di hadapan sebuah bahaya yang besar.[69]

Zaman Montfort dan zaman ini memang jauh berbeda. Situasi hidup dan teologi orang kudus Prancis pada masanya dengan pola pikir, kiblat teologi di zaman sekarang pun tentu berbeda. Sekalipun demikian, Montfort sebagai anak yang hidup di zamannya tidak bisa dipandang sebelah mata atau kehadirannya seakan dianggap tidak mampu lagi berkontribusi bagi kehidupan beriman Kristiani dewasa ini. Justru, doktrin Marial orang kudus ini tetap memiliki kontribusi tersendiri dan punya relevansi dengan kehidupan umat Kristiani di zaman kiwari.

Terlepas dari perbedaan konteks hidup dan tendensi yang cukup berbeda tersebut, ajaran Montfort untuk menghidupi atau menjalankan Fiat Maria yang penuh kasih pada Allah (bdk. Luk 1:38) merupakan sebuah “tantangan besar bagi masyarakat kontemporer.” Doktrin Marial sang “teolog klasik” ini adalah sebuah panggilan untuk mengupayakan pembaharuan iman pada suatu kehidupan yang harmoni dengan radikalitas injil dalam meniru teladan hidup Maria dan dengan bantuan efektif peran keibuannya. Menurut Gaffney, Montfort menekankan dengan sangat jelas totalitas kehidupan Perawan Maria pada Sang Sabda justru membuat kita sekalian mengerti apa yang menjadi radikalitas hidup bagi Allah.

Tatkala dunia yang secara teoretis menerima realitas globalisasi, dan merayakannya namun impoten atau tidak mampu menghadapi tantangannya, justru ajaran yang disampaikan oleh Montfort menawarkan sebuah wawasan dan cara praktis guna mewujudkan suatu tatanan dunia yang baru, yang diparafarasekannya sebagai “kampung global” (global village). Di dalam Maria, “sang pembicara” untuk alam semesta bagi semua orang, kita semua adalah saudara dan saudari Yesus Kristus yang ditebus, maka kita adalah putra-putrinya sendiri.[70]

Jelas sekali melalui doktrin Montfort tentang Maria, hanya melalui penyerahan total yang aktif dan bertanggungjawab pada Tuhanlah – ingat dimensi Pembaktian Diri a la Montfort – maka kemenangan, kejayaan Salib dapat terwujud. Gaffney mengatakan bahwa sebetulnya agar Kerajaan Allah itu sungguh-sungguh hadir dan dialami dalam kehidupan manusia, maka tidak cukup hanya dengan berpangku tangan tanpa melakukan apa-apa. Ringkasnya, itu perlu tindakan nyata melalui kepedulian dan partisipasi aktif dalam meringankan beban penderitaan sesama.[71] Jadi, dalam konteks ini apa yang dinamakan dengan “kepekaan sosial” terhadap dunia sekitar perlu dibahasakan secara nyata dan terungkap dalam tindakan-tindakan konkret.

Doktrin Marial yang diajarkan Montfort dalam arti tertentu memperlihatkan dimensi pelepasan diri seorang Perawan Maria yang secara total menyerahkan dirinya pada Allah. Selain itu, dari dalam dirinya muncul suatu panggilan untuk melakukan suatu karya karitatif bagi sesama atau dunia di sekitarnya. Dalam konteks ini, Bunda Maria adalah seorang pribadi yang sangat peka baik terhadap panggilan Allah maupun terhadap panggilan untuk melayani orang lain (bdk. Yoh 2:1-11). Ia setia dan taat kepada Allah dan mendengarkan-Nya secara saksama. Secara aktif wanita kudus dan mulia ini ikut ambil bagian dalam karya mewujudkan Kerajaan Allah di dunia melalui jawaban Fiat-nya yang monumental itu. Ini berarti perwujudan tersebut menjadi mungkin hanya ketika orang hidup dalam Tuhan, tepatnya dia memiliki persatuan yang erat dengan Sang Sumber segala sesuatu, yakni Allah. Persis dalam arti inilah, Perawan Maria telah menghayatinya secara total, di mana ia menundukkan diri dan belajar taat kepada Allah (bdk. Luk 1:38). Dalam pengertian ini, adalah benar sekali dalam segala keterbatasan manusiawi, harus diakui bahwa tanpa Allah kita sekalian semasekali tidak dapat berbuat apa-apa, seperti Maria kita pun membiarkan diri sepenuhnya masuk ke dalam kelemahlembutan-Nya untuk kemudian diilahikan dan menjadi selaras baik terhadap dunia, diri sendiri maupun dengan orang lain. Mengapa demikian karena seperti kata Gaffney kita berada dalam suatu ketaatan dengan sumber segala sesuatu, yakni Allah sendiri.[72]

Melalui pernyataan itu, hal yang hendak digarisbawahi ialah “totalitas penyerahan diri Maria”. Penyerahan diri Perawan Maria pada dasarnya diarahkan pada kelemahlembutan, kebaikan Allah sebagai upaya – selain agar ia ‘diilahikan’ – tetapi juga agar ia tetap hidup selaras dengan dunia, dengan diri sendiri dan juga dengan orang lain. Ini mesti dihayati justru dalam ketaatan penuh dengan Sumber dan Tujuan dari segala sesuatu, yakni Allah sendiri (Deo Soli). Persis dalam konteks inilah, sejatinya Mariologi dari orang kudus Prancis itu menghantar kita sekalian pada pusat iman kita.[73]

III.2. Ajaran Marial Montfort Relevan Bagi Hidup Spiritual-Apostolis

Sekalipun Montfort menyampaikan ajaran Marial-nya pada suatu kurun waktu dan konteks tertentu yang sangat dipengaruhi nuansa Barok abad ke-17, pada hakikatnya ajaran itu tidak pernah hilang. Justru doktrin Marial orang suci ini sangat kontekstual pada zaman kiwari. Secara khusus andaikata kita hendak melihat perkembangan hidup di masa sekarang, terutama di tengah munculnya begitu banyak perubahan dan tendensi hidup manusia Kristiani pada abad ini, memang patut disyukuri bahwa ajaran Marial Montfort tidak pernah “ketinggalan kereta” atau irrelevant. Ajaran atau doktrinnya tersebut tetap memiliki nilai dan arti penting bagi kehidupan umat Kristiani dewasa ini. Hal ini sangat ditekankan oleh Gaffney.

Pada hakikatnya, pengajaran Montfort tentang Perawan Suci Maria masih sangat relevan sampai hari ini. Dikatakan demikian sebab Mariologi Montfort khususnya tentang “devosi” (bakti) yang sejati kepada Maria pada dasarnya merupakan sebuah panggilan untuk menghidupi Injil secara tuntas dan konsekuen.[74] Selain itu, ajaran lain yang dipandang masih sangat relevan untuk konteks hidup di zaman ini, yakni panggilan untuk mentransformasi diri, mengubah hidup yang lebih terarah kepada Allah. Tentang hal ini, Montfort sangat tegas dan prinsipil mengajarkan dan menghayatinya. Melalui pewartaannya tentang Maria, Perawan yang setia dan taat pada Allah, kaum Kristiani pun diundang untuk belajar banyak dari sikap hidup Maria. Jadi, ringkasnya tetap ada seruan untuk berbalik dari segala sesuatu yang bukan milik Allah. Spiritualitas Mazhab Prancis sangat menekankan dimensi ini.[75] Salah satu tekanan utamanya ialah penyangkalan terhadap dunia, yakni sebuah panggilan untuk menyadari dunia dan diri sendiri sebagai sesuatu yang sama sekali tidak ada apa-apanya di hadapan Allah. Sikap yang perlu dihidupi juga adalah merendahkan diri di hadapan Allah.[76] Maria Perawan yang setia dan rendah hati itu telah mewujudkan semangat ini dalam seluruh perjalanan hidupnya. Gereja sendiri menatapnya sebagai “teladan cinta kasih keibuan, yang harus menjiwai siapa saja yang tergabung dalam misi kerasulan Gereja demi kelahiran baru sesama mereka.”[77]

Pandangan yang menolak dunia dan segala macam cita-cita hidup sekular tanpa mempedulikan Allah atau tidak mau tahu lagi dan berbicara tentang Allah (acuh tak acuh terhadap-Nya atau bahkan anti atas diri-Nya (kaum atheis, agnotis),[78] sejatinya telah mendapat perhatian penuh dari Montfort. Namun, semuanya itu justru kurang diminati dan malahan tidak masuk dalam perspektif manusia post-modern. Seruan itu malahan menurut Gaffney ditolak oleh dunia Barat. Dunia Barat dalam arti tertentu menampilkan ciri hidup yang sangat sekular, yang kadangkala tidak bisa mentolerir atau sependapat dengan Fiat Maria yang aktif dan sangat responsif itu. Tentang semuanya ini, Gaffney menulis:

“It is rejected especially by the highly secularized West, which cannot tolerate joining in with Mary’s active and responsible Fiat. In a haughty, do-your-own-thing age, an era marked by little if any doctrinal or moral restraints – characteristic of the West – Montfort’s doctrine is as acceptable as Jeremiah’s was to the people of Jerusalem. The saint’s boldness in his proclamation of Mary as the model and of the necessity of joining in with her representative surrender to the Lord is highly unpalatable to the self-sufficient, rugged-individualist citizen of the first world.”[79]

Kalau kita memperhatikan pernyataan Gaffney tersebut, maka dapat dikatakan bahwa memang betul sekali jikalau Montfort sangat menekankan sosok Maria sebagai teladan kesucian hidup manusia di segala zaman, termasuk zaman ini.[80] Sekalipun dunia sekarang tidak terlalu berminat pada praktik kesalehan hidup atau “hidup suci dan murni”, panggilan untuk mewujudkan hal itu selalu ada dan tetap terbuka. De Fiores mengatakan bahwa walaupun pada saat ini tampaknya muncul suatu tendensi, tindakan yang bersifat anti atau munculnya sikap “alergi’ terhadap “kesucian” itu sendiri, Katekismus Gereja Katolik no. 493, 721, 829, 1161, 2675, 2677, 1370, 2030 membantu kita untuk merefleksikan dan mendalami makna “kekudusan” yang dimaksud.[81] Panggilan para Montfortan dan kaum Kristiani sebetulnya ada dalam jalur ini, dipanggil untuk menghayati arti “kekudusan” dalam hidup seperti Perawan Suci Maria. Kekudusan adalah sebuah karakter esensial dari Gereja, bahkan merupakan suatu tanda yang paling menawan dan menonjol dari kedatangan Tuhan di tengah manusia. Jadi seperti kata René Latourelle, imam dan teolog Kanada, “kekudusan” itu merupakan suatu tanda yang paling mendesak yang ditawarkan kepada dunia.[82] Menariknya bahwa bagaimana sebaiknya menghayati kesucian hidup di dunia zaman ini, kehadiran Maria justu dipandang sebagai par excellence. Dia dijadikan sebagai “teladannya.” Wanita suci ini menjadi tuttasanta (baca: seluruhnya kudus). Dalam Katekismus Gereja Katolik, (KGK) dijelaskan secara luas dan mendalam perihal Maria sebagai prototype kekudusan kaum Kristiani.[83]

Keteladanan yang patut dihayati oleh manusia di zaman ini, sebetulnya terletak dalam sikap penyerahan diri yang total kepada Allah seperti Bunda Maria. Ringkasnya, Pembaktian Diri Maria kepada Allah sebagai sumber kebijaksanaan hidupnya (bdk. Luk 1:38; Yoh 2:1-11) mestinya tetap mendorong dan memengaruhi para Montfortan dan setiap umat Kristiani dewasa ini untuk terus-menerus menghayati hidup yang penuh dengan penyerahan diri pada-Nya. Hanya sayang sekali, tidak semua hal “indah, manis, dan muluk” ini masuk dalam dinamika kehidupan manusia. Gaffney mengatakan bahwa menjadikan Maria sebagai model pribadi yang demikian di hadapan Allah bagi manusia zaman ini sangatlah tidak menyenangkan warga dunia pertama (baca: dunia Barat) yang merasa hidup sendiri saja atau individualis sudah cukup. Tentu hal ini merupakan tantangan besar bagi pewartaan Injil di abad ini.[84]

Melalui pengajaran Marial Montfort, dapat dikatakan bahwa sebetulnya orang kudus ini meninggalkan suatu kenyataan yang pasti mengenai validitas yang permanen dan relevansi pembaktian hidup, “Pembaktian Diri kepada Perawan Maria, Bunda Allah.” Melalui pengajaran Marial-nya, kita dapat memperoleh gambaran bahwa pemberian diri Maria pada Allah melalui Fiat-nya pada waktu Inkarnasi merupakan sebuah keteladanan yang patut diinternalisasi oleh setiap umat Kristiani.[85] Dari sebab itu, ketidakmampuan seseorang dalam menangkap maksud orang kudus itu akan membuatnya salah anggapan. Pada gilirannya hal itu akan menyebabkannya sulit memandang Maria sebagai teladan unggul sebagaimana yang diajarkan oleh Gereja.[86] Jadi seperti kata Gaffney, hanya pemahaman yang keliru tentang pengungkapan diri Allah memungkinkan seseorang mengabaikan Maria.[87] Dalam konteks ini, sebetulnya Montfort samasekali tidak mengajarkan dan mengharapkan suatu bentuk pemujaan kepada Maria, sebab baginya itu merupakan suatu model penghujatan kepada Allah.[88] Dengan demikian, jelas sekali bahwa kaum Kristiani harus tetap setia menyembah hanya kepada Allah dan kepada Maria cukup diberikan sebuah penghormatan yang tinggi (hyperdulia). Itulah bakti (devosi) yang ditekankan Montfort dalam seluruh doktrinnya.

Ajaran Marial Montfort memang tidak bisa langsung dipahami dan mudah dipraktikkan karena tekanan pada pribadi Maria tampaknya begitu tinggi dan kadangkala orang yang masih awam terhadap ajaran dan spiritualitasnya akan menganggap hal itu “sangat berlebihan”. Bahkan ada yang menuduh doktrin Marial Montfort masuk dalam kategori ini; melebih-lebihkan atau mengagung-agungkan Maria atau yang dikenal dengan istilah “maksimalisme.”[89] Namun sebetulnya tidaklah demikian, Maria bukan setara, sederajat dengan Allah. Ia berada jauh di bahwa Allah seperti yang dikatakan Montfort. Montfort tidak memposisikan Maria seperti “yang Ilahi” sebagaimana yang dipikirkan orang tentang maksimalisme ajaran Marialnya.[90] Ajaran Marial Bapa orang miskin ini sangatlah Kristosentris, Trinitarian dan Eklesial. Semakin seorang Kristiani menghormati Maria, semakin dia menghormati Kristus dan menyatukan dirinya secara lebih sempurna dengan-Nya. Semuanya hanya terjadi dalam dan melalui Maria.

Ajaran Marial Montfort dalam arti tertentu membantu manusia Kristiani di zaman ini untuk tanpa malu dan takut belajar menenggelamkan dirinya di hadapan Allah samaseperti yang sudah dihayati Maria. Dalam arti ini, tepatlah apabila dikatakan bahwa pengajaran Montfort tentang “kekecilan” atau “ketiadaan Maria”, seorang “gadis kecil” yang dipenuh oleh cinta yang tanpa batas itu, menjadi tanda harapan bagi manusia kontemporer yang kadangkala mengalami ketakutan dan merasa kehilangan diri apabila harus menyerahkan dirinya secara total pada Allah.

Jadi sesungguhnya, dalam pandangan orang kudus Prancis ini, Maria adalah pribadi yang perlu dan sangat berharga bagi umat Kristiani yang rindu untuk disembuhkan dari kegelapan hati dan hasrat untuk disucikan oleh Allah.[91] Dari sebab itu, bersama dengan Maria, sebagai Ibu dan Ratu, umat Kristiani yang kadangkala kehilangan harapan dalam hidupnya, dapat “menceburkan diri” atau “menenggelamkan diri” (baca: membenamkan diri) di dalam Allah yang adalah Sang Cinta itu sendiri. Dalam Kidung 28:43 Montfort menulis “My soul, lose yourself in God, totally and for ever. Expect all your help from God alone even though you will be censured; do not be fond of the world; fly then, free as a bird, in supreme peace, poor even to the grave.”[92] Dalam ketiadaan seperti ini, harapan itu hanya ada pada-Nya, sebab di dalam Dia ada bantuan atau pertolongan.

Penutup

Ketika orang berbicara tentang Montfort, mungkin saja pikirannya terarah pada beberapa hal ini; seorang yang kaku, prinsipiil-tegas, sederhana, seniman-kreatif dan lebih suka mendekatkan dirinya pada kaum miskin dan sederhana; seorang misionaris dan pengkhotbah ulung, pendoa (“mistikus”) serta seorang yang memiliki bakti (devosi) yang mendalam nan mesra kepada Perawan suci Maria. Pengalaman akan Allah dan relasinya yang begitu mendalam dengan-Nya rupanya menghantar orang kudus ini mampu menghasilkan berbagai macam karya tulis yang menarik, mendalam dan berbobot.

Apa yang ditulis Montfort dalam karya-karya mariologisnya bukan sekedar sebuah uraian sistematis, teoretis yang lahir dari sebuah produk pemikiran dan refleksi pribadinya yang mendalam, akan tetapi dihidupi, dihayati dalam seluruh karya kerasulan dan perutusannya sebagai seorang imam, misionaris marial yang berbobot. Montfort telah berhasil memenangkan banyak jiwa dalam menghidupi panggilan Kristiani dengan belajar secara setia sebagai seorang hamba Maria yang taat kepada Allah. Apa yang diwariskan dan diajarkan oleh orang kudus Prancis ini sejatinya dalam arti tertentu menjadi suatu undangan yang sangat berharga bagi para Montfortan dan kaum Kristiani saat ini untuk senantiasa mewartakan dan menyebarkan semangat Spiritualitas Marial yang ia wariskan dan ia ajarkan di dalam Gereja.

RP. Fidel Wotan, SMM


[1] Salah seorang kudus dari Prancis, Santo Jean-Théophane Vénard, M.E.P, – seorang misionaris Katolik Indo-China (martir) – pernah mengatakan bahwa banyak orang dewasa ini (red: pada masanya) merasa bahwa buku Bakti yang Sejati yang ditulis oleh Montfort dan devosi yang direkomendasikannya terlalu sedikit diketahui bahkan oleh para imam dan terlalu sedikit direkomendasikan. Sebetulnya buku Montfort tersebut memiliki popularitas di antara para awam, selain itu sangat direkomendasikan oleh paus, uskup, teolog dan penulis rohani sebab buku orang kudus ini dirasakan sangat berharga dalam bimbingan jiwa, dan merupakan sarana kesucian yang tak tertandingi bagi para rohaniwan, religius dan awam, Diyakini bahwa Bakti yang Sejati bukan hanya (dikhususkan) untuk para kudus dan bukan hanya untuk saat-saat terakhir kehidupan. Sebelum beliau meninggal, ia melakukan ‘Pembaktian Diri’, menguduskan dirinya menurut formula yang diajarkan oleh Montfort. Lih.https:///www.catholicculture.org/culture/library/view.cfm?recnum=7201. Diakses pada 26 Februari 2022 di Roma. Buku Bakti yang Sejati kepada Maria menampakkan kedalaman Mariologi yang amat kaya akan kualitasnya. Ringkasnya, buku ini pun sebetulnya mengandung ajaran tentang Maria yang sangat kaya dan memiliki otoritas yang tinggi. Paus Benediktus XV (1914-1922) mengatakan bahwa buku Bakti yang Sejati karya Montfort merupakan sebuah buku yang memiliki uraian dan otoritas yang tinggi. Sedangkan, Paus Pius XII (1939-1958) memandangnya demikian: “kekuatan terbesar di balik seluruh pelayanan apostolik (St. Louis de Montfort) dan rahasianya yang besar untuk menarik dan memenangkan jiwa-jiwa bagi Yesus adalah baktinya kepada Maria (kutipan ini diambil dari Kanonisasi Montfort pada 20 Juli 1947).” Lih. SAINT LOUIS DE MONTFORT, O’Connell in the Preface of True Devotion to Mary with Preparation for Total Consecration, Saint Benedict Press, Charlotte, North Carolina 2010, hlm. vii-viii. Bdk. ANDRE FROSSARD, “Be not Afraid!” Pope John Paul II Speaks Out on His Life, His Beliefs and His Inspiring Vision for Humanity, St. Martin’s Press, New York 1982, hlm. 124-127. 

[2] Bdk. SAINT LOUIS DE MONTFORT, O’Connell in the Preface of True Devotion to Mary with Preparation for Total Consecration, hlm. xv-xii. 

[3] Salah seorang pakar Spiritualitas Prancis mengatakan bahwa di antara para kudus pada masanya “barangkali di segala zaman, Grignion de Montfort merupakan seorang yang mungkin melangkah lebih jauh dalam pendalaman teologis tentang bakti kepada Maria dalam pelayanan kehidupan Kristiani… karya tulis Bakti yang Sejati kepada Maria tetap menjadi buku klasik devosi marial”. Memang popularitas Montfort, dalam lingkup yang paling beragam bertumpuh pada doktrin marialnya dan tersebar luasnya karya tulis Bakti yang Sejati kepada Maria. Lih. R. DE VILLE, L’ècole française de spiritualié, Paris 1987, hlm. 154. Bdk. A. VALENTINI, “Una teologia mariana cristocentrica trinitaria ed ecclesiale”, L’osservatore Romano 29 April 2020. 

[4] Catatan tentang hal ini dapat dilihat dalam studi yang dilakukan oleh Pater Alfons Bossard, SMM. Dikatakan bahwa pada tahun 1902 terdapat 67 edisi Bakti yang Sejati dalam delapan (8) bahasa. Selanjutnya pada 1956, terdapat 253 edisi dalam delapan belas (18) bahasa. Dari informasi ini, bisa dibuat suatu opini bahwa betapa luar biasa hebatnya pendistribusian buku orang kudus ini secara luas di seluruh dunia melalui pengambilan sampel singkat dari beberapa angka publikasi pada tahun 1902 dan 1956. Menurut Bossard, ini tidak termasuk edisi yang diterbitkan oleh para Misionaris Montfortan yang ada di Jerman, Swiss, Austria di mana mereka menerbitkan lima edisi pada 1902 dan 30 edisi pada 1956. Kemudian di Inggris terdapat tiga edisi pada tahun 1956. Trend yang sama berlaku pula bagi Belanda dan Italia, begitu pula negara-negara berbahasa Spanyol. Selain itu, terdapat pula edisi tulisan Montfort di lima belas (15) negara di mana Komunitas Montfortan tidak pernah hadir. Bossard mengatakan bahwa tentu usaha seperti ini merupakan hal yang amat mengagumkan. Meluasnya penyebaran karya Montfort itu menunjukkan kenyataan bahwa ternyata masih ada orang lain di luar komunitas para Montfortan yang terdorong untuk mewartakan Maria a la Montfort. Bossard mengatakan pula bahwa pada saat penulisan buku tersebut, terdapat sekitar empat ratus (400) edisi yang dimuat oleh lebih dari tiga puluh bahasa. Bdk. A. BOSSARD, “True Devotion” dalam S. DE FIORES (ed.), Jesus Living in Mary, Montfort Publication, Bay Shore, NY 1994, hlm. 1215-1216. (Selanjutnya disingkat JLM). 

[5] Sejauh ini, ada beberapa edisi cetakan Bakti Sejati kepada Maria dalam Bahasa Indonesia yang diterjemahkan oleh Mgr. Ishak Doera, Pr (2000, 2003, 2005 dan 2009) dan terjemahan P. Arnold Suhardi, SMM (cetakan terbaru) yang dikeluarkan oleh Pusat Spiritualitas Marial Montfortan (PSMM), Malang tahun 2019. 

[6] A. Tostain, mengatakan bahwa istilah “devosi” (devotion) dihubungkan dengan dua sikap utama. Pertama, sikap batin yang diarahkan untuk melayani Allah. Ia menulis: “Au sens premier, devotion = ardeur à server Dieu.” Jadi, ini berkaitan erat dengan “disposisi batin” yang diselaraskan dengan kehendak dan jiwa. Ia berkata bahwa sikap batiniah ini kemudian tampak dalam tindakan nyata, namun yang paling utama ialah apa yang ia sebut dengan “an interior disposition” (disposisi batin). Tindakan ini (devosi) tampak dalam iman dan memiliki sumbernya dalam “tindakan kasih” dan seringkali dapat diidentifikasi. Kedua, arti kata devosi dikaitkan dengan tindakan-tindakan praktis. Ia mengatakan bahwa devosi pertama-tama dan terutama menyangkut suatu “tindakan kebaktian eksternal”. Akan tetapi telah menjadi suatu kebiasaan dengan memakai istilah “dévotion” (atau devosi “khusus”- dévotion «particuliere»), seperangkat tindakan keagamaan yang diusulkan atau setidaknya disahkan oleh Gereja, terinspirasi oleh objek khusus. Menurutnya, devosi tidak lain merupakan suatu daya tarik spiritual, suatu keterikatan baik pada objek dari kebaktian maupun pada tindakan atau “praktik” yang mengekspresikannya. Bdk. A. TOSTAIN, “Devotion(s)”, dans A. BOSSARD (sous la direction), Petit Vocabulaire Marial. Collection “Voici ta Mere”, Desclee De Brouwer, Paris 1979, hlm. 59. 

[7] Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata “bakti” memiliki dua pengertian: pertama, “tunduk dan hormat; perbuatan yang menyatakan setia (kasih, hormat, tunduk); kepada orang tuanya.” Kedua, “setia, memperhambakan diri: pembayaran upeti dari negeri taklukan merupakan tanda bakti kepada Baginda, sebagai tanda bakti kepada nusa dan bangsa.” Selain kata “bakti”, KBBI juga menyebut kata “berbakti” yang berarti “berbuat bakti kepada”, “setia kepada”, misalnya: “Setia kepada Tuhan dengan cara melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Selain kedua kata itu, dijelaskan pula kata kerja “membaktikan” yang berarti; Pertama, “menghambakan; menggunakan segenap tenaga untuk berbakti kepada”, Kedua, “memberikan sesuatu sebagai tanda bakti.” Sedangkan kata benda “pembaktian” diartikan oleh kamus ini sebagai “proses, perbuatan, cara membaktikan.” Dari sini, kemudian kita dapat mengerti arti dan makna kata benda “pembaktian” (consécration) dalam terang pemikiran Montfort. Lih. DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta 1988, hlm. 71. Bdk. F. WOTAN, Pedoman Umum Perserikatan Maria Ratu Segala Hati (PMRSH) Indonesia: Melalui Maria Menuju Yesus, Pusat Spiritualitas Marial Montfortan (PSMM-Malang), Kanisius, Yogyakarta 2021, hlm. 16.

[8] Bdk. A. BOSSARD, “True Devotion”, JLM, hlm. 1222. 

[9] Bdk. Ibidem.  

[10] Montfort berkata: “Yesus Kristus, Penebus kita, sungguh Allah dan sungguh manusia, harus merupakan tujuan akhir dari semua bakti lain yang kita hayati, jika tidak, semua bakti itu palsu dan menyesatkan. Yesus Kristus adalah Alfa dan Omega, Awal dan Akhir dari segala sesuatu.” L. M. G. DE MONTFORT, Bakti Sejati kepada Maria 61, terj. A. SUHARDI, Pusat Spiritualitas Marial Montfortan [PSMM], Malang 2019, hlm.41. (Selanjutnya disebut BS).  

[11] BS 118. Menurut Battista Cortinovis dan François Marie Léthel, bagian ini (red: BS 118) dilihat semacam prolog yang mendalam terhadap penyajian praktik khusus bakti (devosi) kepada Maria, pokok bahasan seluruh karya. Di sini, sang penulis (Montfort) ingin mengusulkannya sebagai jalan kekudusan yang sejati, jalan mistik yang terbuka bagi semua orang yang dibaptis, yang mampu menuntun pada persatuan sempurna dengan Yesus Kristus menuju kemuliaan Allah. Bdk. Https://www.upra.org. i fondamenti teologici della vera devozione a Maria. Diakses pada 3 Maret 2022, pkl. 22.54 di Roma. 

[12] Bdk. BS 119. 

[13] Lih. BS 152-168. 

[14] Bakti (devosi) yang diajarkan Montfort adalah bakti (devosi) yang terbaik dan paling menyucikan serta mampu menghantar orang menjauhi dosa (BS 108) dan paling sempurna (BS 118). Alasan utama mengapa orang kudus Prancis ini mengatakan bahwa bakti (devosi) kepada Maria merupakan bakti (devosi) yang paling sempurna dan menyucikan yakni, “Maria” itu sendiri. Bagi Montfort, “Maria” adalah pribadi yang paling sempurna dan paling suci dari segala makhluk. Jadi, kalau orang memilih bakti (devosi) kepada Maria sebagai praktik yang sempurna dan menyucikan, maka hal itu justru terjadi karena “kesucian dan keunggulan Maria dari segala makhluk” (BS 157). 

[15] Bdk. A. BOSSARD, “True Devotion”, JLM, hlm. 1222. 

[16] Battista mengatakan bahwa bakti (devosi) “Perhambaan Suci” pertama kali datang dari Spanyol. Jikalau ditelusuri lebih jauh, asal mula Spiritualitas “Perhambaan Maria” tampak dalam tulisan-tulisan Fransiskan Spanyol, John of Angels (1536-1609). Menurut Battista, istilah slave (hamba) dipakai pada masa itu, namun sebetulnya itu dapat dilihat ke belakang pada Santo Ignatius dari Loyola yang merenungkan kelahiran Kristus seraya memikirkan dirinya sendiri sebagai “hamba kecil Maria, Yosef dan Sang Anak (Yesus).” Battista mengatakan bahwa ungkapan “pelayan” dan “hamba” dari Perawan Terberkati dapat dijumpai pula dalam John of Avila (Yohanes dari Avila). Bdk. B. CORTINOVIS, Montfort Pilgrim in the Church, terj. T. DOUCETTE, Missionari Montfortani, Roma 1997, hlm. 64. 

[17] A. BOSSARD, “True Devotion”, JLM, hlm. 1222-1223. 

[18] BS 216. 

[19] Kata “pahala” (le mérite) dalam terjemahan Indonesia muncul begitu banyak. Misalnya dalam terjemahan baru Bakti yang Sejati kepada Maria (2019) di sana terdapat 73 kali (dalam Rahasia Maria Montfort memakai juga kata ini, hanya sangat sedikit) kata itu disebut, tersebar di beberapa nomor. Apa itu pahala? Dalam bahasa Montfort – sejauh yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia – di situ dijelaskan bahwa “pahala” merupakan nilai perbuatan baik (la valeur méritoire). Secara lengkap Montfort menguraikannya dalam BS 122. 

[20] Montfort berkata: “Oh! Betapa meneguhkan dan menggembirkan bila orang dapat berkata bahwa harta Allah – tempat di mana Dia telah menyimpan hartaNya yang paling bernilai – adalah juga hartanya! Ipsa est thesaurus Domini: dia adalah harta Tuhan”, kata seorang kudus.” BS 216. 

[21] BS 218. 

[22] Lih. BS 222. 

[23] Bdk. Gaffney mengutip BLAIN, 28. Bdk. P. Gaffney, “Mary”, JLM, hlm. 696.

[24] Bdk. Ibidem. Bdk. G. D’AMICO – M. BARALDO, Spiritualità mariana: alla scuola di san Luigi Maria da Montfort, Edizioni Montfortane, Roma 1997, hlm. 15. 

[25] Bdk. P. Gaffney, “Mary”, JLM, cit., hlm. 696.

[26] Ibidem. 

[27] Bdk. G. D’AMICO – M. BARALDO, Spiritualità mariana: alla scuola di san Luigi Maria da Montfort, hlm. 14. 

[28] Bdk. BS 26. Bdk. A. BOSSARD, “True Devotion”, JLM, hlm. 1214. 

[29] Bdk. G. MUCCI, “San Luigi Maria di Montfort un maestro per il nostro tempo”, in la Civiltà Cattolica (2001), hlm.29. 

[30] h menjadi suatu hal yang tetap diperhatikan. “Izin” itu diberikan oleh René-François Soyer, Uskup Lucon, pada tanggal 18 Desember 1842, dan karya itu muncul pada tahun 1843. Dikatakan bahwa “Direktur Seminari Lucon” adalah dia yang bertanggung jawab untuk penerbitan edisi pertama. Dialah yang dikenal dengan nama Augustin Grillard, yang masuk ke Serikat Maria pada 6 Oktober 1851. Para editor pertama memilih judul buku yang secara umum bisa dikenal saat ini, “Uraian tentang Bakti yang Sejati kepada Perawan Tersuci.” Menurut Bossard, mereka membagi buku / tulisan ini menjadi beberapa bagian dengan maksud agar lebih mudah diakses. Bdk. A. BOSSARD, “True Devotion”, JLM, cit., hlm. 1214. 

[31] P. GAFFNEY, “Mary”, JLM, cit., hlm. 696.

[32] Henri Boudon (1624-1702) merupakan salah satu dari beberapa tokoh (mentor) spiritual yang terkenal di zaman Montfort. Selain dia masih ada tokoh-tokoh lain dari lingkungan sulpician yang ikut memengaruhi perjalanan rohani Montfort seperti J. J. Olier (1608-1657), Jean-Joseph Surin (1600-1665), Louis Tronson (1622-1770). Bdk. F. B. WOTAN, Salib adalah Kebijaksanaan, Kebijaksanaan adalah Salib (Skripsi), STFT Widya Sasana, Malang 2008, hlm. 32-33. Bdk. J.-B. BLAIN, Summary of the Life of Louis-Marie Grignion de Montfort, terj. B. J. RABILLER et al., St. Gabriel Press, Rome 1977, hlm. 35. 

[33] Bdk. P. GAFFNEY, “Mary”, JLM, cit., hlm. 696. 

[34] Bdk. L.-M. G. DE MONTFORT, Rahasia Maria (Le Secret de Marie) 56, terj. SERIKAT MARIA MONTFORTAN, SMM, Bandung 1993. (Selanjutnya disingkat RM).

[35] Bdk. P. GAFFNEY, “Mary”, JLM, hlm. 696-697. 

[36] Lih. BS 126-130. 

[37] Spiritualitas Marial Montfort sebetulnya dengan sangat elok, dapat dikatakan sebagai ”seni hidup menjadi orang Kristen” yang diparafrasekan dengan sebutan ini: ”Pembaktian Diri kepada Kristus lewat tangan Maria” atau yang lebih dikenal dengan sebutan ”Pembaktian Diri.” Orang kudus ini dikenal dan diikuti oleh banyak orang dewasa ini oleh karena ia menawarkan suatu jalan (model) hidup yang menarik, yakni ”seni untuk menjadi kudus.” Malahan ini disebutnya sebagai ”rahasia” untuk menjadi suci, yakni rahasia untuk mengalami secara nyata persatuan dan keserupaan dengan Kristus dan Maria adalah jalan yang aman, lurus dan tak bernoda, sebab melalui Maria kita dapat menemukan Kristus. Bdk. BS 50. Bdk. G. D’AMICO – M. BARALDO, Spiritualità mariana: alla scuola di san Luigi Maria da Montfort, hlm. 19. 

[38] Bdk. P. GAFFNEY, “Consecration”, JLM, hlm. 214. 

[39] Bdk. G. D’AMICO – M. BARALDO, Spiritualità mariana: alla scuola di san Luigi Maria da Montfort, hlm. 15-16. 

[40] P. GAFFNEY, “Mary”, JLM, hlm. 697. 

[41] Bdk. Ibidem.  

[42] Lih. L.-M. G. DE MONTFORT, The Hymns of St. Louis-Marie de Montfort. God Alone vol. II in MISSIONARIES OF THE COMPANY OF MARY (ed.), Montfort Publications, Bay Shore, New York 2005, 91, hlm. 397-407 (Selanjutnya disingkat Kidung [K]). Bdk. P. GAFFNEY, “Mary”, JLM, cit., hlm. 697. 

[43] Bdk. P. GAFFNEY, “Mary”, JLM, cit., hlm. 697. 

[44] Kidung 77:15. Bdk. P. GAFFNEY, “Mary”, JLM, cit., hlm. 697. 

[45] Lih. BS 257-265. Bdk. Ibidem.  

[46] RM 69. Bdk. P. GAFFNEY, “Mary”, JLM, cit., hlm. 697. 

[47] Selain Abraham yang menghayati suatu ketaatan iman kepada Allah, ia menjadi “Bapa kaum beriman” (bdk. Ibr 11:8), Maria dengan imannya yang mendalam akan Sabda Allah juga adalah sosok yang pantas menjadi teladan bagi setiap umat Kristiani dalam peziarahan imannya. Bdk. LG 58. Tentang ini, Paus Yohanes Paulus II berkata: “Seperti St. Yohanes dari Salib, St. Montfort terutama menekankan kemurnian iman dan kegelapannya yang mendasar dan yang kadang menyakitkan (bdk. RM 51-52). Iman yang kontemplatif-lah yang, dengan menyangkal segala hal yang inderawi dan luar biasa, menembus ke kedalaman yang tak terbahasakan dari diri Kristus.” Dikutip dari Surat Paus Yohanes Paulus II untuk memperingati 160 tahun Edisi Pertama Bakti yang Sejati kepada Maria (1843-2003) Mahakarya St. Louis-Marie Grignion de Montfort. Kutipan ini diterjemahkan oleh A. Suhardi. Lih. L.M. G. DE MONTFORT, Bakti Sejati kepada Maria 61, terj. A. SUHARDI, Pusat Spiritualitas Marial Montfortan [PSMM], Malang 2019. Lih. Lettera alle Famiglie monfortane in occasione del 160° anniversario della pubblicazione del “Trattato della vera devozione alla Santa Vergine” di San Luigi Maria Grignion de Montfort (13 gennaio 2004) Giovanni Paolo II (vatican.va). Diakses pada 6 Maret 2022 di Roma. 

[48] A. BOSSARD, “True Devotion”, JLM, hlm. 1223. 

[49] Bdk. Ibidem. Dalam terang pemikiran Montfort, apa yang kita sebut sebagai penghormatan atau bakti (devosi) kepada Maria samasekali tidak mengahalangi perjumpaan dengan Kristus, justru dipermudah untuk mengalaminya, sebab seperti kata Montfort bahwa semakin kita menghormati Maria, semakin kita menghormati Yesus Kristus. Bagi orang kudus ini, seseorang menghormati Maria supaya Yesus Kristus semakin mendapat tempat di hatinya. Montfort berkata: “Sebab tidak pernah kita semakin menghormati Yesus Kristus daripada ketika kita semakin menghormati Perawan Tersuci, karena kita menghormati Maria hanya supaya kita dengan lebih sempurna menghormati Yesus Kristus: kita pergi kepadanya hanya seperti pergi ke jalan untuk sampai ke tujuan akhir ke mana kitah melangkah, yaitu Yesus.” BS 94.  

[50] Lih. BS 120. 

[51] G. DAL MASO, DIEU SEUL: Scrittura mistica e teologica in S. Louis-Marie Grignion de Montfort, Edizioni Monfortane, Roma 2005, hlm. 309. Bdk. BS 62, 120. 

[52] Bdk. BS 120. 

[53] BS 122-123. 

[54] A. BOSSARD, “True Devotion”, JLM, hlm. 1223. 

[55] Bdk. C. MAGGIONI, “Il rapporto della Chiesa con Maria: culto e forme di devozione nel capitolo VIII della Lumen gentium”, in E. M. TONIOLO (a cura di), Maria nel concilio. Approfondimenti e percorsi a 40 anni dalla Lumen gentium”, Centro di Cultura Mariana “Madre della Chiesa”, Roma 2005, hlm. 40. 

[56] A. BOSSARD, “True Devotion”, JLM, cit., hlm. 1223. 

[57] BS 257. 

[58] Lih. BS 258. 

[59] Bdk. BS 260. 

[60] Lih. BS 262. 

[61] BS 265. 

[62] Bdk. BS 62. 

[63] Sejauh ini, para Montfortan di seluruh dunia telah menunjukkan geliat atau semangatnya dalam mewartakan dan menghidupi ajaran Spiritualitas Marial Montfort dalam berbagai bidang karya pelayanan. Salah satu karya pelayanan yang dilakukan oleh para Montfortan ialah “pendampingan, pembinaan” bagi kaum awam, seperti kelompok Maria Ratu Segala Hati, yang di Indonesia dikenal cukup kental dengan sebutan Kerabat Santo Montfort (KSM) atau yang saat ini lebih menggunakan nama Perserikatan Maria Ratu Segala Hati [PMRSH]. Selain itu, pendampingan dan pembinaan untuk kelompok umat awam, perhatian juga diberikan kepada kelompok awam lain khususnya kaum muda yang dikenal di Indonesia dengan nama “Montfort Youth” (Remaja Montfort) atau “Orang Muda Montfort” (OMM). Para Montfortan di Indonesia dengan segala kreativitasnya (baik yang ada di paroki, di komunitas biara/misi maupun yang ada di rumah-rumah pembinaan) telah berusaha menghidupkan kelompok-kelompok awam tersebut sambil tetap mencari cara atau model karya pastoral-misi pelayanan yang cocok atau yang berkarakter marial dan selaras dengan kebutuhan yang ada. Dari antaranya, barangkali bisa digarisbawahi misalnya, program tetap “Zafari Rosario” para Montfortan di Flores (Novisiat-Paroki) dalam kerjasamanya dengan pihak keuskupan dan umat yang diadakan hampir setiap tahun di Kota Ruteng (Flores-Manggarai). Atau program pembinaan para Montfortan bagi para anggota PMRSH (KSM) di beberapa wilayah di Indonesia dan program pendampingan para kaum muda (Montfort Youth -Remaja Monfort) di beberapa paroki di mana para Montfortan hadir, serta pembinaan terhadap kaum muda Montfort (OMM – Orang Muda Montfort) yang dijalankan di kota Malang saat ini. Selain hal-hal ini, barangkali masih ada kreativitas-kreativitas lain yang dilakukan, dihidupi oleh para Montfortan dalam rangka semakin menghidupkan dan mewujudkan semangat kerasulan marial yang diwariskan dan dihidupi sendiri oleh Bapa Pendiri. Pesan Paus Yoh, Paulus II untuk seluruh keluarga besar Montfortan di seluruh dunia dalam hal menghidupi dan menyebarkan harta warisan Spiritualitas Montfort, kiranya terus mendorong dan menyemangati mereka semua. Bdk. SERGIO GASPARI, “Un Pontefice ‘confratello dei Montfortani’ Monfort figura significativa per il b. Giovanni Paolo II”, in http://www.cuorinaviganti.it/files/Un-Pontefice-confratello-dei-monfortani.pdf. Diakses pada 5 Maret 2022 di Roma. 

[64] Setiap Tarekat atau Kongregasi Religius lain yang bernafaskan Maria atau hidup di dalam bimbingan dan perlindungan Bunda Maria biasanya memiliki semangat dasar serupa. Para pendiri mereka pun tentu meletakkan semangat dasar hidup para pengikut atau anggotanya juga dalam kategori serupa “menjadikan Bunda Maria sebagai panutan, model dan teladan hidup mereka.” Sebetulnya panggilan hidup serupa pun dapat diasimilasi oleh setiap murid Kristus, memandang Perawan Suci Maria sebagai “Bunda dan teladan serta model hidup kekristenannya” (bdk. Yoh 19:26-27). Bdk. PAOLO VI, Esortazione apostolica per il retto ordinamento e sviluppo del culto della Beata Vergine Maria, Marialis cultus 21 (2 febbraio 1974), in Enchiridion Vaticanum [=EV], EDB, Bologna 1979, vol. 5, no. 21, hlm. 73.  

[65] Bdk. S. DE FIORES, Maria. Nuovissimo Dizionario, Testimoni e maestri, vol. 3, Dehoniane, Bologna 2008, hlm. 440. 

[66] Tentang “barok” ini, dikatakan bahwa asal-usulnya tidak jelas. Istilah “barok” berasal dari Bahasa Portugis baroque atau dalam Bahasa Spanyol barrueco yakni kata benda yang menunjukkan suatu jenis mutiara yang bentuknya tidak teratur. Menjelang akhir abad ke-18, istilah “barok” digunakan dalam pengertian yang “eksentrik”, “extravagant”, dll. Saat ini, istilah ini telah masuk dalam kosa kata (kamus) kritikus untuk mendefiniskan gaya artistik pada abad ke-17 sebagai prasyarat memenuhi kriteria estetika pada masa itu sebagai suatu seni yang sejati. bdk. A. HAUSER, The Social History of Art: Renaissance, Mannerism and Baroque, vol. III, Library of the Central European University Budaphest, London 1992, hlm. 158-159. 

[67] Montfort hidup dalam sebuah periode yang sulit pada masanya. Tentang hal ini, Salvatore M. Perella menulis: “Montfort hidup pada Zaman Barok yang bersinggungan dengan roh kritis dan pada akhirnya dengan zaman Pencerahan, sebuah fenomana budaya yang terjadi antara Revolusi Inggris tahun 1648 dan revolusi berdarah Prancis tahun 1789, yang bersumber pula di negara-negara utama Eropa: sebuah era yang ditandai dengan adanya putaran roh geometri ke roh finesse.” Menurutnya, Montfort menjadi bagian dari zaman tersebut atau hidup dalam periode yang sukar dan pada waktu yang sama merupakan seorang putra Gereja yang setia dan penuh dengan antusiasme berada di tengah-tengah bahaya dan masalah yang serius. Dia sungguh hidup dalam sebuah periode yang tidak mudah, sebuah masa senjanya para mistikus tatkala ujian internal sungguh-sungguh muncul dari Gallikanisme dan Yansenisme. Selain itu muncul pula ujian eksternal berupa ketidakstabilan ekonomi serta kemalangan sebagai akibat perang yang dikehendaki oleh Raja Louis XIV dari tahun 1671 dan seterusnya serta kelaparan yang hebat pada tahun 1693 dan 1709. Lih. S. M. PERRELLA, “La Consacrazione alla divina Sapienza per le mani di Maria: proposta trinitario-battesimale di s. Luigi Grignion de Montfort”, in B. CORTINOVIS – S. DE FIORES – E. VIDAU (a cura di) Spiritualità trinitaria in comunione con Maria secondo Montfort. Atti dell’8 Colloquio internazionale di mariologia Roma, 11-13 ottobre 2000, Edizioni Monfortane, Roma 2002, hlm. 121. 

[68] Bdk. S. DE FIORES, Maria. Nuovissimo Dizionario, Testimoni e maestri, hlm. 473. 

[69] Bdk. Ibidem.  

[70] GAFFNEY, “Mary”, JLM, hlm. 718-719 

[71] Panggilan untuk berada bersama mereka yang kecil, yang tersingkirkan dari tengah masyarakat, ringkasnya mereka yang miskin dan yang menderita, sejatinya itu merupakan panggilan Gereja sebagaimana yang Kristus sendiri datang untuk melayani mereka yang kecil dan menderita. Dia hadir secara nyata bagi mereka yang lemah, yang miskin dan menderita (bdk. Mat 19:21; 25:40,45). Dia sendiri pula yang menyatakan orang miskin berbahagia dan ingin menjadi miskin bagi orang lain (bdk. Mat 5:3; Luk 6:20; 2 Kor 8:9). Konstitusi Pastoral tentang Gereja di dunia dewasa ini, Gaudium et spes no. 1 menunjukkan ekspresi keprihatinan kepada dunia (manusia) yang tidak hanya mengalami sukacita, tetapi juga mereka yang miskin dan menderita. Di sana dikatakan bahwa kegembiraan dan kecemasan manusia pada zaman ini terutama mereka yang miskin dan menderita merupakan kegembiraan, kecemasan dan duka para murid Kristus. Solidaritas Yesus dengan kaum yang menderita tak terbantahkan. Yesus adalah seorang yang sangat tersentuh dengan penderitaan orang lain (sesama). Ia melihat bahwa penderitaan orang lain merupakan sebuah undangan bagi-Nya untuk mengambil suatu tindakan untuk menolong dan menyelamatkan mereka. Montfort, adalah salah satu dari sekian banyak orang kudus yang telah mewujudkan apa artinya menjadi bagian dari kaum yang hina dina, mereka yang miskin dan menderita itu. Cara hidup Kristus adalah cara hidup Gereja demikian juga baik pengajaran maupun cara hidup Montfort adalah teladan dan inspirasi bagi kita para Montfortan (dan juga kaum Kristiani) di segala zaman sampai hari ini untuk berbelarasa (solider) dengan mereka yang miskin dan menderita. Bdk. CATECHISM OF THE CHATOLIC CHURCH, Second Edition. Revised in accordance with the official Latin text promulgated by Pope John Paul II, nn. 218-221, Libreria Editrice Vaticana, Città del Vaticano 2019, hlm. 59-60. Bdk. BS 26. Bdk. A. BOSSARD, “True Devotion”, JLM, hlm. 1214. Bdk. JOHN SOBRINO, Jesus the Liberator: A Historical-Theological Reading of Jesus of Nazareth, translated by PAUL BURNS – FRANCIS MCDONAGH, Burns & Oates, Wellwood, Nort Farm Road 1994, p. 90. 

[72] Bdk. GAFFNEY, “Mary”, JLM, hlm. 719.

[73] Bdk. Ibidem.  

[74] Melalui pengajaran marialnya, kaum Kristiani, khususnya para Montfortan dari setiap generasi sampai hari ini dipanggil untuk membenamkan diri dalam Spiritualitas Marialnya dan menjadikannya sebagai “lifestyle” bagi pertumbuhan, perkembangan hidup rohani secara pribadi maupun hidup apostolis dalam karya pelayanan baik di Paroki, di rumah-rumah pembinaan (formasi), di komunitas-komunitas biara / pusat-pusat misi, di kelompok-kelompok kategorial maupun di mana saja ia diutus dan berkarya. 

[75] Asumsi dasar dari Spiritualitas Mazhab (baca: Sekolah) Prancis yakni, manusia diciptakan oleh Allah dan dibentuk dalam rupa-Nya. Ia berasal dari Allah dan ia juga kembali kepada-Nya. Menurut Kardinal de Bérulle (1579-1629) kehidupan manusia di dunia ini mestinya menjadi jalan (lorong) kecil, yang ditandai oleh hal-hal yang menunjukkan kepadanya bahwa ia dipanggil untuk mengalami hidup di surga. Bdk. S. A. MUTO, in the Preface to W. A. THOMPSON, Bérulle and the French School, Paulist Press, New York 1989, hlm. xv-vi. 

[76] Bdk. Ibidem., hlm. xvi, 48. 

[77] LG 65. 

[78] Kaum agnotis memiliki cara pandang atau pikiran seperti ini. Bagi mereka tidak penting apakah Allah ada atau tidak, bahkan ketika mau mencari-Nya pun dilandaskan pada sikap acuh tak acuh. Katekismus Gereja Katolik melihat kaum agnotis seperti kaum atheis praktis. Bdk. CATECHISM OF THE CHATOLIC CHURCH, Second Edition. Revised in accordance with the official Latin text promulgated by Pope John Paul II, n. 2127, p. 516. Bdk. A. KENNY, The Unknown God: Agnostic Essays, Continuum, London 2004, p. 9. 

[79] P. GAFFNEY, “Mary”, JLM, hlm. 718. 

[80] Kadangkala manusia (dunia) kurang menaruh minat dan respek dalam mengurusi perkara-perkara surgawai atau hal-hal suci, namun itu bukan berarti manusia di zaman ini samasekali tidak lagi mengenal Tuhan dan Agama. Justru panggilan untuk menghayati nilai-nilai keagamaan tetap ada. Sekalipun demikian, adalah Pavel Evdokimov mengatakan bahwa “kekudusan” sepertinya ketinggalan zaman dan terminologi ini malahan tampak kabur bahkan tidak lagi cocok eksis di tengah kehidupan modern. Berkaitan dengan pernyataan Pavel tersebut, pakar Mariologi, De Fiores melihat bahwa apa yang dinamakan dengan “kekudusan” atau “hidup suci” benar-benar dilingkupi oleh aneka praktik kejahatan duniawi. Menurut mariolog ini – meminjam bahasa Corrado Alvaro – sebetulnya ada suatu keraguan dalam hal ini, yakni hidup secara benar menjadi tidak lagi produktif atau berfaedah. De Fiores mengatakan bahwa mereka yang berjuang agar “tangan tetap bersih” (baca: hidup murni, kudus atau saleh) tampaknya tidak berguna menyempurnakan aristokrasi berpikir menjadi kudus. Bdk. S. DE FIORES, “Tuttasanta nello ambiti teologici della santità di Maria”, in E. TONIOLO (a cura di), Maria nel catechismo della Chiesa Cattolica, Centro di cultura mariana, “Maria Madre della Chiesa”, Roma 1992, hlm. 105-106. 

[81] Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi Dogmatis tentang Gereja Lumen gentium (Terang Bangsa-bangsa) 56, 65, terj. R. HARDAWIRYANA, Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, Jakarta 1990, hlm. 103, 111-112. (Disingkat LG). 

[82] Bdk. R. LATOURELLE, La sainteté signe de révélation, in Gregorianum 46 (1965), 1, hlm. 36-65. 

[83] Kesucian Maria dibicarakan dan ditetapkan sebagai sebuah kebenaran iman Gereja dalam apa yang disebut dengan “Dogma Maria Immaculata (Maria Tak Bernoda). Menurut De Fiores – sebagaimana yang digarisbawahi oleh KGK 491 bahwa berabad-abad lamanya – Gereja sudah mengakui Maria sebagai pribadi yang dipenui dengan rahmat itu dan ditebus sejak dari perkandungannya. Bagi teolog dan mariolog itu, kekudusan Maria dibicarakan dan direfleksikan dalam proses yang panjang. Ia mengatakan bahwa ini merupakan suatu perjalanan yang amat melelahkan yang mengatasi posisi para Bapa Gereja seperti Irenaeus dan Kristotomus yang mengakui adanya dosa dalam diri Maria, namun samasekali tidak menyangkal kekudusannya. Dalam KGK 493 dikatakan bahwa berkat rahmat Allah, Maria tetap murni dari dosa pribadi di sepanjang seluruh eksistensinya. “Bapa-bapa Gereja Timur menamakan Bunda Allah “Yang suci sempurna” [panhagia] … (LG 56). Karena rahmat Allah, Maria bebas dari setiap dosa pribadi selama hidupnya.” Bdk. S. DE FIORES, “Tuttasanta nello ambiti teologici della santità di Maria”, cit., hlm. 105-106. 

[84] Bdk. P. GAFFNEY, “Mary”, JLM, cit., hlm. 718. 

[85] Pola penghampaan diri Allah (kenosis) pada Maria – dalam terang pemikiran Montfort – sebetulnya dapat pula menjadi pola perendahan diri manusia Kristiani. Yesus Kristus tidak hanya sekedar mengosongkan diri-Nya, tetapi dalam pengosongan-Nya itu, Ia menggantungkan diri-Nya secara total. Ketergantungan Yesus pada Maria adalah suatu bentuk perendahan diri (kenosis) Allah (bdk. Flp 2:5-11). Meskipun demikian, ketergantungan diri Kristus di sini bukan mau menunjukkan bahwa ada ketidaksempurnaan dalam diri-Nya oleh karena Ia dilahirkan oleh Maria. Montfort menegasi kalau pernyataannya itu ditafsir demikian. Menurutnya, Maria berada sangat jauh di bawah Putranya yang adalah Allah. Maria tidak memberi perintah kepada-Nya sebagaimana layaknya perintah seorang ibu duniawi kepada anaknya. Bagi Montfort kalau dikatakan bahwa segala sesuatu di surga dan di bumi, malahan Allah, tunduk kepada Maria, maka sebetulnya Allahlah yang berkenan memberikan kuasa yang begitu besar kepada Maria sehingga kelihatannya seakan-akan Maria berkuasa sama seperti Allah. Bdk. BS 27. Bdk. P. GAFFNEY,”Incarnation” JLM, hlm. 699. Bdk. R. J. M. GENTLE, Jesus Redeeming in Mary, The Role of the Blessed Virgin Mary in Redemption According to St. Louis Marie Grignion de Montfort, Montfort Publications, Bay Shore, NY 2003, hlm. 148-155.

total pada Maria 

[86] Bdk. LG 53, 63. 

[87] Bdk. P. GAFFNEY, “Mary”, JLM, hlm. 719. 

[88] L. M. G. DE MONTFORT, Cinta dari Kebijaksanaan Abadi 205, terj. SMM BANDUNG, Serikat Maria Montfortan, Bandung 2005. (Disingkat CKA). 

[89] Pandangan ini justru menempatkan Maria ada di sisi Yesus (Maria dilihat sejajar, setara dengan Kristus Putranya) dan bersama Yesus memandang manusia. Posisi Maria sejatinya berada jauh di atas Gereja. Akibatnya, persepsi ini dapat mendewa-dewakan Maria (maksimalisme). Pandangan ini muncul amat kuat sebelum Konsili Vatikan II. Pemikiran ini sejatinya menekankan suatu tipe “Mariologi” yang ditilik dari sudut pandang Kristus (Mariologi tipe Kristus atau Mariologi Cristotipica) sebagai lawan dari Mariologi Ecclesiotipica (Mariologi tipe Gereja). Pandangan yang terakhir ini justru muncul dari suatu kerinduan yang mendalam dari para konsiliaris pada Konsili Vatikan II yang menghendaki dan mengusulkan agar Maria dimasukkan ke dalam skema tentang Gereja yang kemudian ikut menentukan perumusan mengenai dokumen Konstitusi Dogmatis, Lumen gentium VIII. Dengan demikian, Maria tidak lagi dilihat sebagai pribadi yang berada jauh di atas Gereja seperti pandangan tentang Mariologi tipe Kristus (cristotipica) pra Konsili Vatikan II, melainkan ia dilihat sebagai anggota Gereja. Dengan kata lain, Maria tidak lagi dilihat sebagai pribadi yang berada jauh di atas Gereja seperti pandangan tentang Mariologi tipe Kristus (cristotipica), melainkan masuk sebagai anggota Gereja. Hanya saja dalam posisinya sebagai anggota Gereja, ia memiliki kualitas yang jauh lebih unggul melampaui segala makhluk lainnya. Dalam konteks inilah, Gereja menatapnya sebagai typos atau model unggul. Maria juga – jikalau dilihat dari perspektif ini – adalah Gereja yang mempribadi. Dari sebab itu, apa saja yang terjadi pada Maria dalam kaitannya dengan Kristus, itu juga yang terjadi pada Gereja dalam kaitannya dengan Kristus. Bdk. LG 53. Bdk. S. M. PERRELLA, “Percorsi teologici postconciliari: dalla Lumen gentium ad oggi” in E. M. TONIOLO (a cura di), Maria nel concilio, approfondimenti e percorsi, Centro di Cultura Mariana, “Madre della Chiesa”, Roma 2005, hlm. 193-194. Bdk. A. E. KRISTIYANTO, Maria dalam Gereja. Pokok-pokok Ajaran Konsili Vatikan II tentang Maria dalam Gereja Kristus, Kanisius, Yogyakarta 1987, hlm. 12-13. Bdk. G. PASI, “Mariologi Konsili Vatikan II: Mikhrohistori Mariologi pra-Konsili dan Magna charta Mariologi Post-Konsili” dalam Studia Philosophica et Theologica, Vol. 16. No. 1, STFT Widya Sasana, Malang 2016, hlm. 44-47. 

[90] Bagi Montfort, di hadapan Allah, Maria adalah seorang buatan Allah: dia “hanyalah seorang makhluk yang dibentuk tangan yang Mahatinggi (BS 14), dia “yang lebih kecil dari sebutir atom”, atau tepatnya menurutnya, “Maria nihil samasekali” (BS 14). Atau seperti kata Gaffney di hadapan kaum Yansenis yang berseberangan dengan pemikiran orang kudus Prancis ini, justru menegaskan kekecilan Maria (ketiadaan) Maria di hadapan Allah. Dalam pengertian ini, tidak benar apabila Montfort melebih-lebihkan Maria dan karena itu menjadikan Maria sebagai seorang yang “sederajat dengan yang Ilahi”, sebab pada hakekatnya Maria adalah “maha karya dari Allah” (bdk. BS 50). Bdk. P. GAFFNEY, “Saint Louis Mary Grignion de Montfort and the Marian Consecration”, in Marian Studies, vol. 53, art. 14 (1994), hlm. 116. 

[91] P. GAFFNEY, “Mary”, JLM, hlm. 719. 

[92] Kidung 28:43. 

Bagikan: