Devosi Marial Dan Pemahaman Dalam Tradisi Iman Katolik

Fidel Wotan, SMM

PENGANTAR

Pembicaraan atau diskursus tentang “devosi” pada hakekatnya tidak bisa dipisahkan dengan konteks hidup umat misalnya dengan budaya, tradisi, dll. Pada umumnya yang dipahami ketika berbicara tentang “devosi umat” ialah sekumpulan doa atau praktik yang berasal dari inisiatif pribadi tertentu dan tidak diterima sebagai bagian integral dari liturgi resmi Gereja. Sesungguhnya ada begitu banyak devosi yang muncul dalam praktik hidup Gereja (baca: sejak abad-abad pertama sampai saat ini), namun dari semua devosi tersebut, ada beragam devosi yang telah direkomendasikan dan dianjurkan oleh Takhta Suci seperti Rosario, Angelus, Litani, Prosesi, Jalan Salib, devosi bulan Mei, dsb. Dikatakan bahwa dalam perjalanan selanjutnya, ada devosi yang diterima oleh Gereja sebagai liturgi seperti Pesta Rosario Suci (7 Oktober). Meskipun demikian, dapat dikatakan secara umum bahwa ada banyak ragam devosi yang tidak diterima sebagai ibadat resmi.[1]

Tema yang akan didalami dalam tulisan ini merupakan sebuah bahan yang menarik oleh karena devosi dilihat sebagai salah satu sarana, jalan untuk menghidupi agama dan mencapai pengalaman (mengalami yang ilahi) dengan yang suci seperti yang dikatakan oleh YB Haryono (selanjutnya disebut Haryono):

“… banyak orang memandang devosi sebagai jalan menghidupi agama. Dengan devosi, mereka bisa mencapai pengalaman kebersatuan dengan yang ilahi dan kehampaan bahkan mengalami mukjizat penyembuhan dan sebagainya. Mereka menjadi bahagia, yakin, rendah hati, lebih bebas, aman dan mencintai. Sementara yang lain memandang praktik devosional itu dengan sinis. Mereka melihatnya sebagai bentuk berhala, tahyul dan mencari jimat. Yang lain memandangnya sebagai primitif dan membosankan. Yang lain lagi memandangnya sebagai tidak masuk akal. Yang lain lagi menggunakannya untuk mencari keuntungan diri sendiri”.[2]

Tulisan ini dimaksudkan bukan untuk meneliti secara detail dan lengkap sejarah, asul-usul devosi dalam Gereja Katolik dan bukan pula bertujuan membuat sebuah analisis mendalam mengenai devosi, namun dimaksudkan untuk menjelaskan secara sederhana tentang devosi marial dalam tradisi iman Katolik serta aplikasinya dengan mengajukan pertanyaan: “mengapa orang Katolik berdevosi kepada Maria, apa keistimewaan Maria”, apa inti dan makna berdevosi kepada Maria, dlsb. Berkenaan dengan itu, diskursus tentang tema ini tentu bersentuhan juga dengan beberapa aspek, misalnya dimensi liturgi, eklesial, kultural dan antropologi, dll.

  1. ARTI DAN MAKNA “DEVOSI”

Menurut E. Martasudjita, istilah “devosi” berasal dari kata Latin devovere yang sering digunakan dalam bentuk refleksif yang berarti menundukkan diri. Kata “devosi” dapat ditafsir sebagai suatu sikap batin (interior) dan praktik kesalehan di mana manusia menundukkan dirinya di hadapan Allah. Di dalam tradisi Kristiani, istilah ini merupakan sebuah bentuk keyakinan dan ungkapan iman di luar liturgi resmi.[3]

Tostain, mengatakan bahwa istilah ini dihubungkan dengan dua sikap utama. Pertama, sikap batin yang diarahkan untuk melayani Allah. Ia menulis: “Au sens premier, devotion = ardeur à server Dieu.” Jadi, ini berkaitan erat dengan “disposisi batin” yang diselaraskan dengan kehendak dan jiwa. Ia berkata bahwa sikap batiniah ini kemudian tampak dalam tindakan nyata, namun yang paling utama ialah apa yang ia sebut dengan “an interior disposition” (disposisi batin). Tindakan ini (devosi) tampak dalam iman dan memiliki sumbernya dalam “tindakan kasih” dan seringkali dapat diidentifikasi. Kedua, arti kata devosi dikaitkan dengan tindakan-tindakan praktis. Ia mengatakan bahwa devosi pertama-tama dan terutama menyangkut suatu “tindakan kebaktian eksternal”. Akan tetapi telah menjadi suatu kebiasaan dengan memakai istilah “dévotion” (atau devosi “khusus”- dévotion «particuliere»), seperangkat tindakan keagamaan yang diusulkan atau setidaknya disahkan oleh Gereja, terinspirasi oleh objek khusus. Menurutnya, devosi tidak lain merupakan suatu daya tarik spiritual, suatu keterikatan baik pada objek dari kebaktian maupun pada tindakan atau “praktik” yang mengekspresikannya”.[4]

Makna istilah tersebut dapat pula diambil dari pernyataan Kongregasi Ibadat dan Tata Terbit Sakramen (Directory on Popular Piety and the Liturgy, Principles and Guidelines) dalam dokumennya tentang devosi dan liturgi yang berbicara tentang popular piety (kesalehan umat). Istilah devosi berarti aneka kebiasaan eksternal. Kebiasaan eksternal tersebut mencakup doa, madah, dan kebiasaan yang dikaitkan dengan waktu atau tempat tertentu, panji-panji, medali, busana, atau kebiasaan yang dijiwai oleh sikap iman dan mengungkapkan hubungan khusus kaum beriman dengan Tritunggal, Santa Maria dan para kudus.[5] Kongregasi Ibadat dan Tata Tertib Sakramen menulis:

“In the present context, this term is used to describe various external practices (e.g. prayers, hymns, observances attached to particular times or places, insignia, medals, habits or customs). Animated by an attitude of faith, such external practices manifest the particular relationship of the faithful with the Divine Persons, or the Blessed Virgin Mary in her privileges of grace and those of her titles which express them, or with the Saints in their configuration with Christ or in their role in the Church’s life”.[6]

Ungkapan iman dalam bentuk kebiasaan eksternal tersebut dapat diarahkan kepada Bunda Maria dalam suatu praktik devosi. Rasa hormat terhadap Maria yang dihayati dalam devosi merupakan suatu ungkapan iman yang khas. Menurut M. Riquet, hal ini dapat menjadi sebuah sumber kekuatan agama yang dalam hal tertentu menyokong kehidupan beragama.[7] Konsekuensinya, penghormatan tersebut perlu didukung, namun pada saat yang sama itu memerlukan suatu refleksi kritis sehingga rasa hormat kepada Maria benar-benar memberikan kontribusinya yang sangat berharga bagi perkembangan iman dari setiap pribadi maupun hidup beriman komunal dalam Gereja.

Berbicara mengenai devosi kepada Maria berarti berbicara tentang bagaimana memahami dan mengaktualisasikan kultus Maria (kebaktian/penghormatan kepada Maria). Menurut Kamus Oxford, istilah “cult” (kultus) mengandung beberapa arti: Pertama, sebagai kata benda, itu berarti “suatu sistem ibadat keagamaan yang diungkapkan di dalam ritual-ritual”. Kedua, “suatu kekaguman yang besar, cinta atau perhatian atas sesuatu secara personal”.[8] Melalui pemahaman tersebut dapat dikatakan bahwa sebetulnya “cult” itu berkaitan erat dengan tindakan Allah yang menyelamatkan, suatu bentuk ungkapan cinta (a gesture of love). Berkenaan dengan ini, teolog dan mariolog montfortan, Stefano de Fiores mengatakan bahwa penghormatan kepada Maria merupakan sebuah tanggapan kultis atas misi khusus yang diberikan oleh Allah atasnya dan ibadat tersebut yang disisipkan dalam Cinta Allah samasekali tidak menggantikan penyembahan kepada Allah Tritunggal. Sebetulnya dengan ide ini, De Fiores menekankan bahwa apa yang disebut dengan “kesalehan” berupa penghormatan kepada Bunda Maria dinomorduakan dan itu berada di bawah bentuk penyembahan kepada Sang Penyelamat.[9]

Dalam tradisi teologi Kristen, muncul beberapa istilah khas yang dipakai untuk membedakan suatu bentuk sikap penghormatan baik kepada orang kudus, Bunda Maria maupun penyembahan kepada Allah. Dikatakan bahwa oleh karena Ibu Yesus adalah dia yang paling kudus di antara semua orang kudus, maka menurut C. Groenen, istilah khusus yang dipakai dalam penghormatan kepada Maria, yaitu hyper-douleia artinya “adi-kebaktian”. Sementara kebaktian yang dikhususkan kepada seorang manusia (orang kudus) dinamakan “douleia”. Selanjutnya, kebaktian yang hanya diberikan secara khusus kepada Allah dinamakan “latreia” (Latin: adoratio).[10]

Setelah kita melihat sejenak arti dan makna kata “devosi” dan penerapannya dalam praktik kesalehan umat, berikut ini akan dijelaskan beberapa bentuk devosi umat dalam varian terminologi.

1.1. Aneka Bentuk Devosi Umat Dan Maknanya

Dalam beberapa terbitan atau tulisan tentang devosi, muncul beberapa sebutan lain atau istilah yang memiliki arti dan makna tertentu. Istilah-istilah tersebut sebetulnya memiliki kedekatan makna satu dengan yang lain, meskipun demikian arti dari masing-masingnya tidak bisa dicampuradukkan begitu saja. Beberapa istilah yang dimaksud misalnya pious excercises, popular devotions, popular piety, dan popular religiosity. Kelima istilah ini seringkali dipahami sebagai sesuatu yang dekat maknanya. Sebagaimana yang diketahui istilah-istilah tersebut merupakan salah satu tanda zaman Gereja dewasa ini[11].

Berkenaan dengan istilah-istilah tersebut – sebagaimana nanti bisa dilihat pula dalam Direktorium – sebetulnya ada dua dokumen Gereja yang menyinggung dan berbicara tentang salah satu dari istilah tersebut. Dokumen Konsili Vatikan II mengenai Liturgi Gereja, Sacrosanctum Concilium (1963) dan dokumen dari Yohanes Paulus II, Ecclesia in Asia (1999) ternyata menggunakan istilah popular devotions[12], sedangkan Komisi teologi dari Federasi Konferensi Uskup-uskup Asia (FABC) melalui The Spirit at Work in Asia Today menggunakan istilah popular religiosity[13].

Untuk memahami dengan baik makna dari masing-masing istilah tersebut, Kongregasi untuk Ibadat Ilahi serta Displin Sakramen-sakramen menjelaskan perbedaan makna di antaranya; pious exercises, devotions, popular piety serta popular religiosity. Dalam Direktorium no. 7 dikatakan bahwa pious exercises (ulah kesalehan) menunjuk pada ekspresi kesalehan umat Kristiani baik pribadi maupun bersama-sama yang meskipun bukan merupakan bagian dari liturgy, namun disadari selaras dengan semangat, norma, dan ritme liturgi[14]. Sedangkan istilah devotions (devosi-devosi) dijelaskan seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya. Sebutan ini, devotions dipakai untuk menjelaskan aneka praktik eksternal seperti doa, himne (kidung), mengunjungi tempat tertentu dan waktu tertentu, medali, kebiasaan serta adat istiadat[15]. Selanjutnya, istilah popular piety (kesalehan umat) dipakai untuk menjelaskan aneka macam ekspresi kultis dari kodrat pribadi maupun komunitas yang dalam konteks iman Kristiani umumnya tidak terinspirasi dari liturgi suci, melainkan bentuk-bentuk yang muncul dari bangsa atau masyarakat tertentu atau dari kebudayaan mereka[16]. Selanjutnya, istilah terakhir yang muncul ialah popular religiosity (religiositas umat). Terminologi ini dipakai oleh Direktorium untuk menunjuk pada apa yang disebut sebagai pengalaman umum (universal). Dikatakan bahwa dimensi religius ini sesungguhnya ada dalam hati umat, bangsa, dan itu merupakan ungkapan atau ekspresi kolektif dari kelompok mereka. Dalam arti ini, mereka hendak menyatakan pandangannya yang menyeluruh tentang yang transenden, pandangan mereka tentang alam, masyarakat dan sejarah dalam wahana kultis. Salah satu hal menarik di sini yakni, pandangan ini tidak selalu menunjuk pewahyuan Kristiani[17].

Apa yang dijelaskan tentang popular religiosity atau religiositas umat[18] (baca: rakyat) menurut Haryono pada intinya merupakan himpunan nilai yang dengan kebijaksanaan Kristen menjawab pertanyaan-pertanyaan besar mengenai eksistensi[19]. Menurut studi Haryono atas Dokumen Puebla (1979), apa yang disebut dengan “kebijaksanaan” tersebut dalam kehidupan Gereja Katolik sebetulnya memiliki kapasitas untuk membuat sintesis kehidupan antara yang insani dan ilahi. Ia menulis: “Ia menggabungkan secara penuh antara yang ilahi dan yang manusiawi, Kristus dan Maria, roh dan tubuh, persekutan dan institusi, pribadi dan persekutuan, iman dan tanah air, akal budi dan perasaan[20]”. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa “kebijaksanan” ini sesungguhnya tidak lain merupakan sebuah humanisme Kristiani yang memerlihatkan sebuah pengakuan akan martabat setiap pribadi sebagai putra-putri Allah yang dalam kesadaraannya sebagai manusia tahu menghargai ciptaan Allah yang lain. Ia menulis:

“Kebijaksanaan ini juga bagi umat adalah satu prinsip dasar agar mampu membeda-bedakan, serta satu nurani yang didukung Injil. Dengan dasar itu, ia mengerti secara spontan apakah Injil dilayani dalam Gereja atau dirongrong atau dimatilemaskan oleh kepentingan lain[21]”.

Berkenaan dengan kesadaran atas eksistensi dari praksis-praksis kesalehan di atas, Haryono merefleksikan bahwa Gereja juga memberi perhatian pada bentuk-bentuk kesalehan umat dan religiositas rakyat. Hal ini sebetulnya sudah terjadi sejak dahulu kala, apa yang disebut dengan semangat hidup religius umat Kristiani termanifestasi dalam berbagi bentuk kesalehan yang menyertai kehidupan Gereja. Beberapa bentuk yang dimaksudkannya misalnya, penghormatan relikui, kunjungan tempat-tempat kudus, ziarah dan prosesi, jalan salib, tari-tarian religius, Rosario, dan medali[22]. Kita ikuti penjelasan lanjutannya: “Devosi yang telah dipraktikkan secara tulus dan dengan semangat yang menyentuh hati itu telah memberikan sumbangan besar bagi Gereja[23]”.

I.2. Devosi Umat Dan Pengungkapannya

Haryono menjelaskan bahwa – seperti juga yang digarisbawahi oleh para Uskup Asia – devosi dapat dipahami sebagai rangkaian doa, aneka bentuk praktik dan ekspresi[24]. Meskipun demikian, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya oleh Tostain unsur yang paling penting dalam devosi ialah apa yang disebut sebagai ungkapan batin yang terakit erat dengan ekspresi diri dalam iman akan yang Ilahi[25].

Kalau ditelusuri dengan baik, sesungguhnya ada dua unsur yang tampak dalam suatu “devosi”, yakni unsur yang bersifat lahiriah dan unsur batiniah. Dengan kata lain, ada devosi eksternal dan devosi internal[26]. Kedua sisi ini, yang lahiriah dan batiniah tidak bisa dipisahkan. Apa yang bersifat batiniah selalu menjadi menyokong yang lahiriah. Ringkasnya, ini mau mengatakan bahwa sikap batin internal mesti menjadi fondasi dari suatu devosi. Haryono mengatakan bahwa devosi yang dijalankan seharusnya membawa seseorang pada suatu kepasrahan yang mendalam dan pengabdian seutuhnya kepada Allah. Mengutip pandangan Bernard Raas, Haryono memaparkan beberapa definisi devosi-devosi umat: “beragam nama doa dan praktik-praktik yang awalnya merupakan inisiatif pribadi dan kemudian diterima oleh Gereja. Beberapa dari mereka sungguh direkomendasikan dan disetujui oleh otoritas gerejawi[27]”.

Menurut Haryono, sebetulnya ada beragam devosi yang dipraktikkan dalam kehidupan umat. Itu mau mengatakan bahwa ada sejumlah besar bentuk doa devosi di sepanjang masa. Haryono menulis:

“Dengan mengatakan beragam nama, mau ditunjukkan bahwa ada sejumlah besar bentuk doa sepanjang masa. Ada yang telah hilang di masa lampau, ada yang muncul dan masih dipraktikkan hingga sekarang, ada pula yang muncul pada masa kini. Ragam devosi itu bisa berbentuk doa-doa serta praktik-praktik. Devosi yang lebih menekankan doa yang didaraskan misalnya Novena Pertolongan Abadi. Devosi yang menekankan praktik lahiriah untuk menunjukkan sikap devosi batiniah misalnya ziarah, jalan salib, memakai medali[28]”..

Secara historis, devosi-devosi itu berangkat dari proses yang panjang. Oleh karena itu menurut hematnya, penting sekali dilakukan suatu penelitian yakni, meneliti penemu dan sejarah devosi dengan maksud memberikan sebuah pemahaman yang benar tentangnya. Meskipun demikian, harus disadari bahwa orang yang menemukan devosi itu kadang tidak diketahui. Saya mengutip pernyataannya: “… kita mendapat kesan bahwa yang penting bukan lagi penemu namun devosi yang mereka rekomendasikan dan ajukan[29]”.

Menurut Haryono, oleh karena devosi-devosi tersebut berasal dari “inisiatif pribadi, devosi memang tidak wajib hukumnya bagi semua orang Katolik”. Ia melihat bahwa otoritas gerejawi memiliki hak dan kewajiban untuk mengecek secara bijak beragam devosi tersebut. Ia menulis:

“Mereka mesti mengecek, menyetujui dan merekomendasikan kalau baik, memodifikasi dan mengoreksi bila terlalu berat sebelah atau sepihak, atau melarang bila salah. Otoritas Gereja merekomendasikan dan mempromosikan devosi itu dengan beragam cara. Salah satunya dengan menyematkan indulgensi pada do-doa dan praktik-praktik tertentu[30]”.

Devosi-devosi yang hidup dan berkembang dalam praktik devosional kaum beriman tidak dapat dilacak secara langsung dari pelayanan Yesus dan praktik para rasul. Dikatakan bahwa pada umumnya devosi itu berkembang perlahan-lahan, bertahap dan melalui proses yang panjang. Asal mula devosi yang agak kuno bahkan cenderung sedikit buram. Beberapa devosi seperti Doa Rosario dan Skapulir datang dari praktik religius ordo-ordo tertentu[31]. Praktik lain seperti Devosi kepada Hati Yesus yang Mahakudus[32] dan Medali Ajaib[33] memiliki awal mula dalam pewahyuan pribadi, yakni penglihatan atau pesan yang diberikan kepada salah seorang umat beriman[34]. Selain itu, masih bisa ditunjukkan di sini misalnya devosi kepada Maria sebagai Mater Dolorosa (Bunda yang Berdukacita). Menurut Maggioni, devosi ini berkembang di Eropa sejak abad ke-12 sebagaimana yang diterangkan dalam tulisan-tulisan dari beberapa orang seperti Eadmore, St. Bernardus, Guerrico d’Igny, Amadeus dari Lausanne, dll. Kemudian devosi ini disebarkan oleh para biarawan Cistersian dan OSM (Servi di Maria/Servants of Mary). Pada abad ke-13 devosi ini diekspresikan dalam berbagai bentuk artistik, aneka miniatur, fresco (frescoes), komposisi sastra[35].

Sebagaimana yang diketahui, “devosi” itu entah ditujukan kepada salah seorang kudus atau kepada Perawan Maria adalah suatu kekuatan yang penting di dalam iman Kristiani. Peranan dari suatu devosi dalam iman umat biasanya tampak dalam situasi-situasi krisis, bahkan ketika Gereja Katolik kehilangan daya mengajar dan perannya dalam kehidupan umat. Iman umat dalam situasi ini biasanya akan tetap bertahan oleh karena mereka memiliki devosi tertentu. Sebetulnya devosi itu menjadi suatu ungkapan iman yang dinyatakan secara sederhana di dalam hidup orang-orang yang sederhana[36]. Akibatnya, itu menghasilkan suatu kebutuhan emosional dan sosial mereka. Praktik devosi ini bertahan justru karena dilihat sebagai kekuatan agama yang hidup di dalam keseharian mereka. Kadang-kadang para “teolog” memiliki pandangan negatif tentang suatu tradisi karena dianggap penuh dengan “mitos dan magis”, yang berisi praktik-praktik tradisional. Meskipun demikian, harus tetap disadari bahwa “devosi” sudah dan akan selalu memainkan peran penting dalam pengungkapan iman umat, sesuai dengan keyakinan Gereja: lex orandi lex credenda (cara Gereja berdoa, demikianlah iman atau liturgi yang mengarah ke teologi). Artinya, aturan doa menjadi aturan iman[37].

  1. BAKTI KEPADA MARIA ADALAH DEVOSI YANG TERBAIK DAN PALING MENYUCIKAN

Paus Yohanes Paulus II (1978-2005) dalam Ensikliknya Redemptoris Mater (1987) menyebut Santo Louis Marie Grignion de Montfort (selanjutnya disebut Montfort) sebagai ”Saksi dan Guru Spiritualitas Maria[38]”. Perjuangan Montfort untuk memerkenalkan devosi kepada Maria yang ia ajarkan patut diapresiasi[39]. Melalui devosi yang ia ajarkan, kita semua dihantar pada sebuah permenungan bersamanya bahwa tidak ada devosi lain yang paling baik dan menyucikan selain devosi yang ia ajarkan kepada umat Kristiani. Menurut argumentasi Montfort, devosi kepada Bunda Maria merupakan sebuah devosi yang terbaik dan paling menyucikan serta mampu menghantar orang menjauhi dosa[40]. Devosi ini pun bagi Montfort merupakan sebuah bakti yang paling sempurna[41]. Alasan utamanya ialah Bunda Maria adalah pribadi yang paling sempurna dan paling suci dari segala makhluk. Jadi, jikalau seseorang memilih devosi kepada Maria sebagai praktik yang sempurna dan menyucikan, maka hal itu justru  terjadi karena ”kesucian dan keunggulan Maria” dari segala makhluk[42]. Menurut Montfort, praktik seperti ini rupanya belum begitu dikenal pada zamannya. Ia mengatakan bahwa hanya beberapa orang saleh yang mengetahuinya dan yang memraktikkannya pun hanya segelintir orang saja[43].

Devosi kepada Perawan Maria yang diajarkan Montfort bisa disebut pula sebagai suatu bentuk praktik ”pengosongan diri”. Menurutnya, tidak ada devosi yang lebih ”mengosongkan dirinya” di hadapan Allah selain devosi yang ia ajarkan dan anjurkan. Montfort berkata:

”Saya telah membaca hampir semua buku tentang bakti kepada Perawan teramat suci… Kini saya menyatakan dan menekankan: saya tidak pernah mengenal satu pun praktik bakti lain kepada Perawan suci yang dapat dibandingkan dengan bakti yang akan saya uraikan. Tak ada bakti yang meminta dari seorang manusia begitu banyak korban bagi Allah, yang lebih mengosongkan dirinya dan menghilangkan cinta diri….: tak ada bakti yang memersatukan orang lebih atau sempurna dan lebih mudah dengan Yesus Kristus; pendeknya tak ada bakti yang lebih memuliakan Allah, lebih menyucikan manusia dan lebih menguntungkan sesama[44].”

Devosi ini dilihat sebagai jalan atau sarana yang dapat menghantar orang mengalami pengosongan diri. Pengosongan diri yang ia maksudkan berhubungan langsung dengan konteks penyucian diri atau jalan menuju kekudusan, yaitu bersatu dengan Yesus dan menjadi serupa dengan-Nya[45]. Ia menulis:

“untuk mengosongkan diri … kita harus memilih di antara semua devosi Perawan tersuci devosi yang paling menghantar kita untuk mati terhadap diri sendiri; karena devosi itulah yang terbaik dan paling menyucikan. Janganlah kita berpikir bahwa semua yang berkilau itu emas. Tidak semua yang terasa manis adalah madu. Tidak semua yang mudah dan yang dilakukan oleh sebagian besar umat adalah yang paling tepat mengantar kita kepada kesucian… Demikian juga dalam tata rahmat juga di situ terdapat rahasia-rahasia yang dalam waktu singkat dengan luwes dan mudah memungkinkan pelaksanaan kegiatan-kegiatan adikodrati: mengosongkan diri, memenuhi diri dengan Allah dan mencapai kesempurnaan[46].”

Montfort menganjurkan agar orang menyerahkan seluruh diri kepada Maria lewat tindakan “Pembaktian Diri”[47]. Inti dari praktik “Pembaktian Diri” kepada Yesus lewat tangan Maria adalah penyerahan seluruh diri secara total kepada Kristus. Montfort menulis, “devosi ini terdiri dari suatu penyerahan diri seutuhnya kepada Perawan teramat suci supaya melalui dia menjadi milik Yesus Kristus sepenuhnya[48]”.

Penyerahan diri yang dimaksudkan Montfort adalah memberikan segala kepemilikan diri kepada Maria, baik yang bersifat jasmani maupun yang rohani[49]. Jadi, Montfort mengajarkan bahwa kalau orang berdevosi kepada Maria, maka ia diminta untuk menyerahkan diri ke dalam tangan Maria (seluruh anggota badannya, jiwanya, harta lahiriah, segala karya amal, dsb.,). Ia menulis:

“Kita harus memberikan kepadanya: 1) Badan kita beserta semua indera dan anggotanya; 2) Jiwa kita dengan seluruh kemampuannya; 3) Harta lahiriah kita, maksudnya milik duniawi kita, baik yang kini maupun yang akan datang; 4) Harta batiniah dan rohani kita, yaitu pahala-pahala keutamaan-keutamaan dan karya amal kita dari masa lampau, kini dan masa depan. Pendeknya, kita harus memberikan kepada Maria segala sesuatu yang kita miliki … dan segala sesuatu yang kemudian masih akan kita peroleh[50].”

Maksud Montfort menulis keempat hal di atas adalah untuk menggarisbawahi totalitas penyerahan diri kepada Allah lewat tangan Maria. Jadi, devosi kepada Maria pada akhirnya harus menghantar orang bersatu dan menjadi serupa dengan Yesus Kristus. Itulah tujuan dari penyerahan yang total kepada Maria: ”menjadi milik Yesus Kristus sepenuhnya, mencapai kesatuan dengan Kristus dan menjadi serupa dengan-Nya[51]”. Lewat praktik penyerahan diri tersebut, seseorang diajak untuk “mengosongkan” diri ke dalam Maria dan membiarkan diri “tenggelam” di dalamnya[52].

Bakti kepada Maria yang diajarkan Montfort sangat mendalam, dan jelas sekali sangat kristosentris[53]. Apa yang dikatakan di sini begitu kuat dan mendarah daging dalam dirinya sehingga Montfort dengan lantang berkata: ”andaikata bakti kepada Maria menjauhkan kita dari Yesus, kita harus membuangnya sebagai tipuan setan[54].”

Melalui bakti yang diserahkan, diucapkan kepada Maria, seseorang dimampukan untuk masuk ke dalam relasi yang begitu mendalam, persatuan yang begitu mengakar lebih jauh dan langsung dengan Yesus, Sang Kebijaksanaan yang Menjelma. Dari sebab itu, dapat dipahami bahwa jikalau seseorang menyingkirkan Maria dari sejarah keselamatan dan itu berarti menegasinya (menyangkalnya) dari panggung kehidupan kristianinya, maka itu sama dengan menegasi pula rencana keselamatan sebagaimana yang ditegaskan oleh Montfort sendiri.

Bagi Montfort, mengimani kenyataan ini secara utuh dan menghayatinya secara mendalam disebut sebagai ”Pembaktian Diri kepada Kebijaksanaan Abadi yang Menjelma. Penyerahan diri yang penuh cinta dan bebas kepada rencana Allah sejatinya akan memperbaharui kita dalam Roh Kudus, sehingga kita dapat melaksanakan dan menyelesaikan hal-hal yang besar demi Tuhan dan demi keselamatan jiwa-jiwa[55]”.

 

  1. DEVOSI MARIAL DALAM PANDANGAN MAGISTERIUM GEREJA

Seperti yang diketahui bahwa Gereja Katolik – berhadapan dengan praktik-praktik devosional umat – memberikan pemahaman yang benar secara teologis tentang makna dan tujuan dari sebuah devosi. Jadi, Gereja melalui dokumen-dokumen resminya memberikan pencerahan berupa pemahaman yang benar tentang sebuah devosi, makna dan tujuannya. Dalam terang Konstitusi Lumen gentium (1967), dapat digarisbawahi tiga poin penting berkaitan dengan tujuan diadakan suatu devosi. Ada tiga tujuan yang bisa diangkat di sana; pertama, mencontohi teladan hidup mereka (bdk. 1 Kor 11:1). Kedua, menikmati kebersamaan di dalam “persekutuan para kudus”, yaitu mereka yang percaya akan keberadaan surga dan dunia (bdk. Ef 3:15; Ibr 12:1). Ketiga, memohon doa perantaraan mereka bagi kebutuhan jasmani, mental dan spiritual kita (lih. 2 Mak 15:12-16; Mzm 106:23[56]).

 

3.1. Devosi Kepada Maria Dalam Terang Konsili Vatikan II

3.1.1. Dalam Terang Sacrosanctum Concilium (1963)

Sacrosanctum Concilium (SC) merupakan Konstitusi pertama yang dihasilkan selama Sidang Konsili Vatican II (1962-1965). Pada 4 Desember 1965, Paus Paulus VI mempromulgasikan dokumen ini. Dokumen ini berbicara tentang pembaharuan “Liturgi” dan para Bapa Konsili menegaskan bahwa melalui liturgi, “penebusan” itu terpenuhi[57]. Menurut dokumen ini, setiap perayaaan liturgis merupakan sebuah tindakan Kristus Imam dan Tubuh-Nya, yakni Gereja[58].

Melalui perayaan liturgis Yang Ilahi dan insani bersatu. Itulah sebabnya melalui perayaan tersebut, apa yang dinamakan dengan “penghormatan kepada Bunda Allah di dalam liturgi Gereja” – menurut teolog Salvatore M. Perrella – berasal dari suatu Pewahyuan dan aneka pengalaman sekular dari komunitas Kristiani[59].

Para Bapa Konsili mengetahui bahwa devosi-devosi umat yang ada di dalam kehidupan Gereja tak dapat dinegasi dan mereka telah mendorong para gembala dan pewarta supaya mempromosikannya. Dalam terang Sacrosanctum concilium n. 7, Maggioni mendeskripsikan bahwa liturgi itu merupakan cahaya bagi kesalehan (umat) yang non liturgis. Singkatnya, liturgi menerangi cakupan dan makna dari suatu kesalehan yang non liturgis. Dia menulis: “Il primato della liturgia, dunque, è luce che rischiara la portata e il senso della pietà non liturgica[60]”. Keunggulan ini dapat dilihat dalam artikel 7 dan 13 dari SC. Di dalam artikel 13 dapat dilihat afirmasi dari Konstitusi tentang kodrat atau hakekat dari liturgi yang melebihi ulah kesalehan (pious exercises[61]).

Menurut pakar liturgi ini, kesalehan umat (popular piety) tidak bisa menggantikan liturgi. Justru tindakan-tindakan liturgislah yang menentukan dan meningkatkan vitalitas Gereja. Dia menulis:

“Le azioni liturgiche costituiscono e incrementano la vitalità della Chiesa: pur nelle variazioni rituali occorse nei secoli e nella diversa tradizione delle Famiglie liturgiche d’Oriente e Occidente, la sostanza della liturgia è rimasta invariata[62]” (Tindakan liturgis membentuk dan meningkatkan vitalitas Gereja: walaupun dalam variasi ritual yang terjadi selama berabad-abad dan dalam tradisi yang berbeda dari tradisi rumpun  liturgi Timur dan Barat, substansi liturgi tetap tidak berubah).

Melalui ide tersebut, Maggioni menekankan bahwa substansi dari liturgi tidak akan pernah bisa diubah atau tak tergantikan posisinya. Dengan kata lain, Perayaan Ekaristi yang dirayakan sejak awal dalam Komunitas Para Rasul hingga saat ini di dalam Gereja samasekali tidak mengubah substansi tersebut[63].

Jikalau kita hendak membandingkan antara liturgi dan kesalehan umat, maka sesungguhnya tampak adanya suatu perbedaan yang menyolok antara satu dengan yang lain. Dikatakan bahwa liturgi itu sangat penting daripada popular piety (kesalehan umat). Ini berarti bahwa kesalehan umat tempat dan posisinya berada di belakang liturgi (subordinated). Liturgi itu juga penting supaya bisa hidup dan bertumbuh di dalam Kristus dan di dalam Gereja sehingga peran dan kedudukan popular piety menjadi sesuatu yang bersifat opsional. Dengan kata lain menurut Maggioni, liturgi itu adalah hal yang utama (la liturgia è necessaria), sedangkan kesalehan umat (pietà popolare/popular piety) itu bersifat fakultatif sekalipun itu direkomendasikan (la pieta popolare appartiene al facoltativo, pur se raccomandata[64]).

Berdasarkan terang dokumen tersebut, kita dapat mengatakan bahwa sesungguhnya apa yang disebut dengan kesalehan umat (popular piety) kurang penting bila dibandingkan dengan liturgi. Meskipun demikian, itu tidak berarti mengesampingkannya, namun justru ulah kesalehan umat itu di pihak lain dirasakan berguna untuk melihat sejauh mana iman umat itu hidup dan bertumbuh dalam praksis hidup mereka sebagai orang Kristiani. Maggioni menegaskan bahwa “kesalehan umat” (popular piety) dalam pemahaman tertentu memiliki nilai-nilai dan makna-makna yang penting, malahan kaum klerus atau religius memerlukannya di dalam situasi dan kondisi tertentu[65].

 

3.1.2. Dalam Terang Lumen Gentium (1964)

Pada 21 November 1964, Konstitusi Dogmatik Lumen gentium (LG) ditandatangani oleh para Bapa Konsili. Dalam bab VIII, dokumen ini berbicara secara khusus tentang “Maria, Bunda Allah dalam misteri Kristus dan Gereja”. Bab ini bahkan disebut sebagai magna charta[66]–nya mariologi karena Konsili sebelumnya tidak pernah berbicara banyak tentang Maria. Keseluruhan mariologi Vatikan II dapat dipahami atau diringkas dalam bab VIII yang terkenal dari Konstitusi Dogmatik tentang Gereja, Lumen gentium. Menurut Ermanno Toniolo teks utama dan paling penting dari ajaran Mariologi Gereja Katolik selama dua ribu tahun sesungguhnya dapat dilihat dalam bab ini[67].

Pentingnya teks ini bagi Mariologi digarisbawahi pula oleh beberapa teolog dan mariolog terkemuka seperti Stefano de Fiores (+ 2012), Angelo Amato, Salvatore M. Perrella, dll. Salvatore M. Perrella, teolog dari fakultas teologi, Marianum-Roma, mengatakan bahwa bab VIII Lumen gentium lebih otoritatif (baca: berwibawa) dan menjadi ringkasan dari ajaran Katolik tentang Maria[68]. Dengan kata lain, bab itu memiliki dimensi marial yang sangat kuat dan lebih otoritatif.

Seperti judulnya, Lumen gentium bab VIII adalah naskah diskusi (perdebatan) dari dua aliran: kelompok yang melihat posisi Maria berada di atas Gereja dan mereka yang melihat Maria dalam hubungannya dengan Gereja. Melalui sebuah proses pergumulan, diskusi yang panjang tentang hal ini (posisi Maria: analog/selaras dengan Kristus dan relasinya dengan Gereja), Konsili ingin menunjukkan sebuah horizon baru tentang Mariologi. Mengenai isi kultus (baca: kebaktian) eklesiologis Marial, De Fiores menulis:

“La mariologia della controriforma tridentina tende a rivendicare l’onore della Vergine di fronte ai dubbi sollevati dai protestanti. Contro il tentativo di ridurre Maria a una semplice credente, i cattolici vedono la glorificazione della Madre di Cristo nei privilegi a lei concessi a causa della sua unione col Figlio. Anche il culto della Vergine ha assunto talora tinte intimiste e individualistiche. Negli ultimi decenni il movimento ecclesiologico si esprime in senso opposto: Maria deve essere situata nella Chiesa, nella comunione dei santi, quale umile fedele come nella comunità primitiva, in contesto di partecipazione e di funzionalità, non di privilegio e di isolamento. In altre parole, Maria non è in ordine intermedio tra Cristo e la Chiesa, ma nella Chiesa come inizio e presenza materna e salvifica[69]” (Mariolog Kontra-Reformasi Tridentin cenderung menegaskan kehormatan Sang Perawan dalam menghadapi keraguan yang diajukan oleh kaum Protestan. Berhadapan dengan upaya yang mereduksi Maria sebagai seorang beriman sederhana, umat Katolik melihat pemuliaan Bunda Kristus justru dalam hak istimewa yang diberikan kepadanya berkat persatuannya dengan sang Putra. Bahkan kebaktian Sang Perawan terkadang memiliki warna-warna yang intimistis dan individualistis. Dalam beberapa dekade terakhir, gerakan eklesiologis tampak dalam arah yang berlawanan: Maria harus berada di dalam Gereja, dalam persekutuan para kudus, seorang beriman yang rendah hati dalam komunitas awali, dalam konteks partisipasi dan fungsionalitas, bukan sebagai [pribadi yang memiliki] hak istimewa dan terisolasi. Dengan kata lain, Maria tidak berada dalam posisi di antara Kristus dan Gereja, melainkan [hadir] di dalam Gereja sebagai yang pertama dan [sebagai]ibu dan yang menyelamatkan).

Pada akhirnya, Konsili menyatakan bahwa Maria tidak dilihat sebagai pribadi yang isolatif (cristotipica) sebagaimana yang digaribawahi oleh teologi pra-konsili, akan tetapi justu dipersepsi sebagai seorang figur yang memiliki persatuan atau relasi yang kuat dengan kaum Kristiani. Dalam hal ini, Maria dipandang oleh para Bapa Konsili sebagai anggota Gereja (ecclesiotipica[70]).

Konsili menggarisbawahi pentingnya figur Maria bagi Gereja. Hal ini kemudian dipaparkan secara khusus dalam bab VIII Lumen gentium tepatnya dalam dua nomor penting, yakni no. 66 dan 67. Dalam nomor 66, pada paragraf pertama Konsili berbicara tentang “kultus khusus” (kebaktian yang khusus – the special cult). Para Bapa Konsili menulis:

“Placed by the grace of God, as God’s Mother, next to her Son, and exalted above all angels and men, Mary intervened in the mysteries of Christ and is justly honored by a special cult in the Church. Clearly from earliest times the Blessed Virgin is honored under the title of Mother of God, under whose protection the faithful took refuge in all their dangers and necessities…[71]” (Berkat rahmat Allah, Maria diangkat di bawah Putranya, di atas semua malaikat dan manusia, sebagai Bunda Allah yang tersuci, yang hadir pada misteri-misteri Kristus; dan tepatlah bahwa ia dihormati oleh Gereja dengan kebaktian yang istimewa. Memang, sejak zaman kuno Santa Perawan dihormati dengan gelar “Bunda Allah”; dan dalam segala bahaya serta kebutuhan mereka …).

Kultus (kebaktian) ini dikhususkan oleh Gereja untuk menghormati Bunda Allah. Menurut Maggioni, Maria dimuliakan sesudah puteranya melampaui para malaikat dan manusia oleh karena rahmat Allah dan bahkan oleh karena dia adalah Bunda Allah yang telah mengambil bagian di dalam misteri-misteri Kristus. Inilah alasannya mengapa kultus ini diarahkan kepadanya secara khusus[72]. Gereja memberikan kebaktian yang khusus kepada Maria oleh karena ia adalah seorang kudus. Kultus yang diberikan kepadanya adalah suatu bentuk penghormatan yang begitu istimewa dan sangat berbeda dengan kultus yang diarahkan kepada Allah Tritunggal. Alasannya ialah oleh karena “penyembahan” itu hanya diberikan kepada Allah Tritunggal dan kepada Maria hanya diberikan suatu “penghormatan” (veneration-hyperdulia). Berkenaan dengan ini, dikatakan bahwa sebetulnya kultus marial tidak lahir belakangan[73], akan tetapi sudah sejak awal dihidupi dalam Komunitas Kristiani. Dalam Perjanjian Baru kita dapat menemukan beberapa indikasi atau gejala devosi marial yang menunjukkan geliat atau bentuk penghormatan kepada Maria (bdk. Luk 1,42.45; 11,27)[74]. Selanjutnya, kultus marial ini berkembang secara luar biasa ke Konsili Efesus (430), di mana para Bapa Konsili saat itu berkata:

“… after the Synod of Ephesus the cult of the people of God toward Mary wonderfully increased in veneration and love, in invocation and imitation, according to her own prophetic words: «All generations shall call me blessed, because He that is mighty hath done great things to me» (Luke 1,48)[75]” (…sejak Konsili di Efesus, kebaktian Umat Allah terhadap Maria meningkat secara mengagumkan, dalam penghormatan serta cinta kasih, dengan menyerukan namanya dan mencontoh teladannya menurut ungkapan profetisnya sendiri, “Segala keturunan akan menyebutku berbahagia, karena Yang Mahakuasa telah melakukan karya-karya besar padaku” [Luk1:48]).

Kultus marial ini dipraktikkan oleh karena Maria memiliki dimensi keibuan ilahi (her divine maternity) dan itu sudah dikenal, dihayati dalam hidup Gereja sejak zaman paling kuno (fin dai tempi più antichi[76]). Kultus marial (kebaktian marial) – sebagaimana yang dikatakan oleh Konsili dalam no. 66 – mengandung empat (4) kata sifat: veneration, love, invocation dan imitation (penghormatan, cinta, seruan dan mencontoh teladannya). Dengan kata lain, jikalau kita berbicara tentang kebaktian Umat Allah kepada Maria, maka keempat kualifikasi itu mestinya diingatkan dan selayaknya diapropriasi (diintegrasikan) di dalam kehidupan Kristiani. Unsur “penghormatan” (veneration) itu dikombinasikan dengan dimensi “cinta (love), khususnya dengan sikap sebagai seorang anak terhadap seorang ibu[77]. Dalam konteks ini, penghormatan kepada Maria senantiasa dihayati dalam semangat kasih sayang kepadanya. Menurut Maggioni, “seruan” (invocation) akan nama Maria sebagai Bunda Allah diikuti dengan sikap meneladani (imitation) keutamaan-keutamaannya. Itu berarti bahwa setiap orang yang hendak memohon kepada Maria, hendaknya mencontohi, meniru keutamaan-keutamaan Maria[78]. Dari sini dapat digarisbawahi bahwa devosi kepada Maria – dalam konteks seperti ini – tak bisa terpisah dari keempat kualifikasi tadi. Itulah sebabnya, devosi marial pada hakekatnya bukan suatu bentuk pengabdian, penghormatan yang dicirikan oleh tindakan-tindakan lahiriah belaka, melainkan terutama bersentuhan langsung dengan relasi mesra dengan Maria yang termanifestasi dalam sikap batiniah yang terarah kepadanya (menerimanya secara intim) sehingga dia pun dapat hidup di dalam diri kita[79]. Tentang ini, Maggioni mengatakan bahwa devosi kepada Maria dalam ekonomi keselamatan itu bukan pertama-tama menyangkut hal-hal lahiriah, melainkan soal penerimaan kehadiran Maria secara intim sembari membiarkannya hidup dalam eksistensi hidup sehari-hari[80].

Apa yang dikatakan oleh para Bapa Konsili dalam LG n. 66 tentang keempat sifat tersebut; veneration, love, invocation, dan imitation terhadap Maria didorong oleh tindakan Allah bagi setiap orang dalam hidupnya masing-masing. Kebaktian ini sebetulnya tidak hanya dirasakan dan dialami oleh orang-orang tertentu saja, akan tetapi seluruh keturunan dari Adam. Itulah sebabnya mengapa Maria dalam Kidung Pujiannya (Magnificat) mengarahkan penghormatannya kepada Allah[81].

Dalam terang no. 66 tersebut, pakar liturgi Maggioni memahami bahwa sebetulnya ada perbedaan antara kebaktian (kultus) Marial dan penyembahan kepada Allah. Dijelaskan bahwa devosi kepada Maria adalah sesuatu yang bersifat mendasar, demikian juga penyembahan kepada Allah. Dalam konteks ini, dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya Maria itu adalah seorang manusia biasa seperti manusia lain dan itu jelas menunjukkan bahwa ia bukan seorang Allah. Dari sebab itu, penghormatan baginya bukanlah suatu bentuk penyembahan yang diwajibkan kepada Allah. Ringkasnya, kultus marial tidak bisa disejajarkan dengan kultus yang seharusnya diberikan kepada Allah. Maggioni menulis:

Maria non è Dio, la sua venerazione non è come l’adorazione dovuta a Dio; tuttavia, il culto mariano non si colloca parallelamente al culto che ha Dio per fonte e destinatario, ma “dentro” l’attaggiamento cultuale che vincola l’uomo a Dio, ed ha il preciso scopo di promuoverlo, ossia di condurre ad offrire a Dio il culto che egli gradisce. In tal senso, il culto mariano è da interpretare nell’alveo del culto proprio della Chiesa di Cristo, giacché è ordinato e orientato a Dio[82]” (Maria bukan Tuhan, penghormatannya tidak seperti penyembahan yang diharuskan kepada Allah; meskipun demikian, kebaktian Marial tidak sejajar dengan kebaktian (penyembahan) yang dimiliki Allah, tetapi “di dalam” daya tarik kebaktian yang mengikat manusia kepada Tuhan, dan memiliki tujuan khusus untuk memromosikannya, yakni mengarah pada tawaran bagi Allah, kebaktian yang berkenan padanya. Dalam pemahaman ini, kebaktian Maria harus ditafsirkan dalam kebaktian Gereja Kristus yang tepat, oleh karena ia disucikan dan berorientasi pada Allah”.

Dari paparan di atas dapat dikatakan pula bahwa penghormatan kepada Maria mestinya diaktualisasikan dengan cara menempatkan Injil secara baik dan benar dalam praksis hidup sehari-hari. Itu berarti hakekat dari suatu devosi, apakah itu baik dan benar atau salah mesti menjadi bahan evaluasi yang harus dicermati dengan baik dalam realitas hidup iman umat.

Selain nomor 66, kultus marial (kebaktian kepada Maria) dapat ditemukan pula dalam nomor 67. Kutipan panjang artikel ini dapat dilihat sendiri dalam dokumen tersebut. Dalam nomor ini, para Bapa Konsili berbicara tentang norma-norma pastoral (the pastoral norms). Ada tiga unsur penting yang dapat digarisbawahi dalam nomor ini. Bagian pertama berbicara tentang rekomendasi Gereja bagi para Gembala dan kaum awam. Rekomendasi ini dibagi lagi ke dalam tiga bagian: pertama, berbicara secara khusus tentang “kebaktian kepada Santa Perawan, terutama yang bersifat liturgis” (especially the liturgical cult, of the Blessed Virgin). Kedua, berbicara tentang “penghargaan terhadap praktik-praktik dan pengalaman bakti kepadanya, yang di sepanjang zaman telah dianjurkan oleh wewenang mengajar Gereja” (the admonition to have the practices of piety and the pious marian exercises which is recommended over the centuries by the Magisterium). Ketiga, berbicara tentang observasi mengenai tradisi gerejawi di seputar gambar-gambar kudus[83]. Selanjutnya, bagian kedua berbicara tentang anjuran bagi para teolog serta pewarta Sabda Allah agar dalam memandang martabat Bunda Allah yang istimewa, mereka juga secara sungguh-sungguh mencegah segala ungkapan berlebihan dan palsu seperti juga kepicikan batin[84]. Bagian ketiga berbicara tentang rekomendasi atau anjuran bagi kaum beriman agar mengembangkan bakti yang sejati kepada Maria[85].

Melalui pemahaman di atas, sebuah bakti yang sejati kepada Maria akan memungkinkan kaum beriman memahami dan menyadari dua aspek penting, yakni mengenal keunggulan (baca: keistimewaan) Maria dan dihantar pada suatu ungkapan kasih sayang seorang anak kepada Maria seraya meneladani keutaman-keutamaannya.

 

3.2. Devosi Kepada Maria Dalam Terang Magisterium Post Council

Dokumen-dokumen marial-nya Paus Paulus VI, khususnya Anjuran Apostolik Signum magnum (SM) dan Marialis cultus (SC) sangat penting bagi kultus marial sesudah Konsili. Kedua dokumen tersebut saling terhubung dengan ajaran Konsili tentang Maria dan Paus berusaha merevitalisasi kultus marial di dalam terang Kitab Suci, kemudian menghubungkannya secara kuat dengan ibadat liturgis Gereja[86]. Paus Paulus VI selalu menyatakan kesalehan marialnya (devosi) dan kerinduannya untuk melihat buah-buahnya di dalam hati kaum Kristiani – tepatnya dalam periode krisis yang hebat di bidang mariologi– bagi Gereja dan teologi[87]. Semuanya ini dapat dilihat dalam beberapa anjuran apostoliknya, pidato-pidatonya, dan juga di dalam doa Angelus Domini (Malaikat Tuhan) dan Rosario Suci[88].

 

3.2.1 Dalam Terang Signum Magnum (1967)

Menurut A. Amato, Paus Paulus VI – setelah melihat krisis hebat di bidang mariologi (krisis dimensi marial) di dalam kehidupan Gereja (il silenzio su Maria, 1965-1974) – mulai mengambil start baru dengan mengumandangkan tema marial di dalam tiga dokumen yang didedikasikan kepada Rosario Suci. Dokumen-dokumen tersebut antara lain, Ensiklik Mense maio (1965)[89], Christi matri (1966)[90] dan Anjuran Apostolik Recurrens mensis (1969)[91]. Tema yang sama (tema marial) dapat ditemukan pula di dalam dua Anjuran Apostolik lainnya yakni, Signum magnum (1967) dan Marialis cultus (1974)[92].

Anjuran Apsotolik Signum magnum[93] berbicara tentang keibuan rohani Maria. Dokumen ini membahas keprihatinan pastoral yang sedang berkembang mengenai devosi Marial. Kebaktian kepada Maria konsisten dengan reformasi liturgis. Signum magnum mengulangi kutipan Lumen gentium dan memperluas ajaran tentang Maria, Bunda Gereja. Hal yang secara khusus ditekankan ialah kehadiran Maria sebagai ibu dan teladan aktif yang pantas ditiru, “To Jesus Through Mary.”

Tema ini secara sangat luas dibahas di dalam Lumen gentium. Signum magnum melukiskan pula tugas-tugas manusia yang ditebus bagi Maria, dia yang dipandang sebagai Bunda Gereja[94]. Dalam bagian pertama, Paus menekankan Maria sebagai Bunda Gereja dan ini bukan karena asosiasinya atau persekutuannya dengan Kristus di dalam ekonomi keselamatan, melainkan karena rifulge come modello di virtù davanti a tutta la comunità degli eletti[95] (ia bersinar sebagai model keutamaan di hadapan seluruh komunitas kaum pilihan).

Sebetulnya ada banyak aspek yang dapat ditarik dari Anjuran Apostolik ini dan salah satu unsur penting yang mestinya digarisbawahi dari dokumen ini ialah “relasi antara kekudusan Maria dan keibuan rohaninya”. Dikatakan bahwa kekudusan Maria selaras dengan Kristus dan ia dilihat sebagai model kehidupan rohani kaum Kristiani[96]. Dalam konteks ini, Paus menekankan bahwa Maria adalah model dari semua keutamaan bagi kaum Kristiani. Ia mengatakan bahwa Maria hadir bukan hanya sebagai Bunda Yesus Kristus, melainkan juga sebagai model keutamaan di hadapan kaum Kristiani. Dari Surga dia tetap melanjutkan fungsinya sebagai rekan kerja (cooperatrice) pada kelahiran dan perkembangan kehidupan ilahi dalam jiwa-jiwa umat manusia yang tertebus. Bagi Paus, sebetulnya ini merupakan suatu kebenaran yang sangat menghibur[97].

Aspek lain yang cukup penting dari Signum magnum ialah “kehadiran Maria sebagai pelayan Tuhan (ancella del Signore). Paus melukiskan bahwa peran Maria sebagai ancella del Signore terungkap dalam seluruh hidupnya, di mana ia betul-betul menunjukkan dirinya sebagai “hamba Tuhan” mulai dari peristiwa “Anunsiasi” hingga “pengangkatan jiwa dan raganya ke surga” (Assunzione). Menurut Paus, ini sungguh merupakan suatu ungkapan pelayanan cinta yang ditunjukkan oleh Maria[98].

 

3.2.2. Dalam Terang Marialis Cultus (1974)

Marialis cultus merupakan sebuah anjuran Apostolik dari Paus Paulus VI yang dipromulgasikan pada 2 Februari 1974. Menurut De Fiores, anjuran Apostolik ini merupakan sebuah dokumen marial yang sangat penting setelah bab VIII Lumen gentium. Ia menulis:

“L’esortazione apostolica «Marialis cultus» costituisce, per la vastità della trattazione e la ricchezza teologica e pastorale, il documento mariano più importante dopo il capitolo VIII della Luman gentium[99]” (Anjuran Apostolik “Marialis cultus” terbentuk menjadi dokumen Maria yang paling penting setelah bab VIII dari Lumen gentium untuk merangkum keluasan dan kekayaan teologis dan pastoral).

Mariolog montfortan ini menyatakan bahwa Paus berbicara tentang praktik-praktik devosi marial dengan rujukan khususnya ialah Rosario Suci. De Fiores menggarisbawahi bahwa pada saat itu muncul sejumlah reaksi yang menentang pembaharuan Rosario, akan tetapi akhirnya pada 23 Maret 1974, Paus tetap mempublikasikan dan memperkenalkannya kepada publik. Menurut mariolog tersebut, Marialis cultus memerkenalkan nilai teologi dan pastoral yang benar tentang kultus atau kebaktian Perawan Maria[100].

Berkenaan dengan Anjuran Apostolik ini, dijelaskan bahwa sebetulnya dokumen ini mempresentasikan kontribusi Paus mengenai pembaharuan kultus Kristiani yang dimulai dengan adanya Konsili Vatikan II dan diikuti dengan promulgasi buku-buku ritus romawi menurut prinsip-prinsip dan norma-norma dari Konsili yang sama. Perrella menulis:

“L’esortazione apostolica si presenta quale contributo del Vescovo di Roma all’opera rinnovatrice all’opera rinnovatrice del culto cristiano iniziata col Vaticano II e proseguita con la promulgazione dei libri del rito romano restaurati secondo i principi e le norme del medesimo Concilio[101]” (Anjuran Apostolik itu muncul sebagai suatu sumbangan Uskup Roma demi karya pembaharuan dari karya kebaktian kristiani yang dimulai dengan Vatikan II dan dilanjutkan dengan promulgasi [penetapan] buku-buku ritus Romawi yang dipulihkan sesuai dengan prinsip dan norma-norma Konsili yang sama).

Dokumen ini muncul sebagai sebuah kebutuhan untuk menjawab persoalan-persoalan yang terjadi dalam periode krisis kultus marial (krisis kebaktian marial). Dari sebab itu, menurut teolog, Perrella Marialis cultus[102] – di dalam menjawab persoalan-persoalan tersebut – menekankan kembali primat kesalehan liturgis dan menguji kesalehan umat. Ia mengatakan pula bahwa ini sejalan dengan ajaran-ajaran dari kedua Konstitusi terdahulu seperti Sacrosanctum concilium dan Lumen gentium[103].

Marialis cultus merupakan salah satu dokumen marial yang terbaik dan memiliki makna yang sangat mendalam tentang kesalehan umat. Maggioni dalam studinya, mencatat bahwa Anjuran Apostolik ini dapat digambarkan seperti sebuah lampu atau cahaya yang membantu Gereja agar melihat tempat (posisi) Maria secara benar dan tepat di dalam kesalehan umat (popular piety[104]).

Anjuran Apostolis-nya Paus Paulus VI dikeluarkan dalam rangka juga untuk mempromosikan pelayanan-pelayanan Gereja bagi Bunda Yesus, khususnya di dalam dimensi-dimensi liturgis [no. 2-23), yang tak hanya memperkenalkan tempat Maria di dalam refleksi teologis, tetapi juga “penemuan” akan suatu perspektif baru dalam mempresentasikan, atau memperkenalkan siapakah Maria itu. Menurut De Fiores, ini dikerjakan secara bersamaan dengan para teolog dan dapat diaktualisasikan oleh karena kedua aspek berikut ini: pertama, Marialis cultus mengembangkan Konstitusi Lumen gentium yang menekankan tiga unsur suatu kebaktian marial (kultus marial) yakni, Trinitarian, Christological, dan Ecclesial (Trinitaris, Kristologis dan Eklesiologis)[105]. Hal-hal ini justru menguatkan para teolog untuk merenungkan kehadiran Maria secara sistematis. Ini hanya dapat dilakukan di dalam relasi dengan berbagai aspek pewahyuan Kristiani yakni, bersama dengan Trinitas – seperti yang dilukiskan dalam no. 26-27 – dengan Kristus dan dengan Gereja. Dengan demikian, apa yang disebut dengan Mariologi dijelaskan atau dipresentasikan dalam suatu pertautan dengan misteri-misteri iman lainnya atau dengan disiplin teologi dan ilmu lainnya seperti kristologi, eklesiologi, eskatologi, antropologi termasuk dalam kaitan dengan Roh Kudus (pneumatologi). Itulah sebabnya mengapa, pada poin yang kedua, Marialis cultus memperlihatkan indikasi-indikasi mengenai “penghormatan kepada Maria” yang berciri: biblis, liturgis, ekumenis dan antropologis[106]. Hal ini mau mengatakan bahwa adalah penting menghindari suatu refleksi teologis atau ibadat yang tampak lebih maksimalis-spekulatif oleh karena Marialis cultus hanya mempromosikan ibadat liturgis dan merangsang sensitivitas terhadap ekumenisme dan mariologi[107].

Berkenaan dengan adanya dokumen Marialis cultus, kita pun dapat mengatakan sesungguhnya Paus Paulus VI memiliki sebuah intuisi spiritual yang tinggi dalam melihat peran dan posisi Maria di dalam kesalehan umat. Itulah sebabnya, bagian kedua dari dokumen ini berbicara secara khusus tentang “pembaharuan kesalehan marial (the renewal of marian piety)” yang bisa ditelaah dalam no. 24-39. Nomor-nomor ini berbicara pula tentang bentuk-bentuk devosi marial non liturgis[108].

Selanjutnya, pada bagian ketiga, Paus berbicara tentang “Pengamatan Terhadap Dua Contoh Penghormatan kepada Maria: Angelus dan Rosario Suci atau Pemahkotaan Perawan Maria[109]”.

 

3.2.3. Dalam Terang Redemptoris Mater (1987)

Setelah Anjuran Apostolis Marialis cultus dipromulgasikan pada 2 Februari 1974 oleh Paus Paulus VI, Paus Yohanes Paulus II meluaskan diskursus tentang Maria melalui Ensikliknya Redemptoris Mater yang dipublikasikan pada 25 Maret 1987. Ensiklik ini dapat disebut sebagai ensiklik Mariologinya Yohanes Paulus II. Melalui ensiklik ini, Paus mempresentasikan sebuah diskusi yang mendalam tentang ziarah iman Perawan Maria[110].

Ensiklik ini dipublikasikan dalam hubungan dengan perayaan tahun marial 1987/1988 yang dikumandangkan oleh Paus yang sama. Menurut research (penelitian) marial dari Universitas Dayton (the International Marian research), pemahaman tentang Bunda Penebus didasarkan pada Kitab Suci. Menurut dokumen ini, Kitab Suci merupakan sumber dari spiritualitas marial yang benar. Dokumen ini dikeluarkan dengan sasaran pada formasi kehidupan dan itu ditautkan pada doktrin (ajaran), dengan demikian itu tidak lain merupakan spiritualitas marial. Berbeda dengan Marialis cultus yang dianjurkan (dikeluarkan) untuk mengoreksi devosi yang benar, yakni mengoreksi perayaan liturgi dan ekspresi publik mengenai devosi yang didasarkan pada kriteria doktrinal[111].

Ensiklik ini, Redemptoris mater memuat beberapa topik utama yang diawali dengan sebuah pengantar [bdk. RM 1-6]; bagian (paragraf) pertama diberi judul “Maria nel mistero di Cristo” (Maria dalam misteri Kristus) [RM 7-24]. Menurut Perrella, bagian ini dibagi menjadi tiga poin penting di mana; bagian pertama diberi judul “piena di grazia” (penuh rahmat) [RM 7-11]. Paragraf kedua diberi judul “Beata colei che ha creduto” (Berbahagialah dia yang percaya) [RM 12-19] dan yang ketiga diberi judul “Ecco la tua madre” (Inilah ibumu) [RM 20-24]. Dalam paragraf-paragraf tersebut Paus mempresentasikan refleksi biblis yang terpusat pada perjalanan iman dari Ibunda Yesus. Dalam pemahaman ini, dikatakan bahwa Maria menerima, melayani dan memahami misteri, peristiwa ilahi, antropologis dan mesianis dari putranya, Yesus[112].

Selanjutnya pada bagian kedua diberi judul “La Madre di Dio al centro della Chiesa in cammino” (Bunda Allah di pusat Gereja Peziarah) [RM 25-37]. Menurut Perrella, bagian ini terdiri dari tiga paragraf utama, di mana paragraph-paragraf tersebut berbicara tentang komunitas gerejawi sebagai umat Allah di dalam kehidupan dan situasi nyata serta makna dinamisnya sebagai sebuah komunitas yang sedang dalam perjalanan di tengah-tengah penganiayaan dunia dan penghiburan dari Allah, sebuah Gereja yang impegnata (yang memelihara dan memperhatikan), seperti Bunda dan hamba (serva) Tuhan[113].

Bagian terakhir diberi judul “Mediazione materna”[114] (Kepengantaraan [mediasi] keibuan) [RM 38-50]. Bagian ini memiliki struktur yang sama seperti bagian pertama dan kedua. Menurut Perrella, ada tiga paragraf utama, pertama, “Maria serva del Signore” (Maria hamba Tuhan) [RM 38-41]; kedua, “Maria nella vita della Chiesa e di ogni Cristiano” (Maria dalam kehidupan Gereja dan setiap kaum Kristiani) [bdk. RM 42-47]; dan ketiga, “Il senso dell’Anno Mariano” (Makna Tahun Maria) [bdk. 48-50]. Perrella mencatat bahwa dalam paragraf-paragraf tersebut, Paus mengusulkan suatu meditasi teologis dan aplikasi nyata dari kehadiran dan peran keibuan Maria yang diwujudkan dalam pelayanannya bagi Kristus di dalam karya keselamatan. Jadi, dalam terang dokumen (RM), teolog ini menyinggung soal peran aktif Maria (coooperazione) dan kepengantaraannya (intercessione) dalam kehidupan Gereja[115].

Fungsi keibuan Maria pada hakekatnya bergantung pada kepengantaraan Kristus. Ini berarti bahwa kepengantaraan Maria bersifat subordinasi (subordinazione) terhadap kepengantaraan Kristus sebagai “Mediatore” (Perantara) dan “Redentore” (Penebus[116]). Dalam konteks ini dapat dilihat bahwa Maria dipandang oleh Paus sebagai seorang pribadi yang bekerjasama secara aktif dengan putranya dengan menjalankan peran keibuan rohaninya dan kepengantaraanya sebagai “Advocata/Avvocata” (Pembela), “Auxiliatrix/Ausiliatrice” (Pembantu), “Adiutrix/Soccorritrice” (Penolong), dan “Mediatrix/Mediatrice” (Pengantara[117]).

Sesungguhnya, ensiklik ini menampilkan pengaruh ajaran Mariologi Montfort. Dalam sebuah amanat kepada para Imam Montfortan, Sri Paus mengatakan bahwa karya tulis Santo Montfort, “Bakti Sejati kepada Maria” adalah sebuah titik balik sangat penting dalam hidupnya. Gema pengaruh misionaris ulung dan penghormat Maria ini atas kehidupan Paus juga dapat dilihat dalam Ensiklik Redemptoris Mater (Bunda Sang Penebus). Ketika berbicara mengenai devosi Marial, Paus sangat memromosikan (menonjolkan) “tokoh Santo Louis-Marie Grignion de Montfort” (1673-1716), yang mengusulkan “Pembaktian Diri kepada Kristus melalui tangan Maria” sebagai sarana yang efektif bagi umat Kristiani untuk menghayati janji-janji baptisnya dengan setia[118]” .

 

3.2.4. Dalam Terang Rosarium Verginis Mariae (2002)

De Fiores mencatat bahwa Paus Yohanes Paulus II, pada bulan Oktober 2002 memproklamasikan tahun Rosario Suci (Oktober 2002 – Oktober 2003). Berkenaan dengan ini, dalam Surat Apostolik Rosarium Virginis Mariae (RVM), Paus ini mempresentasikan petunjuk-petunjuk bagi pembaharuan Rosario dan mendedikasikannya bagi perdamaian dunia[119]. Melalui Surat Apostolik ini – sebagaimana yang dijelaskan oleh mariolog montfortan tersebut – Paus memperkenalkan unsur-unsur baru dan menawarkan usulan-usulan yang tepat, misalnya ia memperkenalkan misteri baru dalam Doa Rosario yakni “Misteri Terang” (i misteri della luce[120]).

Menurut Paus, Rosario merupakan suatu ringkasan Injil dan ini sekaligus merupakan sebuah doa yang mengandung sebuah orientasi kristologis (il Rosario è, dunque, preghiera di orientamento nettamente cristologico[121]).

Dokumen ini terdiri dari beberapa bagian. Struktur pembagiannya diatur ke dalam tiga bagian penting yang diawali dengan sebuah pendahuluan. Bab pertama, “Contemplare Cristo con Maria” (Bersama Maria, Merenungkan Kristus) [RVM 9-17]. Bab kedua, “Misteri di Cristo – misteri della madre” (Misteri Kristus-Misteri Bundanya) [RVM 18-25]. Bab ketiga, “Per me vivere è Cristo” (Bagiku, hidup adalah Kristus) [RVM 26-38] dan kemudian ditutup dengan sebuah kesimpulan [RVM 39-43][122].

Menurut Perrella, Rosarium Verginis Mariae merupakan pelengkap Surat Apostolik Novo millennio ineunte (Di awal milenium yang baru[123]) dari Paus yang sama. Surat Apostolik ini dikeluarkan dalam rangka mendorong (baca: mendesak) kaum Kristiani di era post-modernisme supaya mampu merenungkan wajah Kristus[124]. Melalui dokumen ini (RVM), Paus mengajak kaum beriman untuk melihat Rosario sebagai sebuah doa di mana setiap orang dapat mengenang (baca: mengkontemplasikan) wajah Kristus bersama Maria. Doa ini bermanfaat bagi kehidupan Kristiani oleh karena dengan mengkontemplasikan wajah Kristus, kaum beriman tidak hanya masuk ke jantung kehidupan mereka sebagai orang-orang Kristiani, tetapi juga menawarkan kesempatan spiritual dan pendidikan yang akrab namun bermanfaat untuk kontemplasi pribadi. Paus menulis:

“Affido questa indicazione pastorale all’iniziativa delle singole comunità ecclesiali. Con essa non intendo intralciare, ma piuttosto integrare e consolidare i piani pastorali delle Chiese particolari. Ho fiducia che essa venga accolta con generosità e prontezza. Il Rosario, se riscoperto nel suo pieno significato, porta al cuore stesso della vita cristiana ed offre un’ordinaria quanto feconda opportunità spirituale e pedagogica per la contemplazione personale, la formazione del Popolo di Dio e la nuova evangelizzazione[125]” (Saya serahkan usul pastoral ini kepada inisiatif masing-masing komunitas gerejani. Saya tidak bermaksud mendikte, tetapi mau melengkapi dan memadukan program-program pastoral Gereja particular. Saya yakin usulan ini akan diterima dengan ikhlas dan lapang dada. Doa Rosario, setelah dipulihkan artinya, akan langsung menyentuh intisari kehidupan kristiani; doa Rosario, setelah dipulihkan artinya, akan langsung menyentuh tapi mujarab untuk mengembangkan hidup rohani dan meningkatkan renungan pribadi, pembinaan umat Allah, dan evangelisasi baru).

Sebagai doa yang berbuah bagi kehidupan Kristen, melalui Rosario Kudus, Paus ingin mendorong kaum beriman untuk memiliki komitmen untuk merenungkan misteri Kristiani saat ia mengajukannya dalam surat Apostolik Novo millennio ineunte sebagai sebuah “pelatihan (baca: training) dalam kekudusan[126]”.

Maria – dalam dokumen ini – dilukiskan sebagai figur yang menolong kaum beriman untuk merenungkan keindahan Tuhan dan dalam konteks ini ia membantu mereka mengkontemplasikan wajah putranya melalui pelayanan keibuan mesianisnya. Berkenaan dengan ini, Perrella menulis:

“…nella meditazione dei misteri di Cristo e della salvezza enunciati dal Rosario (misteri della gioia, della luce, del dolore, della gloria), in un certo modo viene evocate la mirabile e teologale polisemia dello sguardo della Madre-Serva del Signore. (cf. RVM, 18-23[127])” (Dalam renungan misteri-misteri Kristus dan keselamatan yang diungkapkan melalui Rosario (misteri sukacita, cahaya, sedih, kemuliaan), dengan cara tertentu, maka muncullah hal yang mengagumkan dan polisemi teologis pandangan mengenai Ibunda-Hamba Tuhan).

Berkenaan dengan meditasi atas Rosario Suci sebagaimana yang diusulkan oleh Paus, teolog yang sama mengamati bahwa dalam cara tertentu Paus sesungguhnya mengajak seluruh komponen di dalam Gereja supaya belajar dari Maria sebagai seorang “penyembah Allah Tritunggal” yang paling unggul, seorang model yang handal bagi kaum beriman dalam upaya mempelajari seni kontemplasi Kristiani[128].

Jikalau kita memperhatikan pengalaman sehari-hari, memang betul kalau Rosario adalah suatu doa sederhana yang banyak digemari oleh siapa saja (mulai dari anak-anak sampai orang dewasa). Pada bulan Oktober dan juga Mei, hampir di setiap kesempatan dan di mana saja, umat begitu antusias mendaraskannya sebagai suatu ungkapan cinta dan devosinya kepada Bunda Maria, sebuah doa sederhana yang dapat dipakai untuk merenungkan wajah Kristus, misteri-misteri-Nya. Itulah sebabnya, menurut hemat penulis, dengan adanya surat Apostolik RVM, kaum beriman terbantu untuk memahami makna penting dan esensial dari Rosario Suci seperti yang direfleksikan oleh Paus Yohanes Paulus II. Paus menulis:

 

“Il Rosario, infatti, pur caratterizzato dalla sua fisionomia mariana, è preghiera dal cuore cristologico. Nella sobrietà dei suoi elementi, concentra in sé la profondità dell’intero messaggio evangelico, di cui è quasi un compendio. In esso riecheggia la preghiera di Maria, il suo perenne Magnificat per l’opera dell’Incarnazione redentrice iniziata nel suo grembo verginale. Con esso il popolo cristiano si mette alla scuola di Maria, per lasciarsi introdurre alla contemplazione della bellezza del volto di Cristo e all’esperienza della profondità del suo amore. Mediante il Rosario il credente attinge abbondanza di grazia, quasi ricevendola dalle mani stesse della Madre del Redentore[129]” (Memang jelas, doa Rosario berciri khas Maria. Akan tetapi pada intinya Rosario adalah doa yang kristosentris. Dalam unsur-unsurnya yang sederhana, doa Rosario menampilkan saripati amanat Injil secara utuh; dengan demikian doa Rosario dapat dikatakan sebagai ringkasan seluruh Injil. Rosario adalah gema dari doa Maria, Rosario adalah Magnificat abadi untuk memuji karya inkarnasi yang menyelamatkan, yang dimulai dalam Rahim Maria yang tetap perawan. Dengan doa Rosario orang Kristiani berguru di sekolah Maria, mereka dilatih untuk menatap keindahan wajah Kristus dan mengalami kedalaman kasih-Nya. Berkat doa Rosario kaum beriman menerima rahmat berlimpah lewat tangan Bunda Penebus sendiri).

Dengan demikian, mendoakan doa Rosario berarti memiliki kesempatan untuk menceburkan diri ke dalam suatu seni kontemplasi atas misteri-misteri Kristus, tepatnya merenungkan keindahan wajah Kristus dan sekaligus mengalami kedalaman Cinta-Nya di dalam hidup sehari-hari. Melalui devosi ini, kaum Kristiani belajar mengenal dan memahami Kristus dari Maria, disatukan dengan Kristus bersama Maria, berdoa kepada Kristus bersama Maria dan mewartakan Kristus bersama Maria[130].

 

PENUTUP

Konsili Vatikan II telah menyerukan perlunya suatu pembaharuan mengenai ciri-ciri kristosentris dan teosentris ajaran Katolik tentang “keselamatan” dalam rangka untuk melawan ideologi (pandangan) yang salah mengenai Allah dan praktik-praktik yang mengaburkan iman. Berkenaan dengan ini, sebetulnya seluruh bab VIII dari Konstitusi Dogmatik Lumen gentium berbicara secara khusus tentang Maria. Konsili memperlihatkan peranan istimewa Maria baik kepada Kristus sebagai Penyelamat maupun kepada Gereja. Dikatakan bahwa Bunda Maria bukan berada di atas Gereja – seperti pandangan-pandangan teologi (tendensi teologi) pra konsili yang menekankan dimensi cristotipica – melainkan menempatkan Maria sebagai anggota Gereja. Dalam konteks inilah, Konsili menegaskan bahwa Maria adalah model (typos) Gereja. Jadi, samaseperti Gereja, Maria adalah Perawan Bunda yang melahirkan dan membawa Kristus bagi dunia dan sebagaimana Gereja menundukkan dirinya secara total dan sebagai perawan membuka dirinya terhadap tindakan Allah yang menyelamatkan. Dengan demikian, jelaslah bila dikatakan bahwa Maria sendiri memerlukan keselamatan seperti Gereja karena dia juga adalah anggota Gereja yang serba unggul dan sangat istimewa dan menjadi teladan bagi kaum beriman (bdk. LG 53).

Konsili juga menegaskan bahwa keutamaan-keutamaan Maria merupakan landasan atau dasar perlunya suatu devosi dari kaum beriman. Dalam konteks ini, devosi kepada Maria samasekali tidak mengurangi martabat dan hakekat Kristus sebagai satu-satunya Perantara (1 Tim 2:5). Dengan demikian, hal ini justru memerlukan suatu perhatian yang benar tentang bagaimana seharusnya berdevosi kepada Maria. Dari beberapa pandangan ini, kiranya setiap orang Kristiani belajar bagaimana sebaiknya dan seharusnya menghayati atau mengungkapkan devosinya kepada Bunda Maria. Sesungguhnya ada dua sikap ekstrem yang seringkali muncul dalam hidup Gereja. Hal pertama berkaitan dengan “Marian’s minimalism” (menyepelehkan Maria) dan “Marian maximalism” (melebih-lebihkan Maria). Bagaimana pun juga sesungguhnya, kita hanya bisa masuk ke dalam persahabatan dengan Allah ketika kita juga mampu merangkul tangan-tangan dari sesama saudara yang sakit, yang miskin dan lemah, tak berdaya dan menjadi korban ketidakadilan dari “dunia”. Dalam konteks ini, apa yang disebut dengan “kepengantaraan manusia” menjadi unsur penting dan mutlak perlu. Pada poin ini, peran dan figur Maria dihadirkan di tengah-tengah yang mengantarai antara Allah dan manusia, yang oleh karena keutamaan-keutamaan dan imannya yang mendalam (bdk. Luk 1:38) mampu masuk dalam persahabatan yang sempurna dengan Allah serta dengan rendah hati melaksanakan kehendak-Nya demi keselamatan manusia. Hal yang kedua, perlu menghindari sebuah kesalahpamahan yang mendesak seseorang melepaskan atau menyingkirkan Maria dalam hidupnya. Konsili menekankan bahwa devosi kepada Maria samasekali tidak mengganggu atau menghalangi suatu dialog ekumenis (hubungan ekumenis) yang seharusnya justru dipupuk secara baik di antara murid-murid Yesus yang terpisah di dalam Gereja-gereja (bdk. LG 69). Hal yang ketiga, “devosi” itu bukan pertama-pertama menyangkut “perasaan” (it is not just a matter of feeling), melainkan suatu bentuk ungkapan iman yang kaya yang justru menyampaikan sebuah pesan yang dapat dipertanggungjawabkan. Demikianlah Konsili pun menegaskan hal ini secara kuat bahwa “hendaklah kaum beriman mengingat bahwa bakti yang sejati tidak terdiri dari perasaan yang mandul dan bersifat sementara, tidak pula dalam sikap mudah percaya tanpa dasar (lih. LG 67).

Paus Paulus VI justru mengingatkan kita bahwa devosi kepada Maria selalu merujuk kepada Kitab Suci (bdk. MC 30,37). Jadi, dengan masuk ke dalam Kitab Suci, kita akan mewujudkan apa yang menjadi inti dan isi iman yang dinyatakan dalam devosi kepada Maria bahwa Allah yang diimani ialah Dia yang datang mencari kita seperti seorang Ibu yang kehilangan anak-anaknya setia mencari dan menemukannya. Dialah Allah yang tidak akan pernah ‘tinggal diam’ dan bahagia selama anak-anak-Nya terpecah-belah dan menjadi korban kejahatan, ketidakadilan sesamanya.

Iman Katolik masuk dalam hidup dan kebudayaan serta masyarakat tatkala kebudayaan itu dimurnikan dengan nilai-nilai Injili. Berkenaan dengan ini, apa yang disebut dengan ‘inkulturasi iman dalam liturgi dan devosi’ diharapkan mampu menghadirkan nilai iman yang merasuk secara kuat nan mendalam di dalam kehidupan dan kebudayaan tertentu. Dari sebab itu, tatkala sebuah devosi itu dimaknai secara benar, ditempatkan secara tepat dan proporsional misalnya, tahu membedakan apa itu devosi dan apa itu liturgi, maka itu (devosi) membawa ibadat ke dalam kehidupan umat beriman dalam kebudayaan, tempat dan waktu tertentu. Devosi yang dipraktikkan dalam hidup sehari-hari entah devosi kepada Bunda Maria maupun kepada para orang kudus memungkinkan praktik iman itu mampu meresapi lebih menyeluruh kehidupan harian umat[131].

Berkenaan dengan ini, tentang bagaimana memahami devosi umat dalam konteks hidup suatu masyarakat akan membantu Gereja semakin memahami kerinduan spiritual mereka. Itulah sebabnya, mengapa Gereja mau mendekati umat dari dalam kebudayaan mereka sendiri (Gereja yang inkarnatoris dalam budaya), melihat secara serius kekayaan manusiawi dan spiritual dari suatu kebudayaan yang terekspresi dalam cara beribadat, sukacita dan rasa solider serta bahasa dan tradisi setempat. Dengan demikian, seperti digagas dalam Direktorium, no. 91 bahwa devosi yang telah muncul, hidup atau diterima selama berabad-abad lamanya dalam Gereja merupakan tanda bahwa iman itu sudah mendarah daging dalam hati umat dan memiliki pengaruh bagi mereka.

Meskipun devosi di satu sisi sudah membudaya dalam suatu kebiasaan (budaya) tertentu, namun di sisi lain, kepada umat beriman yang mempraktikkannya perlu mawas diri dan mewaspadai bahaya-bahaya, misalnya; bahaya mengenai kurangnya unsur-unsur nilai kekristenan atau injili dari praktik tersebut, kurang berpusat pada Kristus (kristosentris), atau bahaya mempromosikan sekte bahkan berhala, magis, fatalism atau pemaksaan[132]. Hal ini seringkali terjadi justru karena yang ditekankan ialah aspek lahiriah daripada sisi internal (batiniah) dari sebuah devosi. Dari sebab itu, devosi yang baik dan benar tidak hanya berpusat pada kesalehan pribadi saja, tetapi justru semakin mempertajam kepekaan sosial, karitatifnya dalam hidup bermasyarakat. Dengan demikian, devosi itu kiranya juga memampukan setiap orang membangun rasa solidaritasnya dengan mereka yang kurang beruntung, menemani mereka dalam penderitaan dan menjadi agen perubahan dalam masyarakat.

Lebih dari itu, devosi yang sesungguhnya harus mengantar orang mengalami persatuan yang kuat dan intim dengan Yesus Kristus seperti yang ditekankan oleh Santo Montfort dan juga terutama oleh Magisterium Gereja. Ini mau mengatakan bahwa apa yang dihayati dalam suatu devosi yang terungkap dalam praktik-praktik doa tertentu, semestinya dilakukan dalam persatuan dengan Allah melalui Kristus dan Roh Kudus. Itulah sebabnya mengapa devosi kepada Bunda Maria dan juga devosi kepada para kudus Allah seharusnya selalu berada dalam intimasi relasi dengan Yesus. Dalam praktik ulah kesalehan, bukan para Santo atau Santa bahkan Bunda Maria yang mendapat perhatian yang lebih dan menjadi tujuan dari devosi tersebut, melainkan Kristus, Dialah pusat dan tujuan dari sebuah devosi. Jadi, kehadiran Maria dalam devosi yang diarahkan padanya bersifat relasional terhadap Allah, ia menjadi pengantara doa-doa kita kepada Allah. Jadi, Maria boleh saja disebut “pengantara” malah “pengantara segala rahmat”. Kepengantaraan Maria dengan demikian, tidak mengaburkan apalagi mengurangi dan menggantikan kepengantaraan Kristus yang tunggal itu (bdk. LG 60-62).

 

DAFTAR BACAAN

SUMBER-SUMBER:

Magisterium of the Church (Ajaran Gereja) The Ordinary Universal Magisterium of the Roman Pontiff

Paolo VI, Esortazione apostolica sulla necessità di venerare e imitare la Beata Vergine Maria, Madre della Chiesa ed esempio di tutte le virtù Signum magnum (13 maggio 1967), in Enchiridion Vaticanum (= EV), EDB, Bologna 1979, vol. 2, 1177-1193.

Paolo VI, Esortazione apostolica per il retto ordinamento e sviluppo del culto della Beata Vergine Maria, Marialis cultus 40 (2 febbraio 1974), in Enchiridion Vaticanum [=EV], EDB, Bologna 1979, vol. 5, 13-97.

Giovanni Paolo II, Udienza generale 2 maggio 1979, in Insegnamenti di Giovanni Paolo II, Libreria Editrice Vaticana, Città del Vaticano 1979, vol. II

___________, Lettera enciclica sulla Beata Vergine Maria nella Chiesa in cammino, Redemptoris Mater (25 marzo 1987), in Enchiridion delle Encicliche [= EE], EDB, Bologna 1998, vol. 8, 615-774.

___________, Lettera apostolica sul santo Rosario, Rosarium Virginis Mariae 18 (16 ottobre 2002), in Insegnamenti di Giovanni Paolo II, Libreria Editrice Vaticana, Città del Vaticano 2003, vol. XXV,2, 522-551.

The Ordinary Universal Magisterium of the Councils, Dokumen Konsili Vatikan II, terj. R. Hardawiryana, Obor, Jakarta 2004.

Second Vatican Council, Constitution on the Sacred Liturgy, Sacrosanctum concilium 2 (December 4, 1963), in The Documents of Vatican II: With Notes and Index. Vatican Translation, St. Pauls Publication, Libreria Editrice Vaticana, Città del Vaticano 2009.

___________, Dogmatic Constitution on the Church Lumen gentium (November 21, 1964), in The Documents of Vatican II: With Notes and Index. Vatican Translation, St. Pauls Publication, Libreria Editrice Vaticana, Città del Vaticano 2009.

 

Katekismus Gereja Katolik, Arnoldus, Ende 1995.

The other Magisterial Documents: Congregation For Divine Worship And The Discipline Of The Sacraments, Directory on Popular Piety and the Liturgy. Principles and Guidelines, Vatican Translation by Pauline Books & Media, Boston 2002.

 

Kamus

De Fiores, S., Maria. Nuovissimo Dizionario 2, EDB, Bologna 2006.

 

III. Buku-buku dan artikel

Amato, A., Maria la Theotokos. Conoscenza ed esperienza, Libreria Editrice Vaticana, Città del Vaticano 2011.

__________, «Il magistero mariano di Giovanni Paolo II nel quadro del magistero conciliare e postconciliare» in E. Toniolo (a cura di), Il magistero mariano di Giovanni Paolo II. Percorsi e punti salienti, Centro di Cultura Mariana «Madre della Chiesa», Roma 2006.

Beiting, P. Ralph W., Tanya Jawab tentang Bakti Sejati kepada Maria, terj. Ludovikus Ndona, Serikat Maria Montfortan, Delegasi Indonesia, Bandung 2003.

Cortinovis, B., Montfort Pilgrim in the Church, terj. Bross Julien Rabiller at al., St. Gabriel Press, Rome 1997. De Fiores, S., Maria presenza viva nel popolo di Dio, Edizioni Monfortane, Roma 1980.

__________, Maria nella teologia contemporanea, Centro di Cultura Mariana, «Madre della Chiesa», Roma 1991.

De Montfort, L. M. G., Traité de la vraie devotion a la Sainte Vierge, n. 121, dans M. Gendrot (sous la direction), Œuvres completes de saint Louis-Marie Grignion de Montfort, Éditions du seuil, Paris 1966.

__________, Bakti Sejati kepada Maria, terj. Mgr. Ishak Doera, Pr, Serikat Maria Montfortan, Bandung 2000.

Eilers, Franz-Josef (ed)., For All the People of Asia, Federation of Asian Bishops’ Conferences Documents from 1997 to 2001, vol. 3, Claretian Publication, Quezon City 2002.

Groenen, C., Mariologi. Teologi dan Devosi, Kanisius, Yogyakarta 1988.

Haryono, YB., Devosi-devosi umat: Sejarah, Makna dan Bahayanya, Obor, Jakarta 2011.

Hornby, A. S., Oxford Advanced Learner’s Dictionary, Oxford University Press, Oxford 1995.

Maggioni, C., «Culto e pietà mariana nel medioevo (sec. XI-XVI)», in E. M. Toniolo (a cura di), La Madre del Signore dal medioevo al rinascimento. Itinerari mariani dei due millenni, vol. III, Centro di Cultura Mariana «Madre della Chiesa», Roma 1998.

__________, Benedetto il frutto del tuo grembo. Due milleni di pietà mariana, Portalupi Editore .r.l, Casale Monferrato 2000.

__________, «Memoria e profezia della «Marialis cultus» a trent’anni dall’Esortazione apostolica di Paolo VI», in Theotokos XII (2004).

__________, «Il rapporto della Chiesa con Maria: culto e forme di devozione nel capitolo VIII della Lumen gentium», in E. M. Toniolo (a cura di), Maria nel concilio. Approfondimenti e percorsi a 40 anni dalla «Lumen gentium», Centro di Cultura Mariana «Madre della Chiesa», Roma 2005.

Manek, G., Rosario. Nafas Anak-anak Maria, Ledalero, Maumere 2007.

__________, «A proposito di pietà popolare mariana», in Theotokos 25, (2017).

Martasudjita, E., Pengantar Liturgi. Makna, Sejarah dan Teologi Liturgi, Kanisius, Yogyakarta 1999.

Perrella, S. M., La Madre di Gesù nella coscienza ecclesiale contemporanea. Saggi di teologia. PAMI, Città del Vaticano 2005.

__________, «Percorsi teologici postconciliari: dalla Lumen gentium ad oggi» in E. M. Toniolo (a cura di), Maria nel concilio, approfondimenti e percorsi, Centro di Cultura Mariana, «Madre della Chiesa», Roma 2005.

Riquet, M., «Préface», dans D. Hubert Du Manoir (sous la direction), Maria. Études sur la Sainte Vierge, Tome V, Beauchesne, Paris 1952.

Scannone, J. C., Religiosità popolare, sapienza del popolo e teologia popolare, in Communio 12 (1987).

Toniolo, E., La Beata Maria Vergine nel Concilio Vaticano II. Cronistoria del Capitolo VIII della Costituzione dogmatica «Lumen Gentium» e sinossi di tutte le redazioni, Centro di Cultura Mariana «Madre della Chiesa», Roma 2004.

Tostain, A., “Devotion(s)”, dans A. Bossard (sous la direction), Petit Vocabulaire Marial. Collection “Voici ta Mere”, Desclee De Brouwer, Paris 1979.

 

Tesis

Wotan, Fidelis B., Semana Santa and Devotion to Tuan Ma (Mary, Mater Dolorosa): An Inheritance of Faith in the Work of Evangelization of Dominican Missionaries in Larantuka, Flores-Indonesia. (Thesis Submitted in Partial Fulfilment of the Requirements for the Licenciate in Sacred Theology with Specialization in Mariology), “Marianum”, Pontifical Faculty of Theology, Rome 2018.

 

Situs Internet:

Https://udayton.edu/imri/mary/m/magisterial-documents-redemptoris-mater.php. (Diakses pada 5 April, 2018 pkl 18.20).

Https://militia-immaculatae.asia/indonesian/info152.php. (Diakses tanggal 8 September 2018, pkl. 10.25).

Http://yesaya.indocell.net/id1268.htm. (Diakses tanggal 8 September 2018, pkl. 10.30).

Http://w2.vatican.va/content/john-paul-ii/en/apost_exhortations/documents/hf_jp ii_exh_06111999_ecclesia-in-asia.html. (Diakses tanggal 7 September 2018, pkl.10.48).

Https://udayton.edu/imri/mary/m/magisterial-documents-recurrens-mensis-october.php. (Diakses tanggal 11 Oktober 2018, pkl. 11.37).

 

 

 

[1] Berkenaan dengan ini, YB. Haryono menjelaskan demikian: “Entah disadari atau tidak, ada pula kemungkinan beberapa unsur lokal yang bisa menjadi ciri khas Gereja lokal dan membedakan devosi di satu tempat dan tempat lain, namun perlu kajian lebih jauh”. YB. Haryono, Devosi-devosi umat: Sejarah, Makna dan Bahayanya, Obor, Jakarta 2011, hlm. 13-14.

[2] Ibidem.

[3] Bdk. E. Martasudjita, Pengantar Liturgi. Makna, Sejarah dan Teologi Liturgi, Kanisius, Yogyakarta 1999, hlm. 143.

[4] Bdk. A. Tostain, “Devotion(s)”, dans A. Bossard (sous la direction), Petit Vocabulaire Marial. Collection “Voici ta Mere”, Desclee De Brouwer, Paris 1979, hlm. 59

[5] Bdk. Congregation For Divine Worship And The Discipline Of The Sacraments, Directory on Popular Piety and the Liturgy. Principles and Guidelines, Vatican Translation by Pauline Books & Media, Boston 2002, n. 8, hlm. 21.

[6] Ibidem.

[7] Bdk. M. Riquet, «Préface», dans D. Hubert Du Manoir (sous la direction), Maria. Études sur la Sainte Vierge, Tome V, Beauchesne, Paris 1952, hlm. 9.

[8] A. S. Hornby, Oxford Advanced Learner’s Dictionary, Oxford University Press, Oxford 1995, hlm. 284.

[9] Bdk. S. De Fiores, Maria presenza viva nel popolo di Dio, Edizioni Monfortane, Roma 1980, hlm. 113.

[10] Bdk. C. Groenen, Mariologi. Teologi dan Devosi, Kanisius, Yogyakarta 1988, n. 316, hlm. 149.

[11] Menurut J. C. Scannone ini merupakan suatu pemulihan pastoral yang sedang terjadi, dengan konsekuensi praktis yang sangat besar, tetapi ini juga merupakan tindakan pewarisan teologis yang buah-buah teorinya belum diklarifikasi secara memadai. Bdk. J. C. Scannone, Religiosità popolare, sapienza del popolo e teologia popolare, in Communio 12 (1987), n. 95, hlm. 32.

[12] Bdk. John Paul II, Ecclesia in Asia, n. 22 dalam http://w2.vatican.va/content/john-paulii/en/apost_exhortations/documents/hf_jp-ii_exh_06111999_ecclesia-in-asia.html.  (Diakses tanggal 7 September 2018, pkl. 10.48 di Seminari “Ponsa”, Malang).

[13] Bdk. YB. Haryono, Devosi-devosi umat: Sejarah, Makna dan Bahayanya, hlm. 16. Bdk. Franz-Josef Eilers (ed)., For All the People of Asia, Federation of Asian Bishops’ Conferences Documents from 1997 to 2001, vol. 3, Claretian Publication, Quezon City 2002, hlm. 315-316.

[14] Bdk. Congregation For Divine Worship And The Discipline Of The Sacraments, Directory on Popular Piety and the Liturgy. Principles and Guidelines, n. 7, hlm. 21.

[15] Bdk. Ibidem, n. 8, hlm. 21.

[16] Berikut ini beberapa penjelasannya: “The term «popular piety» designates those diverse cultic expressions of a private or community nature which, in the context of the Christian faith, are inspired predominantly not by the Sacred Liturgy but by forms deriving from a particular nation or people or from their culture. Popular piety has rightly been regardes as «a treasure of the people of God» and «manifests a thirst for God known only to the poor and to the humble … »”. Congregation For Divine Worship And The Discipline Of The Sacraments, Directory on Popular Piety and the Liturgy. Principles and Guidelines, n. 9, p. 21.

[17] Ibidem, n. 10, hlm. 21. Dalam tesis mariologi yang dikerjakan beberapa waktu lalu di Roma, di situ penulis menemukan bahwa istilah popular religiosity (religiositas umat) kerap dimengerti juga seperti ketika orang menyebut atau menggunakan istilah lain yakni popular religion (agama rakyat). Bdk. Fidelis B. Wotan, Semana Santa and Devotion to Tuan Ma (Mary, Mater Dolorosa): An Inheritance of Faith in the Work of Evangelization of Dominican Missionaries in Larantuka, Flores-Indonesia. (Thesis Submitted in Partial Fulfilment of the Requirements for the Licenciate in Sacred Theology with Specialization in Maiology), “Marianum”, Pontifical Faculty of Theology, Rome 2018, hlm. 140-144. Menurut De Fiores, istilah ini (popular religion) dipakai untuk menjelaskan bagaimana kaum Kristiani berinkarnasi di dalam suatu budaya dan di dalam kelompok-kelompok etnis yang berbeda dan kemudian itu mewujud, terimplementasi dalam kehidupan masyarakat (umat). Bdk. S. De Fiores, Maria presenza viva nel popolo di Dio, hlm. 161

[18] Menurut Haryono, kata “umat” merupakan terjemahan dari kata popular. Dalam catatan kaki ia menjelaskan demikian: “Kita menyadari kelemahan penerjemahan itu karena “umat” adalah kata benda sementara “popular” adalah kata sifat”. Menurutnya istilah ini dipahami secara sederhana sebagai sesuatu yang berkaitan dengan orang kebanyakan, masyarakat bahkan berhubungan secara khusus dengan Umat Allah. Istilah ini pun dipersepsinya sebagai sesuatu yang datang dari masyarakat pada waktu tertentu dan dalam kebudayaan tertentu, dalam Gereja lokal tertentu dan menjadi milik yang berharga. Dari situ, kemudian menyebar ke mana-mana, malahan menurut Haryono menjadi universal dan diterapkan pula di tempat lain. Ia menjelaskan pula arti dari istilah popular, yang kadang-kadang kata popular dipandang sebagai lawan terhadap kaum elite; baik di dalam arti intelektual maupun spiritual. Dia mengatakan bahwa istilah ini dipandang juga sebagai oposisi terhadap sesuatu yang “resmi, official”, agama yang dikontrol oleh suatu kepemimpinan yang terorganisir secara rapi. Dengan pemahaman seperti ini, dapat dipahami bahwa memang devosi di zaman dahulu muncul dalam kerangka liturgi resmi. Ia menulis: “Namun seiring perjalanan waktu, banyak bentuk devosi pada Maria dan santo-santa yang lain, model dan tokoh iman kita, dikembangkan dan dipraktikkan tanpa imam tertahbis. Berbeda dengan bentuk liturgis resmi yang datang dari atas, bentuk-bentuk popular ini biasanya datang dari bawah. Kelompok elite intelektual, spiritual dan hierarkial seringkali memandang suatu yang popular itu sebagai ciri khas umat kebanyakan dan dalam beberapa hal lebih rendah secara kultur dan spiritual … Akhir-akhir ini seiring dengan pengakuan akan keragaman agama dan budaya, penghargaan terhadap masyarakat tradisional dan tradisi serta kepedulian terhadap kelompok minoritas dan tertindas, pendekatan elitis terhadap suatu yang popular pun turut berubah. Penghargaan atau pandangan yang lebih positif terhadap sesuatu yang popular kian berkembang; keterbukaan akan kekayaan milik masyarakat kebanyakan (kaum miskin) juga kian subur berkembang. Orang kini mulai berbicara secara positif tentang kekayaan religius masyarakat tradisional”. YB. Haryono, Devosi-devosi umat: Sejarah, Makna dan Bahayanya, hlm. 22-23.

[19] Ibidem, hlm. 18. Bdk. Dokumen Puebla, n. 448 dalam Katekismus Gereja Katolik, Arnoldus, Ende 1995, hlm. 1676.

[20] YB. Haryono, Devosi-devosi umat: Sejarah, Makna dan Bahayanya, hlm. 18.

[21] Ibidem, hlm. 18-19.

[22] Ibidem, hlm. 19.

[23] Ibidem.

[24] Ibidem, hlm. 23.

[25] Bdk. A. Tostain, “Devotion(s)”, dans A. Bossard (sous la direction), Petit Vocabulaire Marial. Collection “Voici ta Mere”, hlm. 59.

[26] Haryono menyebut devosi eksternal berkaitan dengan “rangkaian doa-doa”, sedangkan devosi internal berkaitan dengan apa yang disebut dengan “kepasrahan kepada Allah”. YB. Haryono, Devosi-devosi umat: Sejarah, Makna dan Bahayanya, hlm. 23.

[27] Ibidem, hlm. 24.

[28] Ibidem.

[29] Ibidem, hlm. 25.

[30] Menurut Haryono, Konstitusi Apostolik Paus Paulus VI Indulgentiarum Doctrina (1 Januari 1967) merupakan bacaan yang dapat membantu kita untuk memahami indulgensi, di mana di dalamnya dijelaskan secara menyeluruh doktrin indulgensi dan norma-norma umumnya. Bdk. Ibidem, hlm. 26.

[31] Bdk. Ibidem. Praktik devosi kepada Bunda Maria (misalnya lewat Doa Rosario) dalam arti tentu memiliki nilai penting dalam tradisi atau Spiritualitas Ordo Dominikan (OP) yang kemudian dipraktikkan secara luas dalam kelompok organisasi awam yakni, Confraria atau Confraternity (Kelompok Persaudaraan) yang menimba spiritualitas para biarawan Dominikan. Dalam kaitan dengan devosi ini, Gereja kemudian menetapkan tanggal 7 Oktober sebagai Pesta Maria, Ratu Rosario. Menurut pakar liturgi yang sejak era 90-an berkarya di Vatikan, P. Corrado Maggioni, smm, pesta ini memiliki sejarah yang panjang dalam kehidupan Gereja. Dengan demikian peringatan Bunda Maria sebagai Ratu Rosari tidak bisa lepas dari peristiwa bersejarah di Lepanto, 7 Oktober 1571 di mana dalam suatu pertempuran yang hebat tentara Islam Turki berhasil dikalahkan oleh tentara Kristiani berkat pertolongan Doa Rosario yang didaraskan oleh seluruh umat Katolik sebagaimana anjuran (perintah) dari Paus Pius V (1566-1572). Kemudian suksesornya Paus Gregorius XIII (1572-1585) menegaskan pentingnya Rosario dan merayakannya dalam minggu pertama bulan Oktober Pesta Maria Ratu Rosario di seluruh biara Dominikan, di setiap confraternity dan di semua gereja dengan menyiapkan altar khusus untuk menghormati Maria, Perawan (Ratu) Rosario. Corrado menulis: «La memoria della beata Vergine del Rosario riporta alla domenica 7 ottobre del 1571, quando nelle acque di Lepanto la flotta Cristiana affrontò la ben più numerosa armata turca: in vista del combattimento, il papa domenicano san Pio V aveva esortato tutti i fedeli ad implorare l’aiuto del cielo con la preghiera del Rosario. L’insperata vittoria sull’avanzata musulmana suscitò grande impressione e fu salutata come prodigioso frutto dell’intervento divino, ottenuto per l’intercessione della Vergine. A perpetuo ricordo, l’anno seguente il medesimo Pio V istituì la Comemorazione della Beata Vergine della Vittoria, fissandola al 7 ottobre. A distanza di un anno, nel 1573, il suo successore Gregorio XIII esplicitò l’importanza del Rosario, concedendo di celebrare, nella prima domenica di ottobre, la festa del Santo Rosario della Beata Vergine Maria all’Ordine domenicano, alle Confraternite del Santo Rosario e alle chiese dotate di un altare in onore della Vergine del Rosario ….». C. Maggioni, Benedetto il frutto del tuo grembo. Due milleni di pietà mariana, Portalupi Editore s.r.l, Casale Monferrato 2000, hlm. 165-166.

[32] Dari https://militia-immaculatae.asia/indonesian/info152.php dikatakan demikian: “Devosi kepada Hati Kudus Yesus adalah devosi yang berpusat pada jantung secara fisik yang merupakan simbol cinta penebusan-Nya. Meskipun tradisi sering menempatkan awal praktik devosi pada tahun 1000, mungkin akan lebih akurat untuk menempatkan kelahirannya pada masa mistikus besar (St. Anselmus dan St. Bernardus) antara 1050 dan 1150. Di Abad Pertengahan, karena penekanan kuat pada Sengsara Tuhan kita, dan karena upaya St. Bonaventura dan St. Gertrude Agung, devosi ini menjadi populer sebagai sarana menyembah misteri Kristus, yang hidup di Gereja. Devosi ini dipromosikan oleh para Kudus besar, termasuk St. Albertus Agung, St. Katarina dari Siena, St. Fransiskus de Sales, juga oleh ordo-ordo religius besar, seperti Benediktin, Dominikan, dan Kartusian. Namun, harus dicatat bahwa Santa yang paling sering dikaitkan dengan devosi ini adalah St. Margareta Maria Alacoque (1647-1690). Setelah dia menerima Penampakkan Hati Kudus, yang menjadikan devosi ini populer, ia dicemooh oleh Ibu superior yang mengira dia berkhayal. Sang Santa menjadi sakit. Ibu superior memberitahu St. Margareta Maria bahwa dia akan percaya mukjizat penampakkan jika sang Santa disembuhkan. Dia dan St. Margareta mampu mempromosikan devosi ini dibawah bimbingan direktur spiritualnya, St. Claude Colombiere. Beberapa buku telah diterbitkan atas banyak surat menyuratnya, ucapan dan wahyu yang diberikan kepadanya oleh Tuhan kita”. Lih. https://militia-immaculatae.asia/indonesian/info152.php. (Diakses tanggal 8 September 2018, pkl. 10.25).

[33] Kisah Medali Ajaib/Wasiat berawal dari penampakan Bunda Maria kepada Sta. Katarina Laboure, seorang novis di rumah induk para suster Puteri Kasih di Paris. Dalam dua penampakkan itu (1830), Bunda Maria menjelaskan beberapa hal penting kepadanya. Di sepanjang waktu itu (18 Juli 1830), Bunda Maria berbicara kepadanya dan menyampaikan beberapa nubuat yang di kemudian hari terbukti menjadi kenyataan. Untuk mengetahui beberapa keterangan tentang kisah ini dapat dilihat dalam Http://yesaya.indocell.net/id1268.htm. (Diakses tanggal 8 September 2018, pkl. 10.30).

[34] YB. Haryono, Devosi-devosi umat: Sejarah, Makna dan Bahayanya, hlm. 26.

[35] Menurutnya, komposisi yang paling terkenal adalah Stabat Mater, dalam ritme, dikaitkan dengan Jacopone da Todi († 1303), yang mengalami keberuntungan – kesuksesan yang luar biasa di semua negara Eropa. Bdk. C. Maggioni, «Culto e pietà mariana nel medioevo (sec. XI-XVI)», in E. M. Toniolo (a cura di), La Madre del Signore dal medioevo al rinascimento. Itinerari mariani dei due millenni, vol. III, Centro di Cultura Mariana «Madre della Chiesa», Roma 1998, hlm. 93-94.

[36] C. Groenen mengatakan bahwa devosi rakyat (baca: umat) yang berdoa dengan perantaraan Bunda Maria, biasanya amat konkret dan realistik. Ia melihat bahwa titik tolak devosi itu ialah realitas keseharian, yakni hidup sehari-hari dengan segala kebutuhannya. Ia menulis: “Orang minta kepada Maria penyembuhan, pekerjaan, jodoh, lulus ujian, tambahan penghasilan/gaji, pertobatan orang tertentu, dibebaskan dari hama, wabah, perang, bencana alam, dsb. C. Groenen, Mariologi, Teologi dan Devosi, n. 354, hlm. 171.

[37] Hal ini bersentuhan secara kuat dengan perumusan mengenai doktrin atau ajaran Kristen yang bukan berasal dari hasil pemikiran spekulatif melainkan dari suatu penghayatan hidup rohani umat Kristen awali yang diungkapkan melalui doa, ibadat dlsb. Bdk. Fidelis B. Wotan, Semana Santa and Devotion to Tuan Ma (Mary, Mater Dolorosa): An Inheritance of Faith in the Work of Evangelization of Dominican Missionaries in Larantuka, Flores-Indonesia, hlm. 153.

[38] Giovanni Paolo II, Lettera enciclica sulla Beata Vergine Maria nella Chiesa in cammino, Redemptoris Mater n. 48 (25 marzo 1987), in Enchiridion delle Encicliche [= EE], EDB, Bologna 1998, vol. 8, 615-774.

[39] Devosi yang dianjurkan Montfort bukan sekedar suatu kegiatan doa atau ‘kebaktian’, melainkan suatu penyerahan diri yang dinyatakan dan ditujukan kepada Yesus Kristus. Devosi yang ia ajarkan di sini sangat kristosentris, di mana Kristus menjadi pusatnya. Orang kudus ini menyatakan bahwa, jika bakti sejati kepada Maria tidak membentuk kita semakin menjadi seperti Yesus Kristus, jelaslah bahwa bakti itu sangat bersifat “diabolis” (lebih merupakan tipuan setan dan menyesatkan). Bdk. L. M. G. De Montfort, Bakti Sejati kepada Maria, terj. Mgr. Ishak Doera, Pr, Serikat Maria Montfortan, Bandung 2000, n. 61-67, hlm. 63-68. (Selanjutnya ditulis BS).

[40] Bdk. BS 108.

[41] Montfort berkata: ”tak ada bakti yang meminta dari seorang manusia begitu banyak korban bagi Allah, yang lebih mengosongkan dirinya dan menghilangkan cinta diri, serta memelihara dengan lebih setia di dalam rahmat dan rahmat di dalam dirinya; tak ada bakti yang mempersatukan orang lebih sempurna dan lebih mudah dengan Yesus Kristus; pendeknya tak ada bakti yang lebih memuliakan Allah, lebih menyucikan manusia dan lebih menguntungkan sesama.” BS 118.

[42] Bdk. BS 157.

[43] Montfort menyebut juga – selain mempromosikan devosi sejati kepada Maria – beberapa ciri devosi-devosi yang semu (palsu) kepada Maria. Ia menemukan ada tujuh (7) penghormat Maria dan devosi kepada Maria yang semu, yakni tukang kritik, mereka yang kelewat peka, mereka yang dangkal, mereka yang lancang, mereka yang tidak berpendirian tetap, mereka yang sok suci, dan mereka yang mencari untung sendiri.

[44] BS 118; bdk. BS 82.

[45] Montfort menunjukkan bahwa semua orang dipanggil kepada kesempurnaan (kekudusan). Kekudusan itu harus selalu diusahakan dalam kehidupan sekarang di dunia, bukan menantinya di akhir zaman. Jadi, kekudusan itu sesuatu yang harus dihidupi di dalam kehidupan sehari-hari. St. Paulus mengatakan bahwa pertumbuhan kekudusan itu terarah kepada persatuan yang erat dengan Yesus (bdk. Ef 4:13). Dengan demikian, kekudusan itu terus-menerus diupayakan sampai Kristus hidup di dalam diri seseorang. Begitu juga Montfort menegaskan hal yang sama bahwa kekudusan itu tak pernah selesai, bersifat dinamis bukan statis. Bagi Montfort, Yesus Sang Kebijaksanaan yang Menjelma adalah prinsip kekudusan Kristiani dalam Gereja. Ia menulis: Seluruh kesempurnaan kita terdiri dari hal ini, bahwa kita serupa dengan Yesus Kristus, bersatu dengan-Nya dan dibaktikan kepada-Nya.  Dari situ jelas sekali bahwa devosi yang paling sempurna adalah devosi yang secara paling sempurna membuat kita serupa dengan Yesus Kristus… Nah, dari semua makhluk, Maria adalah yang paling serupa dengan Yesus Kristus…  BS 120.

[46] BS 82.

[47] Sebuah istilah yang dipakai Montfort untuk mengungkapkan penyerahan diri secara total kepada Perawan Maria supaya melaluinya (Maria) siapapun menjadi milik Yesus Kristus sepenuhnya.  Bdk. BS 121.

[48] Bs 121.

[49] Dengan menyerahkan diri secara total, seseorang memasuki suatu kedalaman baru dari kepemilikan Kristus atas dirinya. Daya penebusan, intensitas kesatuan dengan Kristus melalui Maria semakin kokoh diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari melalui ‘Pembaktian Diri.’

[50] BS 121.

[51] BS 61, 121.

[52] Mungkin kita bertanya bagaimana caranya menyerahkan diri (tubuh dan segenap perasaan dan seluruh anggotanya) kepada Maria? Harus diingat bahwa setelah membaktikan diri, seseorang tetap menggunakan dan menguasai tubuhnya. Namun sejak saat itu, ia diajak untuk memandang tubuh dan segenap perasaannya dengan cara baru. Seseorang berusaha memberikan penghormatan khusus atas tubuhnya karena ia telah menyerahkannya kepada Maria dengan cara istimewa. Ia perlu “merawat” tubuh agar tetap bersih dan mendandaninya dengan rapi karena kini tubuhnya sudah menjadi milik Maria. Dalam hal ini, kita pun dapat bermatiraga (askese) dan menyadari kecenderungan jahat yang ada di dalam diri sendiri oleh karena tubuh kita (Anda dan saya) adalah ‘alat’nya Bunda Maria. Tubuh kita sudah menjadi milik Maria, seseorang boleh menggunakannya sesuai dengan kehendak hatinya. Bdk. P. Ralph W. Beiting, Tanya Jawab tentang Bakti Sejati kepada Maria, terj. Ludovikus Ndona, Serikat Maria Montfortan, Delegasi Indonesia, Bandung 2003, hlm.12.

[53] Menurut pemahaman Battista Cortinovis, apa yang dipikirkan atau direfleksikan Montfort tentang kristosentrisme dalam hal penghormatan kepada Maria atau devosi kepada Maria adalah benar adanya, semuanya terpusat pada Pribadi Yesus Kristus. Battista berkata: “Montfort’s christocentrism emerges also when he presents the practice of the devotion that he wants to teach. A tender and true devotion to Mary is indicated by Montfort solely as a means – the greatest and most marvelous – to have and conserve Divine Wisdom”. B. Cortinovis, Montfort Pilgrim in the Church, terj. Bross Julien Rabiller at al., St. Gabriel Press, Rome 1997, hlm. 117.

[54] BS 62.

[55] BS 214.

[56] Bdk. Second Vatican Council, Dogmatic Constitution on the Church Lumen gentium n. 51 (November 21, 1964), in The Documents of Vatican II: With Notes and Index. Vatican Translation, St. Pauls Publication, Libreria Editrice Vaticana, Città del Vaticano 2009, hlm. 144.

[57] Second Vatican Council, Constitution on the Sacred Liturgy, Sacrosanctum concilium 2 (December 4, 1963), in The Documents of Vatican II: With Notes and Index. Vatican Translation, St. Pauls Publication, Libreria Editrice Vaticana, Città del Vaticano 2009, hlm. 91

[58] Ibidem, 7, hlm. 93-94.

[59] Bdk. S. M. Perrella, La Madre di Gesù nella coscienza ecclesiale contemporanea. Saggi di teologia. PAMI, Città del Vaticano 2005, hlm. 519-520.

[60] C. Maggioni, «A proposito di pietà popolare mariana», in Theotokos 25, (2017), hlm. 166.

[61] Second Vatican Council, Constitution on the sacred liturgy Sacrosanctum concilium 13, hlm. 96.

[62] C. Maggioni, «A proposito di pietà popolare mariana», hlm. 166.

[63] Bdk. Ibidem.

[64] Ibidem.

[65] Ibidem.

[66] Paus Yohanes Paulus II menjelaskan bahwa Lumen gentium dalam arti tertentu merupakan “magna carta” (baca: piagam besar) dari mariologi dalam dunia modern. Beliau menulis: «La Chiesa di tutti i tempi, incominciando dal Cenacolo della Pentecoste, circonda sempre Maria di una venerazione particolare e si rivolge a lei con una peculiare fiducia. La Chiesa dei nostri tempi, mediante il Concilio Vaticano II, ha fatto una sintesi di tutto ciò che era cresciuto durante le generazioni. Il capitolo ottavo della Costituzione dogmatica Lumen gentium è in un certo senso una «magna charta» della mariologia per la nostra epoca: Maria presente in modo particolare nel mistero della Chiesa, Maria «Madre della Chiesa», come iniziò a chiamarla Paolo VI (nel Credo del Popolo di Dio), dedicandoLe in seguito un documento a parte («Marialis cultus»)» (Gereja di sepanjang masa, dimulai dari Pentekosta di senakel [ruang atas], selalu mengitari Maria suatu penghormatan khusus dan menyapanya dengan keyakinan yang khusus. Gereja di zaman kita, melalui Konsili Vatikan II, telah membuat sintesis tentang semuayang telah bertumbuh. Bab kedelapan Konstitusi Dogmatik Lumen gentium dalam arti tertentu merupakan “magna charta” Mariologi untuk zaman kita: Maria hadir dengan cara tertentu dalam misteri Gereja: gelar yang dimulai oleh Paulus VI dengan menyapanya (dalam doa Aku Percaya, umat Tuhan) kemudian mendedikasikannya sebuah dokumen (“Marialis cultus”). Giovanni Paolo II, Udienza generale 2 maggio 1979, in Insegnamenti di Giovanni Paolo II, Libreria Editrice Vaticana, Città del Vaticano 1979, vol. II, hlm. 1034.

[67] E. Toniolo menulis: “il testo mariologico più importante del magistero di questi duemila anni della religione cristiana, sintesi ponderosa della dottrina e del culto della Chiesa Cattolica (e di tutte le Chiese Cristiane) verso la Madre di Dio” (Teks mariologi yang paling penting dari magisterium dari dua ribu tahun agama Kristen ini, sintesis yang kuat dari doktrin dan kebaktian Gereja Katolik (dan semua orang Kristen) terhadap Bunda Maria). E. Toniolo, La Beata Maria Vergine nel Concilio Vaticano II. Cronistoria del Capitolo VIII della Costituzione dogmatica «Lumen Gentium» e sinossi di tutte le redazioni, Centro di Cultura Mariana «Madre della Chiesa», Roma 2004, hlm. 15

[68] Bdk. S. M. Perrella, La Madre di Gesù nella coscienza ecclesiale contemporanea. Saggi di teologia, hlm. 78. Bdk. A. Amato, Maria la Theotokos. Conoscenza ed esperienza, hlm. 214-215

[69] S. De Fiores, Maria presenza viva nel popolo di Dio, p. 129

[70] Bdk. S. M. Perrella, «Percorsi teologici postconciliari: dalla Lumen gentium ad oggi» in E. M. Toniolo (a cura di), Maria nel concilio, approfondimenti e percorsi, Centro di Cultura Mariana, «Madre della Chiesa», Roma 2005, hlm. 193-194

[71] Bdk. Second Vatican Council, Dogmatic Constitution on the Church Lumen gentium n. 66, hlm. 178.

[72] Bdk. C. Maggioni, «Il rapporto della Chiesa con Maria: culto e forme di devozione nel capitolo VIII della Lumen gentium», in E. M. Toniolo (a cura di), Maria nel concilio. Approfondimenti e percorsi a 40 anni dalla «Lumen gentium», Centro di Cultura Mariana «Madre della Chiesa», Roma 2005, hlm. 40

[73] Dikatakan ‘belakangan’ atau ‘kemudian’ oleh karena ada pandangan yang mengatakan bahwa kultus dan atau penghormatan kepada Maria muncul setelah adanya kultus kepada para martir. Akan tetapi sesungguhnya kalau melihat indikasi-indikasi penghormatan kepada Maria dalam Perjanjian Baru, ada beberapa teks justru menunjukkan hal sebaliknya bahwa jauh sebelumnya adanya kultus para martir, sudah ada kultus marial yang dihidupi oleh Komunitas Kristen perdana. Bdk. Fidelis B. Wotan, Semana Santa and Devotion to Tuan Ma (Mary, Mater Dolorosa): An Inheritance of Faith in the Work of Evangelization of Dominican Missionaries in Larantuka, Flores-Indonesia, hlm. 178-180.

[74] Menurut Groenen, “yang paling biasa dan umum ialah doa kepada Maria. Sudah dikatakan bahwa doa, puji-pujian, syukur, permohonan yang ditujukan kepada Allah oleh karena (alasan) Maria, ibu Yesus, tidak menjadi problem. Maria kan termasuk karya ciptaan Allah dan hasil karya penyelamatan. Contoh doa macam itu sudah ada dalam Kitab Suci. Maria sendiri memuji dan bersyukur kepada-Nya, karena Yang Mahakuasa melakukan perbuatan besar kepada Maria (Luk1:46-47). Elisabet pun memuji Maria sebagai “yang diberkati” (oleh Tuhan), sehingga pantas dipuji bahagia (Luk 1:42.45). Problem baru muncul kalau Maria sendiri menjadi sasaran doa”. C. Groenen, Mariologi. Teologi dan Devosi, Kanisius, n. 349, hlm. 168-169.

[75] Second Vatican Council, Dogmatic Constitution on the Church Lumen gentium 66, hlm. 178. Bdk. Dokumen Konsili Vatikan II, terj. R. Hardawiryana, Obor, Jakarta 2004, hlm. 159-160

[76] Dalam konteks ini, Maggioni berbicara tentang doa marial yang tertua yang dikaitkan dengan kultus kepada Perawan Maria. Ia menulis: “Al riguardo si ricorda la preghiera «Sub tuum praesidium» (sec. III), rivolta direttamente alla Madre di Dio, sentita dai credenti quale potente rifugio e sicura protezione. E a seguire, viene menzionato il Concilio di Efeso, dal quale, con la confessione della Theotokos, prese incremento nel popolo cristiano il culto mariano, qualificato dal dettato conciliare con quattro aggettivazioni: venerazione; amore; invocazione; imitazione». (Dalam hal ini, kita mengingat doa “Sub tuum praesidium (abad III), yang ditujukan langsung kepada Bunda Allah, yang dirasakan oleh orang percaya sebagai perlindungan yang kuat dan aman. Dan untuk mengikutinya, Konsili Efesus disebut sebagai asal dari mana sebutan Theotokos itu muncul, kebaktian Maria membangkitkan orang-orang Kristen, yang memenuhi syarat dari konsili yang menyebut keempat kata sifat: penghormatan, cinta, seruan dan mencontoh teladan-imitasi). C. Maggioni, «Il rapporto della Chiesa con Maria: culto e forme di devozione nel capitolo VIII della Lumen gentium», hlm. 141

[77] Ibidem.

[78] Ibidem.

[79] Berkenaan dengan relasi intim sebagai sebuah sikap yang penting dalam devosi marial, “teolog klasik”, Santo Louis Marie Grignion de Montfort telah mengusulkan suatu devosi yang menjadikan Maria sebagai sarana atau jalan untuk sampai kepada puteranya. Ia menekankan pentingnya relasi tersebut dengan Maria sebagai sebuah cara (baca: jalan) untuk menyatukan diri dengan Yesus. Ia menyebut hal ini sebagai “Suatu Pembaktian Diri yang Total kepada Yesus melalui tangan Maria”. Bdk. L. M. Grignion De Montfort, Traité de la vraie devotion a la Sainte Vierge, n. 121, dans M. Gendrot (sous la direction), Œuvres completes de saint Louis-Marie Grignion de Montfort, Éditions du seuil, Paris 1966, hlm. 563-564. Bdk. L. M. G. De Montfort, Bakti Sejati kepada Maria, terj. Mgr. Ishak Doera, Pr, Serikat Maria Montfortan, Bandung 2000, hlm. 97-98.

[80] Bdk. C. Maggioni, «Il rapporto della Chiesa con Maria: culto e forme di devozione nel capitolo VIII della Lumen gentium», hlm. 141.

[81] Ibidem.

[82] Ibidem.

[83] Maggioni mengatakan bahwa mengenal atau tidak tentang pentingnya gambar-gambar kudus bagi kesalehan liturgis sangat sesuai dengan kebaktian marial (marian cult). Bdk. C. Maggioni, «Il rapporto della Chiesa con Maria: culto e forme di devozione nel capitolo VIII della Lumen gentium», hlm. 145.

[84] Menurut Perrella, seyogyanya mereka dibimbing oleh sumber-sumber iman seperti Kitab Suci, ajaran para Bapa Gereja dan Pujangga suci serta liturgi-liturgi Gereja di bawah kuasa mengajar Gereja. Bdk. S. M. Perrella, «Percorsi teologici postconciliari: dalla «Lumen gentium» ad oggi», in E. M. Toniolo (a cura di), Maria nel concilio. Approfondimenti e percorsi a 40 anni dalla «Lumen gentium», Centro di Cultura Mariana «Madre della Chiesa», Roma 2005, hlm. 217-218. Bdk. Second Vatican Council, Dogmatic Constitution on the Church Lumen gentium 67, hlm. 178.

[85] Konsili menulis: “Let the faithful remember moreover that true devotion consists neither in sterile or transitory affection, nor in a certain vain credulity, but proceeds from true faith, by which we are led to know the excellence of the Mother of God, and we are moved to a filial love toward our mother and to the imitation of her virtues” (Hendaklah kaum beriman mengingat bahwa bakti yang sejati tidak terdiri dari perasaan yang mandul dan bersifat sementara, tidak pula dalam sikap mudah percaya tanpa dasar. Bakti itu bersumber pada iman yang sejati, yang mengajak kita untuk mengakui keunggulan Bunda Allah, dan mendorong kita untuk sebagai putra-putrinya mencintai Bunda kita dan meneladan keutamaan-keutamaannya).

[86] Penjelasan ini dikutip dari pernyataan professor teologi dogmatik, Perrella dalam mata kuliahnya tentang “Magisterio ordinario post conciliare” pada 14 April 2017 di Pontificia Facoltà Teologica “Marianum”, Roma. Bdk. S. M. Perrella, La madre di Gesù nella coscienza ecclesiale contemporanea, Saggi di teologia, hlm. 173-176.

[87] Bdk. S. De Fiores, Maria nella teologia contemporanea, Centro di Cultura Mariana, «Madre della Chiesa», Roma 1991, hlm. 128-130. Bdk. Idem, Maria presenza viva nel popolo di Dio, hlm. 222-227. Bdk. Paolo VI, Esortazione apostolica per il retto ordinamento e sviluppo del culto della Beata Vergine Maria, Marialis cultus 40 (2 febbraio 1974), in Enchiridion Vaticanum [=EV], EDB, Bologna 1979, n. 71, hlm. 101.

[88] Bdk. S. De Fiores, Maria nella teologia contemporanea, Centro di Cultura Mariana, «Madre della Chiesa», Roma 1991, hlm. 128-130. Bdk. Idem, Maria presenza viva nel popolo di Dio, hlm. 222-227. Bdk. Paolo VI, Esortazione apostolica Marialis cultus cit., 40, n. 71, hlm. 101.

[89] Mense Maio (29 April 1965) merupakan Ensiklik Paus Paulus VI yang berpusat pada Sang Perawan Maria yang mana secara tradisioanl bulan Mei dipersembahkan sebagai bulan untuk menghormati Maria. Dalam ensiklik itu, Paus menyatakan bahwa Maria berhak dihormati sebagai suatu jalan di mana semua orang dapat dituntun menuju Kristus.  Bdk. A. Amato, Maria la Theotokos. Conoscenza ed esperienza, Libreria Editrice Vaticana, Città del Vaticano 2011, hlm. 220

[90] Christi matri (15 september 1966), merupakan Ensiklik Paus Paulus VI yang menyerukan semua umat Katolik di seluruh dunia agar berdoa Rosario di sepanjang bulan Oktober. Seruan ini dimaksudkan agar umat memperoleh perdamaian dunia yang sejati, di mana peperangan pun dapat dihentikan

[91] Recurrens mensis (7 Oktober 1969), merupakan Anjuran Apostolik Paus Paulus VI di mana Paus menjelaskan dan memupuk bentuk-bentuk tradisional Rosario. Tekanan utama dari dokumen ini ialah usaha untuk menyegarkan dan mendorong perlunya devosi Rosario. Di sana dijelaskan tiga bagian tentang “kepengantaraan Maria” sebagai jalan untuk kembali kepada Allah. Bagian pertama, umat dipanggil agar menjadi “pembawa damai”. Bagian kedua, berbicara tentang kewajiban setiap orang Kristen supaya berdoa dan bagian ketiga mencantumkan apa yang menjadi niat dari suatu doa”. Bdk. Ibidem. Bdk. https://udayton.edu/imri/mary/m/magisterial-documents-recurrens-mensis october.php. (Diakses tanggal 11 Oktober 2018, pkl. 11.37).

[92] Bdk. Ibidem. Bdk. Idem, «Il magistero mariano di Giovanni Paolo II nel quadro del magistero conciliare e postconciliare» in E. Toniolo (a cura di), Il magistero mariano di Giovanni Paolo II. Percorsi e punti salienti, Centro di Cultura Mariana «Madre della Chiesa», Roma 2006, hlm. 88.

[93] Signum magnum (a Great sign) merupakan Anjuran Apostolik dari Paus Paulus VI yang berbicara tentang konsekrasi (penyerahan) dunia kepada Hati Perawan Maria yang Tak Bernoda. Dokumen ini terdiri dari sebuah pengantar dan dua bagian yang saling berkaitan. Kedua bagian tersebut yakni, “il culto a Maria come madre della Chiesa” dan “devote imitazione delle virtù di Maria” (“Kebaktian kepada Maria sebagai Bunda Gereja” dan “meneladani kebajikan-kebajikan Maria”). Paolo VI, Esortazione apostolica sulla necessità di venerare e imitare la Beata Vergine Maria, Madre della Chiesa ed esempio di tutte le virtù Signum magnum (13 maggio 1967), in Enchiridion Vaticanum (= EV), EDB, Bologna 1979, vol. 2, 1179, 1186, hlm. 985, 993.

[94] Bdk. S. M. Perrella, La madre di Gesù nella coscienza ecclesiale contemporanea, Saggi di teologia, p. 168. Bdk. A. Amato, Maria la Theotokos. Conoscenza ed esperienza, hlm. 220.

[95] Paolo VI, Esortazione apostolica Signum magnum, cit., Ip., n. 1179, hlm. 985

[96] Bdk. S. M. Perrella, La madre di Gesù nella coscienza ecclesiale contemporanea, Saggi di teologia, hlm. 168.

[97] Bdk. Paolo VI, Esortazione apostolica Signum magnum, cit., Ip., n. 1179, hlm. 985

[98] Paus menulis: “Maria, non appena fu rassicurata dalla voce dell’Angelo Gabriele che Dio la eleggeva a Madre intemerata del suo Figlio Unigenito, senza porre indugio diede il proprio assenso ad un’opera che avrebbe impegnato tutte le energie della sua fragile natura, dichiarando: Ecco l’ancella del Signore, si faccia di me secondo la tua parola”. (Maria, segera setalah dia diyakinkan oleh suara Malaikat Gabriel bahwa Allah memilihnya sebagai Bunda Putra Tunggal-Nya, tanpa penundaan dia menyetujuinya bagi sebuah misi yang akan melibatkan semua energy dari kerapuhan kemanusiaannya, menyatakan: “Aku ini hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut perkataanmu”). Ibidem, n. 1183, hlm. 989.

[99] S. De Fiores, Maria presenza viva nel popolo di Dio, hlm. 101

[100] Bdk. Ibidem.

[101] S. M. Perrella, La madre di Gesù nella coscienza ecclesiale contemporanea, Saggi di teologia, hlm. 173

[102] Anjuran Apostolik Paus Paulus VI ini dibagi ke dalam beberapa bagian: pertama, berbicara tentang kultus (kebaktian) Perawan Maria di dalam liturgi [no. 1-23]. Kedua, berbicara tentang pembaharuan kesalehan marial (marian piety) [no. 24-39). Ketiga, berbicara tentang pious exercises (ulah kesalehan) seperti Angelus Domini (Malaikat Tuhan) dan Rosario Suci [no. 40-58]. Bagian terakhir berbicara tentang nilai teologis dan pastoral dari devosi kepada Perawan Maria. Sebetulnya bagian ini merupakan kesimpulan dari seluruh isi dokumen [no. 56-59].

[103] Ibidem, hlm. 173

[104] C. Maggioni, «Memoria e profezia della «Marialis cultus» a trent’anni dall’Esortazione apostolica di Paolo VI», in Theotokos XII (2004), hlm. 401

[105] Bdk. S. De Fiores, Maria presenza viva nel popolo di Dio, hlm. 103

[106] Bdk. Paolo VI, Esortazione apostolica Marialis cultus cit., 29-39, nn. 56-70, hlm. 85-101

[107] Bdk. Ibidem., 29, n. 56, hlm. 124

[108] Salah satu contoh yang bisa dilihat misalnya apa yang dilakukan umat Katolik di Larantuka selama 500 tahun lebih dalam praktik devosi kepada Maria, “Tuan Ma” (Mater Dolorosa) setiap tahun pada perayaan Semana Santa

[109] Paolo VI, Esortazione apostolica Marialis cultus cit., 40, n. 71, hlm. 101

[110] Bdk. Giovanni Paolo II, Lettera enciclica Redemptoris Mater 17, in Enchiridion delle Encicliche [= EE], EDB, Bologna 1998, vol. 8, n. 656, hlm. 623

[111] Bdk. https://udayton.edu/imri/mary/m/magisterial-documents-redemptoris-mater.php. (Diakses pada 5 April, 2018 pkl 18.20).

[112] Bdk. S. M. Perrella, La madre di Gesù nella coscienza ecclesiale contemporanea, Saggi di teologia, p. 188. Bdk. E. M. Toniolo, «Nota sul magistero mariano di Giovanni Paolo II», in E. M. Toniolo (a cura di) Il magistero mariano di Giovanni Paolo II. Percorsi e punti salienti, Centro di Cultura Mariana «Madre della Chiesa», Roma 2006, hlm. 11

[113] Bdk. S. M. Perrella, La madre di Gesù nella coscienza ecclesiale contemporanea, Saggi di teologia, hlm. 190. Bdk. E. M. Toniolo, «Nota sul magistero mariano di Giovanni Paolo II», hlm. 12.

[114] Dalam RM no. 38, Paus berbicara secara khusus mengenai “kepengantaraan keibuaan” (materna mediazione) sebagai sebuah tema besar dari ajarannya dan tema ini sebetulnya merupakan “uno dei cardini del documento di Giovanni Paolo II” (salah satu dari sekian dokumen utama Yohanes Paulus II).

[115] Bdk. S. M. Perrella, La madre di Gesù nella coscienza ecclesiale contemporanea, Saggi di teologia, hlm. 190.

[116] Ibidem, hlm. 195

[117] Bdk. Giovanni Paolo II, Lettera enciclica Redemptoris mater cit., 38, n. 721, hlm. 679.

[118] Bdk. Ibidem, n. 48, hlm. 780.

[119] Bdk. S. De Fiores, Maria. Nuovissimo Dizionario 2, EDB, Bologna 2006, hlm. 1402

[120] Melalui Anjuran Apostolik ini, De Fiores menjelaskan bahwa Kristus adalah Misteri Terang itu sendiri. Itulah sebabnya mengapa Paus menamakannya “i misteri della luce” sebagaimana yang dinyatakan dalam RVM n. 21 tidak lain merupakan misteri-misteri Kristus yang diawali dengan masa kanak-kanak dan ketersembunyiannya di Nazareth hingga kehidupan publiknya. Bdk. Ibidem, hlm. 1404.

[121] Bdk. Giovanni Paolo II, Lettera apostolica sul santo Rosario, Rosarium Virginis Mariae 18 (16 ottobre 2002), in Insegnamenti di Giovanni Paolo II, Libreria Editrice Vaticana, Città del Vaticano 2003, vol. XXV,2, hlm. 533.

[122] Bdk. Ibidem, hlm. 522-551

[123] Novo millennio ineunte (6 Januari 2001) merupakan sebuah surat Apostolik Paus Yohanes Paulus II yang ditujukan kepada para uskup, pelayan Gereja dan rohaniwan lainnya, “di akhir masa Yubileum Agung tahun 2000”. Dikatakan bahwa surat ini menyusun prioritas Gereja Katolik Roma bagi millennium ketiga, dll. Konsentrasinya ialah Yesus Kristus sebagai pusat dan tujuan dari semua prioritas Gereja

[124] Bdk. S. M. Perrella, La madre di Gesù nella coscienza ecclesiale contemporanea, Saggi di teologia, hlm. 231

[125] Giovanni Paolo II, Esortazione apostolica Rosarium Virginis Mariae cit., 3, hlm. 524.

[126] Bdk. Ibidem. Bdk. S. M. Perrella, La madre di Gesù nella coscienza ecclesiale contemporanea, Saggi di teologia, hlm. 231.

[127] Ibidem, hlm. 232-233

[128] Bdk. Ibidem., hlm. 234.

[129] Giovanni Paolo II, Esortazione apostolica Rosarium Virginis Mariae cit., 1, hlm. 522.

[130] Bdk. G. Manek, Rosario. Nafas Anak-anak Maria, Ledalero, Maumere 2007, hlm. xxxvi. Bdk. Giovanni Paolo II, Esortazione apostolica Rosarium Virginis Mariae cit., 12, hlm. 528.

[131] Bdk. YB. Haryono, Devosi-devosi Umat. Sejarah, Makna, Manfaat, dan Bahayanya, hlm. 64-65

[132] Bdk. Ibidem, hlm. 60-61.

Bagikan: