Teologi dan Spiritualitas Pembaktian Diri kepada Yesus melalui Maria

Fidelis Bolo Wotan, SMM

PENGANTAR

Nama Santo Louis-Marie Grignion de Montfort (selanjutnya disebut Montfort) belum banyak disebut dalam Sejarah Teologi. Dari sekian banyak mistikus, harus diakui bahwa Montfort tidak memiliki reputasi seperti Ignatius dari Loyola (1491-1556), Teresa dari Avila (1515-1582) atau Yohanes dari Salib (1542-1591). Meskipun demikian, sejak dikanonisasi oleh Paus Pius XII (1947), Montfort mulai diperhitungkan dalam Gereja secara khusus kontribusi pemikirannya di bidang Mariologi. Dalam hal ini, Paus Yohanes Paulus II (1978-2005) menyebut Montfort sebagai ’Saksi dan Guru Spiritualitas Maria’ . Montfort memang disebut sebagai guru Spiritualitas Maria, namun pemikirannya ternyata tidak hanya terbatas pada bidang Mariologi, tetapi mencakup juga bidang-bidang lainnya, misalnya, Kristologi, Pneumatologi, Eklesiologi, dsb .

Upaya untuk mendalami dan memerkenalkan pemikirannya di bidang-bidang tersebut terus-menerus dilakukan terutama oleh para Montfortan maupun oleh kaum awam yang menaruh minat terhadap Spiritualitas Montfort. Meskipun demikian, harus tetap diakui bahwa studi terhadap tulisan-tulisannya masih terbatas, khususnya di Barat. Tulisan-tulisan Montfort ternyata belum banyak digali dan dipelajari dan didalami, misalnya di Indonesia . Harus diakui bahwa nama Montfort (termasuk juga tulisan-tulisannya belum begitu familiar di wilayah kita dan belum diperkenalkan secara luas). Meskipun demikian, minimal melalui organisasi rohani seperti Legio Maria dan Kerabat Santo Montfort (KSM) nama Montfort disebut dan didoakan. Hanya saja, apakah ajaran rohani dan tulisan-tulisannya juga dipelajari dan didalami oleh para legioner, KSM atau kelompok-kelompok rohani lainnya di Indonesia yang menaruh minat terhadap spiritualitas Montfort, itu masih menjadi bahan permenungan. Padahal kalau ditelusuri secara mendalam, nama Montfort dalam Legio Maria lebih dari sekedar seorang pelindung, yakni punya peranan yang besar dan secara spiritual ikut menganyam (memengaruhi) semangat hidup dari Legio itu sendiri sebagaimana yang diakui sendiri oleh pendirinya, Frank Duff (1889-1980).

Montfort dikenal secara luas di seluruh dunia sebagai ”Bentara Bunda Allah.” Bagi kebanyakan orang, ajaran rohani Montfort atau spiritualitasnya terpaku pada devosi kepada Maria yang kelihatan begitu kuat bahkan oleh sebagian orang dianggap sangat berlebihan. Anggapan semacam ini bisa saja masuk akal, oleh karena jarang sekali seorang pengarang rohani berbicara secara gamblang dan detail nan mesra tentang rahasia Maria. Meskipun demikian, kita patut melihat lebih dalam bahwa sebetulnya pembicaraan Montfort tentang Maria selalu berada dalam konteks pewartaan mengenai Kabar Gembira tentang Yesus Kristus dan keselamatan yang dibawa-Nya melalui Maria bagi manusia.

SEJENAK MENYELAMI SPIRITUALITAS SANTO MONTFORT
1. DEVOSI YANG SEJATI DAN MESRA KEPADA BUNDA MARIA

Montfort secara sangat luas berbicara tentang ”Bakti Sejati Kepada Maria.” Ketika dia menyinggung hal ini, dia tidak pernah melupakan hal mendasar yang menjadi rangkuman dari segala misteri Yesus Kristus yakni, Misteri Inkarnasi yang sekaligus juga menjadi semacam ”dasar teologis” baginya ketika ia merefleksikan praktik devosional ”Bakti Sejati kepada Maria .” Sebelum kita masuk ke dalam pembahasan tentang devosi kepada Maria menurut Montfort, baiklah kita melihat sekilas misteri Inkarnasi yang direfleksikan Montfort.

Montfort adalah anggota Mazhab (Sekolah) ”Spiritualitas Perancis” yang didirikan oleh Bérulle (1575-1629). Salah satu ciri khas aliran rohani ini ialah kontemplasi yang sangat mesra atas Misteri Penjelmaan Putera Allah . Misteri Inkarnasi direfleksikan sebagai ringkasan atau asal-muasal segala misteri yang lain dalam hidup Yesus . Ini berarti bahwa penjelmaan itu sebetulnya mencakup juga segala misteri lain yang masih akan hadir dalam seluruh hidup Yesus, termasuk di dalamnya misteri salib dan kebangkitan. Ringkasnya, Misteri Penjelmaan Allah menurut Montfort adalah rangkuman segala misteri . Jikalau Montfort berasumsi demikian, maka jelaslah bahwa Maria memiliki peran yang istimewa atau menjadi seorang wanita “yang unggul dan tunggal” di antara segala makhluk lainnya. Ia justru mengkontemplasikan posisi dan peran Maria ini begitu kuat dalam misteri asali ini. Ia melihat bahwa Allah sendiri begitu terpesona oleh “keindahan” yang Ia sendiri anugerahkan kepada Maria. Dengan keindahan itu, Maria memenangkan hati Allah sehingga yang terjadi ialah membiarkan diri-Nya dikandung dan dilahirkan oleh Maria, hidup sebagai manusia biasa dalam keadaan manusiawi, menjadi miskin dan lemah hingga akhirnya menderita serta mati di palang penghinaan. Itu semua juga terjadi melalui Maria .

Berbicara tentang Inkarnasi tanpa melibatkan peran Maria adalah suatu hal yang tidak mungkin. Dalam arti ini, apa yang menjadi ”fiat” (ya-nya Maria) atau persetujuan Maria menjadi poin penting untuk direnungkan. Bagi Montfort persetujuan Maria bukan hanya penting secara hipotetis, karena persetujuan itu dalam dirinya tidak penting, tetapi secara bebas dikehendaki oleh Allah, dan juga persetujuan itu bersifat representatif . Inilah yang kemudian menjadi alasan dasariah mengapa Montfort selalu berbicara tentang Inkarnasi dalam hubungannya dengan Maria. Ia memahami Inkarnasi sebagai misteri cinta, yakni Cinta Kristus yang menghampakan diri-Nya dengan mau taat kepada Maria .

Yesus Kristus tidak hanya sekedar mengosongkan diri, tetapi dalam pengosongan-Nya itu, Ia menggantungkan diri-Nya pada Maria . Menurut Richard J. Payne, pada dasarnya Montfort tidak menolak istilah kenosis (penghampaan-pengosongan diri Allah) walaupun ia jarang menggunakannya. Meskipun demikian, di pihak lain ia berusaha memahami kenosis dengan pola pemahamannya yang unik. Ia memahaminya dengan lebih menekankan istilah dependence (ketergantungan). Istilah ini dipakainya karena menunjukkan semangat ”ketaatan” Yesus kepada Maria .

Montfort melihat bahwa Yesus, Sang Kebijaksanaan yang Menjelma benar-benar mau bergantung kepada Maria. Mengapa Ia mau bergantung kepada Maria? Ada beberapa alasannya, yakni pertama, Ia mau menemukan kesenangan-Nya di sana. Kedua, di dalam ketersembunyian itu, Ia melakukan mukjizat-mukjizat. Ketiga, di dalam Maria, Ia menemukan kebebasan-Nya dalam keadaan terkurung. Keempat, di dalam Maria pula, Ia mengembangkan kekuatan-Nya dalam kemuliaan yang penuh dengan membiarkan diri dikandung olehnya . Ini berarti bahwa Ia meluhurkan kedaulatan dan keagungan-Nya dengan bergantung pada Maria. Ringkasnya, Ia mau mengosongkan diri-Nya dengan bergantung kepada Maria.

Ketergantungan Allah kepada Maria ini dalam arti tertentu secara implisit memerlihatkan pula sebuah ajakan bagi kita untuk memandangnya sebagai sebuah ”misteri pola” yang pantas diikuti. Inilah yang kemudian menjadi anjuran Montfort bagi umat Kristiani supaya mau memakai Maria sebagai sarana yang paling efektif supaya datang kepada Yesus Kristus. Dalam hal ini, Montfort begitu antusias mengajak kaum Kristiani agar memiliki devosi kepada Maria. Selanjutnya kita akan diajak masuk ke dalam apa yang menjadi refleksi Montfort tentang Bakti Sejati kepada Maria.

1.1.1. BAKTI KEPADA MARIA ADALAH DEVOSI YANG TERBAIK DAN PALING MENYUCIKAN

Perjuangan Montfort untuk memerkenalkan devosi kepada Maria yang ia ajarkan patut diapresiasi. Melalui devosi yang ia ajarkan, kita semua dihantar pada sebuah permenungan bersamanya bahwa tidak ada devosi lain yang paling baik dan menyucikan selain devosi yang ia ajarkan kepada kita umat Kristiani. Menurut argumentasi Montfort, devosi kepada Bunda Maria merupakan sebuah devosi yang terbaik dan paling menyucikan serta mampu menghantar orang menjauhi dosa. Devosi ini pun bagi Montfort merupakan sebuah bakti yang paling sempurna. Alasan utamanya ialah Bunda Maria adalah pribadi yang paling sempurna dan paling suci dari segala makhluk. Jadi, jikalau seseorang memilih devosi kepada Maria sebagai praktik yang sempurna dan menyucikan, maka hal itu justru terjadi karena ”kesucian dan keunggulan Maria” dari segala makhluk. Menurut Montfort, praktik seperti ini rupanya belum begitu dikenal pada zamannya. Ia mengatakan bahwa hanya beberapa orang saleh yang mengetahuinya dan yang memraktikkannya pun hanya segelintir orang saja .

 

1.1.2. DEVOSI KEPADA MARIA: SEBUAH PRAKTIK PENGOSONGAN DIRI

Devosi kepada Perawan Maria yang diajarkan Montfort bisa disebut pula sebagai suatu bentuk praktik ”pengosongan diri.” Menurutnya, tidak ada devosi yang lebih ”mengosongkan dirinya” di hadapan Allah selain devosi yang ia ajarkan dan anjurkan. Montfort berkata:

”Saya telah membaca hampir semua buku tentang bakti kepada Perawan teramat suci… Kini saya menyatakan dan menekankan: saya tidak pernah mengenal satu pun praktik bakti lain kepada Perawan suci yang dapat dibandingkan dengan bakti yang akan saya uraikan. Tak ada bakti yang meminta dari seorang manusia begitu banyak korban bagi Allah, yang lebih mengosongkan dirinya dan menghilangkan cinta diri….: tak ada bakti yang memersatukan orang lebih atau sempurna dan lebih mudah dengan Yesus Kristus; pendeknya tak ada bakti yang lebih memuliakan Allah, lebih menyucikan manusia dan lebih menguntungkan sesama .”

Devosi ini dilihat sebagai jalan atau sarana yang dapat menghantar orang mengalami pengosongan diri. Pengosongan diri yang ia maksudkan berhubungan langsung dengan konteks penyucian diri atau jalan menuju kekudusan yaitu bersatu dengan Yesus dan menjadi serupa dengan-Nya . Ia menulis:

“untuk mengosongkan diri … kita harus memilih di antara semua devosi Perawan tersuci devosi yang paling menghantar kita untuk mati terhadap diri sendiri; karena devosi itulah yang terbaik dan paling menyucikan. Janganlah kita berpikir bahwa semua yang berkilau itu emas. Tidak semua yang terasa manis adalah madu. Tidak semua yang mudah dan yang dilakukan oleh sebagian besar umat adalah yang paling tepat mengantar kita kepada kesucian… Demikian juga dalam tata rahmat juga di situ terdapat rahasia-rahasia yang dalam waktu singkat dengan luwes dan mudah memungkinkan pelaksanaan kegiatan-kegiatan adikodrati: mengosongkan diri, memenuhi diri dengan Allah dan mencapai kesempurnaan .”

Bagaimana konkretnya praktik pengosongan diri melalui devosi kepada Maria?
Montfort menganjurkan agar orang menyerahkan seluruh diri kepada Maria lewat tindakan “Pembaktian Diri” . Inti dari praktik “Pembaktian Diri” kepada Yesus lewat tangan Maria adalah penyerahan seluruh diri secara total kepada Kristus. Montfort menulis, devosi ini terdiri dari suatu penyerahan diri seutuhnya kepada Perawan teramat suci supaya melalui dia menjadi milik Yesus Kristus sepenuhnya” (BS 121).
Penyerahan diri yang dimaksudkan Montfort adalah memberikan segala kepemilikan diri kepada Maria, baik yang bersifat jasmani maupun yang rohani . Jadi, Montfort mengajarkan bahwa kalau orang berdevosi kepada Maria, maka ia diminta untuk menyerahkan diri ke dalam tangan Maria (seluruh anggota badannya, jiwanya, harta lahiriah, segala karya amal, dsb.). Ia menulis:

“Kita harus memberikan kepadanya: 1) Badan kita beserta semua indera dan anggotanya; 2) Jiwa kita dengan seluruh kemampuannya; 3) Harta lahiriah kita, maksudnya milik duniawi kita, baik yang kini maupun yang akan datang; 4) Harta batiniah dan rohani kita, yaitu pahala-pahala keutamaan-keutamaan dan karya amal kita dari masa lampau, kini dan masa depan. Pendeknya, kita harus memberikan kepada Maria segala sesuatu yang kita miliki … dan segala sesuatu yang kemudian masih akan kita peroleh .”

Maksud Montfort menulis keempat hal di atas adalah untuk menggarisbawahi totalitas penyerahan diri kepada Allah lewat tangan Maria. Jadi, devosi kepada Maria pada akhirnya harus menghantar orang bersatu dan menjadi serupa dengan Yesus Kristus. Itulah tujuan dari penyerahan yang total kepada Maria: menjadi milik Yesus Kristus sepenuhnya, mencapai kesatuan dengan Kristus dan menjadi serupa dengan-Nya . Lewat praktik penyerahan diri tersebut, seseorang diajak untuk “mengosongkan” diri ke dalam Maria dan membiarkan diri “tenggelam” di dalamnya .
Bakti kepada Maria yang diajarkan Montfort sangat mendalam, dan jelas sekali sangat kristosentris . Apa yang dikatakan di sini begitu kuat dan mendarah daging dalam dirinya sehingga Montfort dengan lantang berkata: ”andaikata bakti kepada Maria menjauhkan kita dari Yesus, kita harus membuangnya sebagai tipuan setan .”

Melalui bakti yang diserahkan, diucapkan kepada Maria, seseorang dimampukan untuk masuk ke dalam relasi yang begitu mendalam, persatuan yang begitu mengakar lebih jauh dan langsung dengan Yesus, Sang Kebijaksanaan yang Menjelma. Dari sebab itu, dapat dipahami bahwa jikalau seseorang menyingkirkan Maria dari sejarah keselamatan dan itu berarti menegasinya (menyangkalnya) dari panggung kehidupan kristianinya, maka itu sama dengan menegasi pula rencana keselamatan sebagaimana yang ditegaskan oleh Montfort sendiri.
Bagi Montfort, mengimani kenyataan ini secara utuh dan menghayatinya secara mendalam disebut sebagai Pembaktian Diri kepada Kebijaksanaan Abadi yang Menjelma. Penyerahan diri yang penuh cinta dan bebas kepada rencana Allah sejatinya akan memperbaharui kita dalam Roh Kudus, sehingga kita dapat melaksanakan dan menyelesaikan hal-hal yang besar demi Tuhan dan demi keselamatan jiwa-jiwa .

Patrick Gaffney mengatakan bahwa Spiritualitas Montfortan yang bertitik tolak dari peristiwa Inkarnasi yang terlaksana demi keselamatan manusia dan dari kenyataan bahwa kita dilibatkan di dalamnya melalui pembaptisan, sungguh bersifat rasuli dan pada dasarnya itu bersifat misioner. Menurutnya, semuanya itu harus dikerjakan dalam lingkungan atau semangat maternal (keibuan) Bunda Maria, sehingga kita dapat menjadi bait-bait Roh Kudus seperti Maria dan dengan demikian membaharui muka bumi. Dengan sangat sederhana dan jelas dapat dikatakan bahwa oleh karena Maria seluruhnya milik Yesus, maka sesungguhnya keberadaan Maria juga seluruhnya untuk kita. Andaikata kita seperti Maria mau menyerahkan diri secara total kepada Yesus Kristus, maka kita harus tahu bahwa dengan demikian kita juga diberikan kepada sesama manusia. Dari segi lain, dapat dikatakan bahwa barangsiapa menyerahkan diri kepada Maria, dengan sendirinya juga akan menyerahkan dirinya kepada Kristus dan karya-Nya. Jikalau kita hendak mendalami maksud di balik semuanya ini, maka kita juga akan mengerti maksud Montfort menyampaikan semuanya ini, yaitu bahwa ia mengajar pertama-tama kepada setiap orang Kristiani untuk mengalami Kristus melalui dan dalam Maria. Sampai pada poin ini, bisa direfleksikan bahwa Montfort adalah seorang misionaris Yesus Kristus yang mengedepankan peran Maria di dalam tata keselamatan dunia. Setelah kita melihat secara umum uraian Montfort tentang ”pentingnya bakti kepada Bunda Maria”, selanjutnya kita masuk ke dalam apa yang disebut dengan ”tindakan Pembaktian Diri”.

 

1.2 PEMBAKTIAN DIRI KEPADA YESUS LEWAT MARIA
1.2.1. PEMBAKTIAN DIRI: SEBUAH SENI HIDUP KRISTIANI

Spiritualitas Marial-nya Montfort sesungguhnya dengan sangat elok, bisa dilihat dalam apa yang disebut dengan ”seni hidup menjadi orang Kristen” yang diparafrasekannya dengan nama ”Pembaktian Diri kepada Kristus lewat tangan Maria” atau yang lebih dikenal dengan term ”Pembaktian Diri.” Montfort dikenal dan diikuti oleh banyak orang dewasa ini oleh karena spiritualitas yang ia ajarkan dan tawarkan ini, yakni ”seni untuk menjadi kudus.” Malahan hal ini disebutnya sebagai ”rahasia” untuk menjadi suci atau dapat dikatakan sebagai rahasia untuk mengalami secara nyata persatuan dan keserupaan dengan Kristus. Gaya hidup ”Pembaktian diri” ini diungkapkan melalui sebuah tindakan devosional kepada Maria yang dibahasakan Montfort sebagai ”praktik yang sempurna” dibandingkan dengan sekian banyak bentuk praktik devosional lainnya, yang kemudian bisa dikelompokkan sebagai ”praktik yang benar (sejati) kepada Maria.” Tindakan ini merupakan aktualisasi yang nyata dari penghayatan sebuah ”seni hidup yang dibaktikan kepada Yesus Kristus melalui tangan Maria”. Pada saat tindakan itu diucapkan, dalam hal ini ’Doa Pembaktian Diri’ merupakan salah satu poin penting dari ungkapan lahiriah yang diajarkan Montfort tentang jiwa atau semangat hidup ”Pembaktian Diri”. Inilah seni hidup Kristiani yang pernah diajarkan dan ditawarkan oleh Montfort kepada semua umat Kristiani . Melalui ”Pembaktian Diri” tersebut, sesungguhnya seluruh teologi Montfort dapat diaplikasikan secara nyata dalam praksis hidup sehari-hari. Ajarannya ini tertuang dalam beberapa karya utamanya: Bakti Sejati kepada Maria, dan Cinta dari Kebijaksanaan Abadi bab XVI termasuk di dalamnya juga memuat teks ”Doa Pembaktian Diri .”

1.2.2. KEKHASAN PRAKTIK ”PEMBAKTIAN DIRI”

Sebelum kita menelusuri lebih jauh kekhasan praktik yang diajarkan Montfort, sebetulnya apa yang diajarkan Montfort ini juga telah dipraktikkan dan dihayati oleh seluruh Gereja, dalam arti bahwa semua yang pernah memberikan seluruhnya dirinya kepada Allah melalui dirinya, tugas dan pengabdiannya secara total, tulus kepada Allah atau ringkasnya, tindakan menyerahkan seluruh diri kepada Allah, sebetulnya itu juga direfleksikan sebagai sebuah bentuk ”Pembaktian Diri”. Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa praktik yang diajarkan dan ditawarkannya ini bukan hasil temuannya sendiri. Montfort berkata: Bakti yang saya wartakan bukanlah sesuatu yang baru. Apa yang dilakukan dan diajarkan Montfort kepada para pengikutnya dan seluruh umat Kristiani ialah bahwa praktik yang pada mulanya sudah dihayati Gereja, sekarang diberi pendasaran teologis dan menjelaskannya secara sistematis.

Ada tiga tekanan utama yang digarisbawahi Montfort berkenaan dengan praktik yang ia ajarkan. Pertama, praktik ini merupakan sebuah proyek hidup rohani untuk ”semakin bertumbuh dan berkembang dalam rahmat pembaptisan .” Kedua, praktik ini menghendaki agar siapapun yang melakukannya, hendaknya itu dihayati secara radikal. Dengan demikian, sebetulnya Montfort sangat menekankan aspek totalitas penyerahan, pemberian diri (pembaktian) yang seutuh-utuhnya. Montfort berkata bahwa kita membaktikan seluruh diri tanpa kecuali, secara permanen dan terus-menerus, dan itu untuk selama-lamanya sampai ke tahapan pengosongan seluruh diri, dengan menjadi ”hamba” kasih Yesus dalam Maria . Ketiga, seluruh praktik lahiriah yang diusulkan untuk praktik ini menemukan landasan teologis yang kokoh dan bersentuhan langsung dengan Teologi Pembaktian Diri kepada Yesus Kristus melalui tangan Maria .

Pembaktian Diri yang diajarkan Montfort pada dasarnya mengandung ciri-ciri tertentu, yang merupakan kekhasan ajarannya . Ciri-ciri yang dimaksud dapat dilihat dalam penjelasan berikut ini.

Pertama, Trinitarian-Christosentris. Pada tingkat yang paling tinggi “Pembaktian Diri” harus mempunyai orientasi yang bersifat kristosentris, alasannya jelas yakni karena Kristus adalah tujuan akhir dari hidup Kristiani. Dia tujuan akhir dari segala-galanya. Dari sebab itu, kehadiran Maria bukan menjadi pusat tetapi kehadiran Maria dalam “Pembaktian Diri” merupakan jalan untuk sampai kepada tujuan final, yakni Kristus. Montfort berkata: Yesus Kristus penebus kita, sungguh Allah dan sungguh manusia, harus menjadi tujuan akhir segala bakti kita, kalau tidak bakti itu tidak tepat dan menyesatkan . Sementara struktur trinitarian dari formula “Pembaktian Diri” menurut Montfort, dijelaskan dalam CKA 23-227. Ada beberapa gagasan yang bisa digarisbawahi dari aspek trinitarian ini, yakni tujuan dari “Pembaktian Diri” ialah “demi kemuliaan Allah”. Hal penting lainnya yang juga ditekankan Montfort ialah bahwa Yesus Kristus Kebijaksanaan Abadi yang menjelma menjadi tujuan akhir dari sebuah “Pembaktian Diri” yang sempurna. Selanjutnya, Montfort menegaskan kebenaran bahwa hidup di dalam Roh Kudus sesungguhnya itu sangat melekat kuat dalam praktik “Pembaktian Diri”. Dalam arti ini adalah penting sekali dalam semangat ini, kita yang membaktikan diri kepada Yesus perlu sekali merendahkan diri di hadapan Roh kudus yang menarik kita begitu kuat untuk bersatu dengan Yesus Kristus.

Kedua, Total. Ciri yang kedua ini sesungguhnya mau menekankan dimensi ’totalitas’ dari sebuah pemberian diri (penyerahan diri, self offertory). Montfort mengatakan bahwa bakti kepada Maria merupakan suatu penyerahan diri seutuhnya kepadanya. Maksudnya ialah supaya kita semua menjadi milik Yesus Kristus sepenuhnya. Dari sebab itu, Montfort mengatakan yang harus diserahkan, diberikan (dibaktikan) kepada Maria ialah seluruh diri kita (badan, jiwa, harta lahiriah, harta batiniah dan rohani kita yakni pahala-pahala, keutamaan-keutamaan, dst.)

Ketiga, Marial. ”Pembaktian Diri” kepada Yesus Kristus dalam perspektif Montfort haruslah bersifat Marial. Dalam konteks ini, orang kudus ini menekankan bahwa sesungguhnya tidak ada dua ”Pembaktian Diri”, yang satu kepada Yesus dan yang lainnya kepada Maria. Montfort justeru menegaskan bahwa hanya ada satu pembaktian diri: kita secara bebas masuk ke dalam persekutuan dengan satu-satunya Allah yang Mahakudus, Kebijaksanaan yang Menjelma, dalam realitas-Nya yang penuh buah rahim Maria yang penuh iman. Montfort menegaskan demikian: Kita membaktikan diri kita pada Perawan yang tersuci, yang satu dan sama, dan kepada Yesus Kristus… kepada Tuhan kita sebagai Tujuan Terakhir yang sebagai Penebus dan Allah kita, kepada-Nya kita memberikan segala keberadaan kita. Dari sebab itu, Montfort mengatakan bahwa devosi kepada Maria adalah devosi yang paling sempurna membuat kita serupa dengan Yesus Kristus, memersatukan dan membaktikan diri kita kepada-Nya. Jadi menurut Montfort, semakin seseorang itu dibaktikan kepada Maria, maka semakin pula dia dibaktikan kepada Yesus Kristus.

Keempat, Baptismal (pembaharuan janji baptis). Montfort menghayati pembaptisan sebagai Sakramen Perhambaan dasariah setiap orang Kristen, yaitu menjadi ”hamba Yesus Kristus”. Sebelum pembaptisan, kita adalah hamba setan. Melalui pembaptisan, kita telah menjadi hamba Yesus Kristus. Seorang Kristiani adalah hamba Yesus Kristus .” Bagi Montfort, pembaharuan janji-janji baptis yang sempurna dan ”Pembaktian Diri” yang sempurna itu pada dasarnya sinonim . Pembaptisan merupakan pencelupan kita ke dalam wafat dan kebangkitan Kristus. Dari sebab itu, penting sekali diperhatikan bahwa ”Pembaktian Diri” yang dikehendaki dan sempurna kepada Kristus harus merupakan pembaharuan janji-janji kehidupan baptisan kita. Penegasan Montfort mengenai aspek baptismal “Pembaktian Diri” merupakan implikasi langsung dari Sakramen Pembaptisan. Rumusan pernyataan “Pembaktian Diri” mengungkapkan secara jelas dimensi baptismalnya: dengan segenap hati aku membaharui janji-janji pembaptisanku dan selamanya aku menyangkal setan, dunia dan diriku sendiri. Oleh karena itu, Montfort mengatakan bahwa tindakan “Pembaktian Diri” memuat dimensi baptismal bahwa bakti yang dimaksud dengan tepat dapat disebut sebagai suatu pembaharuan sempurna dari ikrar atau janji-janji Pembaptisan Suci.

Kelima, Apostolik. ”Pembaktian Diri” yang diajarkan Montfort merupakan pernyataan untuk menghayati kehidupan baptis secara total. Dari sebab itu, hal ini sebetulnya menuntut sebuah komitmen mendalam kepada ”kerasulan”. Menurut Montfort, tujuan tertinggi dari ”Pembaktian Diri” ialah mendirikan Kerajaan Yesus Kristus. Montfort percaya bahwa dia dipanggil oleh Allah untuk membangkitkan tidak hanya sebuah laskar prajurit bersemangat bagi Yesus, sebuah laskar pria dan wanita untuk memerangi dunia, tetapi juga rasul-rasul sejati akhir zaman. Ia mengarahkan panggilan ini kepada para imam. Meskipun demikian, sesungguhnya pernyataan ini bersifat universal, artinya semua orang, siapa pun juga tanpa kecuali dipanggil untuk menjadi rasul-rasul dinamis bagi Yesus Kristus. Itulah sebabnya, tujuan ia memromosikan ”Pembaktian Diri” yang sempurna adalah mengubah para anggota Tubuh Mistik Kristus menjadi sebuah pasukan pria dan wanita apostolis yang betul-betul menghayati kemiskinan yang sangat eksistensial dari ”Pembaktian Diri” dan karena itu kaya dalam Roh. Ringkasnya, menurut Montfort mereka akan melakukan keajaiban-keajaiban besar di dunia untuk menghancurkan dosa dan mendirikan Kerajaan Kristus.

1.3. PEMBAKTIAN DIRI: MENELADANI ”KETERGANTUNGAN” ALLAH PADA MARIA

Praktik penghayatan ”Pembaktian Diri” yang diajarkan Montfort tampak sederhana. Menjalankan praktik tersebut terkesan begitu sederhana. Kesan ini mungkin saja muncul oleh karena Montfort berbicara tentangnya dari luapan hati yang begitu mendalam dan menyentuh kalbu setiap orang. Meskipun demikian bila dipraktekkan secara total dalam hidup sehari-hari, maka sebetulnya kesan sederhana tadi jauh dari yang dibayangkan. Ringkasnya, praktik ini tidak mudah dijalankan. Dikatakan demikian karena intinya ialah ”mengalami Kristus dalam kepenuhan-Nya melalui Maria dan karena kekuatan Roh Kudus”. Kalau Montfort mengajarkan umat Kristiani membaktikan diri kepada Kristus lewat tangan Maria sebagai “hamba karena kasih”, maka itu karena mereka hendak meneladani “perhambaan” dan “ketergantungan” yang dikehendaki Allah Tritunggal pada Maria pada saat Penjelmaan (Inkarnasi) Putera Allah. Jadi, oleh karena tujuan ini, maka dalam “Doa Pembaktian Diri”, Montfort memohon kepada Maria agar Pembaktian Dirinya diterima Maria samaseperti ketika ia (Maria) telah menerima ketergantungan Yesus. Ya Perawan yang manis, terimalah persembahan kecil perhambaanku ini untuk menghormati dan meniru ketaatan yang dipilih oleh Kebijaksanan Abadi terhadap engkau, Ibu-Nya.

Untuk dapat meneladani “perhambaan Allah Tritunggal pada Maria”, maka kaum Kristiani harus terlebih dahulu menerima Sakramen Inisiasi dasariah yang menjadikan mereka anak-anak Allah, yakni Sakramen Pembaptisan. Dikatakan demikian oleh karena “Pembaktian Diri” ini bertujuan untuk “melalui, dengan, dalam dan bagi (untuk) Maria”, menghayati dengan sungguh-sungguh apa artinya menjadi Kristiani. Montfort menegaskan bahwa pembaktian kepada Perawan teramat suci dan melalui tangannya kepada Yesus Kristus merupakan suatu “pembaharuan yang sempurna dari ikrar atau janji-janji baptis”. Dengan demikian, tindakan devosional ini merupakan kelanjutan dari tindakan sakramental yakni “pembaptisan”, agar maknanya dihayati dengan sungguh-sungguh: menjadi kudus! Caranya ialah janji-janji baptis itu kini dihayati dalam persatuannya dengan Maria, ibu yang telah diterima sejak pembaptisan itu.

1.4. PEMBAKTIAN DIRI: SENI MENTRANSFORMASI DIRI SECARA PERMANEN DALAM HIDUP SEHARI-HARI

Devosi kepada Bunda Maria sesungguhnya juga tidak sekali jadi atau berhenti berdasarkan situasi dan kondisi tertentu, misalnya kalau sudah tidak perlu lagi maka berhenti membaktikan atau menyerahkan diri kepada Maria. Sifat dari devosi ini sebetulnya berada dalam lingkaran yang tak pernah terputus. Artinya devosi ini terus-menerus dibaharui-dipraktekkan. Berkenaan dengan ini, melalui “Pembaktian Diri”, di mana umat Kristiani menyerahkan seluruh diri kepada Maria tidak selesai setelah diucapkan pertama kali. Sebaliknya, pengucapan pertama itu menjadi semacam tanda awal atau “trompet” untuk mulai saat itu dan selamanya tetap setia dengan mengulangi dan menghayatinya setiap hari.
Jadi, ringkasnya kita memang membaktikan seluruh diri untuk selamanya-lamanya, tetapi hal itu tidak berarti bahwa setelah itu kita boleh melupakannya. Sebaliknya bagi Montfort, kita harus mengulangi atau membaharuinya secara aktif dan setia. Rumusan “Doa Pembaktian Diri” yang dipakai pertama kali bisa diulangi setiap hari, sebagai pembaharuan harian “Pembaktian diri” .

Doa itu bisa menjadi doa harian pribadi atau keluarga, kemudian dapat diadakan pembaharuan tahunan. Praktik-praktik batiniah yang dianjurkan Montfort menjadi mekanisme hidup harian, komitmen hidup setiap hari dalam melakukan segala sesuatu hingga akhirnya menjadi sesuatu yang bersifat otomatis. Pada poin ini kita diingatkan bahwa tatkala membaharui diri, di situ kita mengatakan bahwa kita melakukan segala sesuatu “melalui, dengan, dalam dan untuk Maria” atau ‘”odedaun” (oleh, dengan, dalam, untuk) Maria. Praktik lahiriah yang dianjurkan seperti berdoa rosario, juga didoakan setiap hari.
Montfort, dari pengalaman hidupnya tahu dengan sangat baik bahwa “Pembaktian Diri kepada Kristus lewat tangan Maria” merupakan jalan yang mudah, pendek, sempurna dan aman untuk bersatu dengan Yesus Kristus . Meskipun demikian, itu tidak mudah dan sesederhana yang dipikirkan, karena untuk tetap setia di dalamnya perlu ‘komitmen’ yang tinggi.

Komitmen ini biasanya hidup karena ada ‘passion’ (roh, semangat hidup) dan rahmat dari Allah yang memampukan kita setia di dalamnya. Dari sebab itu, hari demi hari, kita akan tetap maju dan berkembang “dari keutamaan ke keutamaan, dari rahmat ke rahmat dan dari terang ke terang. Dengan demikian, ia mencapai perubahan rupa dirinya dalam Yesus Kristus, serta mencapai pula kedewasaan penuh sesuai dengan kepenuhan-Nya di dunia serta kemuliaan-Nya di surga.” Buah yang terakhir ini merupakan puncak perjalanan “Pembaktian Diri”, yaitu “keserupaan dengan Kristus” . Hari demi hari kita berkembang sebagai orang Kristen sejati, menjadi serupa dengan Kristus dengan menghirup Maria; dengan “tinggal dalam Maria melalui “Pembaktian Diri” kepada Kristus lewat tangan Maria ”.

PENUTUP

Ada beberapa poin yang bisa ditarik sebagai kesimpulan akhir dari pembahasan tentang Teologi dan Spiritualitas Pembaktian Diri a la Montfort.

Pertama, spiritualitas “Pembaktian Diri” sebagaimana yang diajarkan Montfort merupakan sesuatu yang khas. Orang kudus ini telah menawarkan kepada setiap orang Kristiani agar belajar berdevosi kepada Maria. Itu berarti ajaran atau spiritualitasnya menjadi sebuah ajakan yang baik dan berdaya guna dalam menghayati kekudusan dalam Gereja. Dengan demikian, siapapun dapat belajar untuk berguru kepada “sang pujangga kepengantaraan Maria”, St. Louis Marie Grignion de Montfort. Salah satu undangan yang dapat dihayati di sini ialah bagaimana umat Kristiani dapat menyesuaikan diri dengan hidup rohani sebagaimana yang diajarkan oleh Montfort.

Kedua, semangat devosi yang diajarkan oleh teolog klasik ini bersifat ”Marial”. Siapa pun yang hendak belajar membaktikan dirinya tersebut diharapkan membawa Maria dalam hatinya, artinya menjadikan Maria sebagai Ibu, Ratu yang membimbing dan menuntun seluruh gerak, dinamika hidupnya juga terutama di dalam menjalankan kerasulannya sebagai orang Katolik.

Ketiga, panggilan untuk menjadi ”kudus”. Setiap kaum Kristiani dipanggil untuk menjadi suci, kudus dalam segala hal. Konsili Vatikan II melalui dokumennya Lumen gentium bab V, n. 40 pun secara telak mengumandangkan hal ini. Sumber kesucian dan kekudusannya tidak lain hanyalah Allah sendiri Tuhan Yesus, Guru dan teladan ilahi segala kesempurnaan, mengajarkan kekudusan hidup kepada setiap murid-Nya di dalam setiap keadaan. Ia sendiri adalah Pencipta dan pelaksana kekudusan ini dalam hidup: kamu harus sempurna, seperti bapamu yang di sorga sempurna adanya (Mat 5:48) [LG 40] Montfort sendiri pun sangat mengedepankan dimensi ini. Ia menawarkan sebuah jalan untuk menghayati kekudusan itu melalui “devosi kepada Santa Perawan Maria”. Melalui devosi itu pula, seseorang diajaknya untuk juga mau membaktikan dirinya, menyerahkan seluruh dirinya, segala harta yang bersifat lahiriah maupun yang batiniah.

Dari sebab itu, “Pembaktian Diri” kepada Yesus melalui tangan Maria menjadi semacam pintu masuk untuk menghayati “kesucian” itu karena melalui tindakan itu pula, seseorang membaharui kembali janji-janji pembaptisannya untuk selamanya menolak segala kuasa setan atas dirinya. Apa yang diajarkan Montfort mengenai jalan kekudusan itu, ternyata juga ikut memengaruhi banyak orang, salah satunya ialah Frank Duff pendiri Legio Maria, yang tumbuh berkembang di mana-mana, bahkan sampai di Indonesia. Duff sendiri rupanya sadar dengan sungguh-sungguh akan panggilan kepada kekudusan ini bagi para legionernya.

Keempat, “Maria” adalah wanita pilihan Allah (bdk. Luk 1:26-38), menjadi ’opsi’ kita semua sebagai orang Katolik. Berkenaan dengan ini, Montfort telah mengajak semua umat Kristiani untuk memilih Maria, berdevosi kepadanya untuk semakin dekat dan menyerupai Yesus Kristus. Maria dipilih tidak hanya sekedar sebagai Ibu yang harus dihormati dan dicintai lewat praktik penyerahan diri (Pembaktian Diri), tetapi lebih dari itu, ia memainkan peran yang tetap dalam misteri Gereja. Dari sebab itu, pertanyaannya ialah mengapa kita harus memilih Bunda Maria? Pertanyaan ini sesungguhnya membawa kita langsung menyentuh inti dari misteri Inkarnasi, Allah yang menjadi daging (manusia). Sebab selain sebagai “misteri-asali”, penjelmaan juga dilihat Montfort sebagai “misteri pola” yang pantas direnungkan dan dihayati dalam hidup sehari-hari.

Bagi Montfort, cara atau pola yang dipakai Allah untuk datang pertama kali ke dunia ini akan terus dipakai-Nya pada masa Gereja sekarang, seperti juga untuk kedatangan-Nya yang kedua nanti . Maksudnya ialah bahwa Allah selalu memerlukan Maria baik pada kedatangan-Nya yang pertama (saat Inkarnasi) maupun pada kedatangan-Nya saat ini dalam Gereja setiap hari seperti pada akhir zaman.
Apa yang bisa dihayati dan diharapkan dari kita yang mengikuti dan mencintai Maria? Karya kerasulan para legioner dan Kerabat Santo Montfort (KSM) menjadi bagus karena memiliki kualitas hidup rohani yang tinggi. Hal itu terjadi oleh karena Maria dijadikan sebagai ‘barometer’, nafas kehidupan mereka. Montfort telah mengajari Duff bagaimana harus melihat Maria dan menjadikannya sebagai seorang Ibu Rohani, Pembimbing Rohani (Ratu) para legioner. Bagi Duff, Maria adalah seorang “tokoh besar”, bahkan “sumber inspirasi” dari Kerasulan Legio Maria. Ini berarti Legio Maria harus memiliki semangat Bunda Maria dan dengan demikian segala karyanya harus didasarkan atas semangat tersebut. Menjadi legioner bukan dalam arti secara administratif bagus, mampu menjalankan tugas-tugasnya secara baik, tetapi lebih dari itu menjadi seorang “Laskar Maria” secara rohaniah. Dari sebab itu, umat Kristiani berjuang bersama Bunda Maria dengan membawanya, menghadirkannya dalam hati mereka. Mereka juga bisa menjalankan karya kerasulan karena dorongan Roh Kudus. Dengan demikian, menurut hemat penulis, salah satu kekhasan kerasulan yang bisa dihidupi umat Kristiani seperti yang dihidupi selalu oleh para legioner ialah: “bersatu dengan Maria.” Dari sebab itu, benarlah bila Duff mengatakan bahwa Legio adalah instrumen dan perwujudan karya Maria (BP 29 edisi 1999).

Paus Paulus VI dalam homilinya di pelataran Bunda Maria, Bonaria di Kota Cagliari-Italia (24 April 1970) berkata: … Se vogliamo essere Cristiani, dobbiamo essere mariani, cioè dobbiamo riconoscere il rapporto essenziale, vitale, provvidenziale che unisce la Madonna a Gesù, e che apre a noi la via che a Lui conduce . Paus mengatakan bahwa jikalau kita ingin menjadi Kristiani, maka kita harus menjadi marial, yaitu bahwa kita mesti mengenal hubungan esensial, vital dan terpelihara yang menyatukan Bunda Maria dengan Yesus dan itu membuka bagi kita jalan yang menuntun kita menuju kepadanya. Jika demikian, maka ajakan Montfort untuk membaktikan diri kepada Yesus lewat tangan Maria adalah sekaligus ajakan bagi kita juga untuk menjadi semakin berjiwa Maria yang akan membuka jalan menuju persatuan dengan KristuS. Oleh karena itu kekristenan itu tidak hanya ditentukan oleh keberhasilan dalam karya atau kerasulan (doing), tetapi bagaimana mengaktualisasikan seluruh diri dalam segala dimensi hidup yang dituntut sebagai kaum Kristiani yang baik dan berkualitas (being). Mengapa demikian, karena menjadi Kristiani itu bukan soal aturan, melainkan soal hidup (aktualisasi hidup) itu sendiri.

BIBLIOGRAFI

Magisterium Gereja (The ordinary universal magisterium of the Roman Pontiff):
PAOLO VI, Ezortazione apostolica per il retto ordinamento e sviluppo del culto della Beata Vergine Maria, Marialis cultus n.58 (2 febbraio 1974), in Enchiridion Vaticanum [=EV], EDB, Bologna 1979, vol. 5, 13-97.
GIOVANNI PAOLO II, Lettera enciclica sulla Beata Vergine Maria nella Chiesa in cammino, Redemptoris Mater n. 48 (25 marzo 1987), in Enchiridion delle Encicliche [= EE], EDB, Bologna 1998, vol. 8, 615-774.
Tulisan-tulisan St. Montfort:
DE MONTFORT, LOUIS MARIE, Rahasia Maria (Le Secret de Marie), terj. SMM Bandung, Bandung 1994.
_______, Cinta dari Kebijaksanaan Abadi (L’Amour de la Sagesse Éternelle), terj. SMM Bandung, Bandung 2004.
_______, Bakti Sejati kepada Maria (Traité de la vrai dévotion à la Sainte Vierge), terj. ISHAK DOERA, SMM Bandung, Bandung 2009.
Tulisan-tulisan yang berkaitan dengan spiritualitas St. Montfort:
CORTINOVIS, BATTISTA, Montfort Pilgrim in the Church, terj. BROSS JULIEN RABILLER at al., St. Gabriel Press, Rome 1997.
BEITING, P. RALPH W., Tanya Jawab tentang Bakti Sejati kepada Maria, terj. LUDOVIKUS NDONA, Serikat Maria Montfortan, Delegasi Indonesia, Bandung 2003.
GAFFNEY, P., An Overview of the Spirituality of Saint Louis de Montfort, dalam God Alone. The Collected Writings of St. Louis Mary de Montfort, Montfort Publications, Bay Shore, NY 11706, 1987.
_______, “Consecration” dalam Stefano de Fiores (ed.) Jesus Living in Mary: Handbook of the Spirituality of St. Louis-Marie de Montfort, Montfort Publications, Bay Shore, NY 1994.
GENTLE, REV. JUDITH MARIE, Jesus Redeeming in Mary, The role of the Blessed Virgin Mary in Redemption According to St. Louis Marie Grignion de Montfort, Montfort Publications, Bay Shore, NY 2003.
HECHTERMANS, H., Seluruhnya atau Tidak Sama Sekali, terj. Serikat Maria Montfortan, Pusat Spiritualitas Maria, Bandung 2005.
MUTO, S. A., in the Preface to W. A. THOMPSON, Bérulle and the French School, Paulist Press, New York 1989.
PAYNE, RICHARD J., “Incarnation”, dalam Stefano de Fiores (ed.) Jesus Living in Mary: Handbook of the Spirituality of St. Louis-Marie de Montfort, Montfort Publications, Bay Shore, NY 1994.
THOMPSON, W. A., Bérulle and the French School, Paulist Press, New York 1989.
WIDAYAKA, J., Mengenal Legio Maria, Senatus Malang, Malang t.t.
WOTAN, FIDELIS B., Kenosis: Jalan Transformasi Diri, Kajian Teologi Spiritual Menurut St. Montfort dan Aktualitasnya bagi Umat Kristiani Dewasa Ini (Tesis), STFT Widya Sasana, Malang 2011.
______, Pertautan antara Spiritualitas Santo Montfort dengan Legio Maria (Seminar Marial), Novisiat SMM, Ruteng 2015.

Tulisan-tulisan teologi lainnya:
AQUINAS, THOMAS, S.Th III, Q.8.a.1.
TOSTAIN, A., “Devotion(s)”, dalam A. BOSSARD (sous la direction), Petit Vocabulaire Marial. Collection “Voici ta Mere”, Desclee De Brouwer, Paris 1979.
Situs Internet:
Www.cultura.va/content/dam/cultura/docs/pdf/accademie/marialiscultus.pdf. (Diakses pada tanggal 27 Agustus 2018, pkl. 11.59 di Seminari Montfort “Ponsa”, Malang).
Https:w2.vatican.va/content/paul-vi/it/homilies/1970/documents/hf_p-vi_hom_19700424.html. (Diakses pada tanggal 27 Agustus 2018, pkl. 12.12 di Seminari Montfort, “Ponsa”, Malang).

Bagikan: