Sumbangan Spiritualitas St. Montfort bagi Spiritualitas Kaum Awam

Salah satu point misi yang tertuang dalam pelaksanaan “Tahun Misi Asia-Oceania 2022” adalah “mengintensifkan kerjasama dengan kaum awam”. Berbicara mengenai “mengintensifkan kerjasama dengan kaum awam”, kita terkadang terjerumus ke dalam jalinan relasi kerja sama yang bersifat semata-mata fungsional atau bersifat utilitarian. Relasi fungsional adalah relasi yang terjadi karena ikatan fungsi, misalnya, antara pastor paroki dengan dewan paroki atau funsionaris paroki, sedangkan relasi utilitarian adalah relasi yang didasari pada kepentingan kegunaannya, misalnya, pencarian dana; pembangunan atau pengadaan proyek dst. Pertanyaannya adalah jalinan relasi yang bagaimana yang perlu diintensifkan? Berkaitan dengan jalinan relasi antara anggota-anggota Gereja (kaum awam, kaum religious dan kaum klerus), Konsili Vatikan II menegaskan pentingnya jalinan relasi yang bersifat komplementaris – saling melengkapi, dan bukan hanya jalinan relasi yang bersifat fungsional atau utilitarian. Seorang teolog mengatakan bahwa jalinan relasi antara anggota Gereja hendaknya bukan semata-mata saling melengkapi yang bersifat funsional atau utilitarian, tetapi hendaknya saling melengkapi (komplementaritas) yang bersifat eksitensial dan teologis.[1] Saling melengkapi yang bersifat eksistensial dan teologis ini terungkap dalam saling mensharingkan misi; mensharingkan spiritualitas; mensharingkan kharisma. Relasi saling melengkapi yang bersifat eksistensial dan teologis menyentuh identitas dan hakikat kedirian serta panggilan kita baik sebagai imam, religious atau awam.  Relasi komplementaritas yang bersifat eksistensial dan teologis hanya mungkin terjadi jika anggota-anggota dari setiap bentuk hidup di dalam Gereja (awam, religious dan imam) menyadari bahwa walaupun mereka memiliki kharisma yang berbeda, tetapi mereka memiliki derajat dan martabat yang sama sebagai anggota tubuh mistik Kristus (Gereja). Konstitusi Dogmatis tentang Gereja: Lumen Gentium menegaskan mengenai derajat dan martabat yang sama dari setiap anggota Gereja, mengatakan:

... Samalah martabat para anggota karena kelahiran mereka kembali dalam Kristus; sama rahmat para putra; sama pula panggilan kepada kesempurnaan; satu keselamatan; satu harapan, dan tak terbagilah cinta kasih. Jadi dalam Kristus dan dalam Gereja tidak ada perbedaan … Meskipun ada yang atas kehendak Kristus diangkat menjadi guru, pembagi misteri-misteri dan Gembala bagi sesama, semua toh sungguh-sungguh sederajat martabatnya, sederajat pula kegiatan yang umum bagi semua orang beriman dalam membangun Tubuh Kristus.[2]

Dalam semangat Konsili Vatikan II inilah, saya menempatkan refleksi saya tentang: Sumbangan Spiritualitas St. Montfort bagi Spiritualitas Kaum Awam Kristiani. Refleksi ini sebagai sebuah tanggapan akan undangan untuk mengintesifkan kerja sama yang otentik dengan kaum awam, dan bukan sekedar kerjasama funsional atau utilitarian.

1. Mengenal St. Montfort dalam jalinan relasinya dengan kaum Awam

Santo Montfort hidup dalam situasi dimana semangat Konsili Trente – Konsili Kontra Reformasi begitu mewarnai kehidupan menggereja. Sebagai reaksi atas ajaran-ajaran para reformis,[3] konsili trente menegaskan kembali doktrin tradisional mengenai dua status di dalam Gereja, yakni kaum awam dan klerus. Konsili Trente menegaskan bahwa klerus adalah imam yang sesungguhnya dan mengesampingkan imamat umum kaum awam yang diterima dalam pembaptisan. Hanya imam yang memiliki hak dalam ruang – medan yang suci. Doktrin tradisional ini tak lain melanggengkan apa yang disebut dengan “the two ends theory” (teori dua ujung) yang dipromosikan oleh Paus Gregorius VII dalam “gregorian reform”- nya. Menurut teori ini, Kristianitas (masyarakat kristiani) memiliki dua ujung (kutub), yakni yang rohani dan yang material.[4]  Dalam hal ini, kaum tertahbis (uskup – imam) bertanggung-jawab pada urusan spiritual, sedangkan awam pada hal yang material – temporal. Dalam prakteknya, yang spiritual lebih diprioritaskan dibanding yang material dan dianggap lebih tinggi dari yang material. Konsekuensinya, tak heran jika kaum tertahbis dilihat dan ditempatkan lebih tinggi dari pada kaum awam. Selain itu, wilayah dan pelayan spiritual dibatasi pada arena atau tempat yang kudus – disucikan (Meja altar – panti imam), dilepaskan dari dunia sekular. Dalam konteks ini, relasi yang terjadi bukan lagi relasi yang sederajat dan juga kaum awam tidak memiliki peran dalam ranah spiritual dan pelayanan Gereja. Atmosfer ini masih sangat kuat dirasakan dan ditemukan dalam zaman Montfort.

Akan tetapi, yang menarik adalah bahwa dalam abad XVII perancis muncul tokoh-tokoh penting yang menjalin relasi begitu dekat dengan kaum Awam dan membantu kaum awam untuk mendalami hidup spiritual mereka di tengah-tengah dunia. Tokoh yang sangat penting yang mempengaruhi tokoh-tokoh berikutnya, termasuk Santo Montfort adalah St. Fransiskus de Sales. Ia menulis sebuah risalah yang berjudul “Introduction à la vie dévote” (Introduksi ke dalam hidup bakti), yang diangap sebagai risalah pertama mengenai spiritualitas kaum awam. Dalam bagian pembuka dari risalahnya ini, St. Fransiskus dari Sales mengespresikan pandangannya demikian:

Hampir semua orang yang telah menulis tentang hidup kesalehan menginstruksikan untuk menarik diri dari dunia; atau setidaknya mengajarkan cara pembaktian yang terarah pada pensiun secara total dari urusan-urusan duniawi. Akan tetapi, tujuan saya adalah mengajar mereka yang tinggal di kota, di istana, di rumah tangga mereka sendiri, dan yang panggilannya mengharuskan mereka untuk hidup di tengah masyarakat….[5]

Dalam buku yang sama, dalam bab III, St. Fransiskus de Sales menegaskan:

Adalah suatu kesalahan, bahkan sangat bidaah, untuk berusaha membuang hidup kesalehan dari ruang penjaga tentara, bengkel mekanik, istana pangeran, atau perapian rumah tangga. Tentu saja hidup kontemplatif murni,  yang secara khusus dipraktekkan oleh kaum religius dan monastik, tidak dapat dipraktikkan dalam panggilan hidup sekular ini, tetapi ada berbagai jenis devosi (pembaktian – kesalehan) lain yang cocok untuk memimpin mereka, yang panggilannya bersifat sekuler, pada jalan kepada kesempurnaan.[6]

Santo Fransiskus de Sales yakin bahwa spiritualitas yang solid itu mungkin bagi kaum awam yang hidup di tengah dunia sekular. Ia sungguh mengakui dimensi sekular dari panggilan kaum awam, dengan tetap harus didasari pada cinta kasih. Santo Fransiskus de Sales membuka jalan bagi sebuah kesadaran baru akan panggilan universal kepada kekudusan dan akan konformitas (keselarasan) dengan kehendak Allah dalam ruang hidup sehari-hari.

Pengaruh santo Fransiskus dari Sales ini kita temukan dalam cara santo Montfort memandang dan berelasi dengan kaum awam. Dalam surat kepada Sahabat-Sahabat Salib, santo Montfort menuliskan:

Sahabat-sahabat Salib, kalian bagaikan pejuang Salib, dipersatukan untuk melawan dunia; bukan seperi kaum religius yang menarik diri dari dunia, tetapi seperti pejuang-pejuang yang gagah berani masuk ke dalam medan peperangan, yang menolak untuk mundur bahkan satu inci sekalipun….[7]

Dari surat kepada Sahabat-sahabat Salib ini, kita menemukan bagaimana St. Montfort mengakui panggilan khas kaum awam dalam dunia. Dalam Rahasia Maria, sejalan dengan St. Fransiskus de Sales, St. Montfort mengakui panggilan universal kepada kekudusan diperuntukan untuk semua yang telah dibaptis, yang ia sebut sebagai kaum pilihan. Secara eksplisit, St. Montfort mengatakan:

Kamu, gambaran hidup dari Allah … Allah menghendaki kamu menjadi kudus seperti Dia dalam hidup sekarang ini, dan mulia seperti Dia sesudah hidup ini. Memperoleh kekudusan adalah panggilanmu yang pasti: kesana kamu harus mengarahkan segala pikiran, perkataan dan perbuatan, penderitaan dan gerak hidup; jikalau tidak, kamu melawan Allah, karena kamu menolak maksud dan tujuan Allah menciptakan kamu dan memelihara hidupmu sampai hari ini.[8]

Dari pandangannya ini, kita dapat mengatakan bahwa St. Montfort sangat menghargai martabat kaum awam sebagai orang-orang pilihan. Ia tidak terjebak dalam atmosfer masa yang melakukan dikotomi ketat antara kaum klerus dan awam. Kepeduliannya terhadap martabat dan panggilan kaum awam di tengah dunia mendorong Montfort untuk menulis karya-karya rohani demi membantu kaum awam memperdalam hidup rohaninya. Dalam praktek pembaktian diri yang bermuara pada pembaharuan janji baptis, St. Montfort sungguh mengantar kaum awam untuk mengalami dan menjalani jalan kekudusan dalam ruang lingkup hidup harian mereka.

Jika melihat bagaimana St. Montfort berelasi dengan kaum awam dalam karya misinya, kita akan menemukan bahwa bagi Montfort kaum awam adalah teman seperjalanan dalam karya misinya. Ia selalu hadir bersama dan melibatkan kaum awam. Walaupun ia klerus, ia tidak menempatkan dirinya lebih tinggi dari kaum awam. Surat kepada umat di Montbernage memberikan gambaran bagaimana Montfort berelasi dengan kaum awam. Ia menulis:

Saya dengan penuh kebebasan menulis kepada kalian saat keberangkatan saya, seperti seorang ayah yang miskin bagi anak-anaknya, bukan untuk mengajarkan kalian hal-hal baru, tetapi untuk mengkonfirmasi apa yang saya katakan kepada kalian dalam kebenaran. Persahabatan (persaudaraan) Kristiani dan persahabatan yang bersifat kebapaan yang saya miliki untuk kalian begitu kuat sehingga saya akan selalu membawa kalian dalam hati saya, dalam hidup, dalam kematian dan dalam kekekalan.[9]

Santo Montfort melihat orang-orang yang dilayani sebagai sahabat dalam iman dan kasih. Bahkan, setelah selesai melakukan karya misi, ia masih tetap mensharingkan kasih dan perhatiannya. Tak heran jika St. Montfort dikenal sebaga “bon père” – “bapak yang baik”. Hal ini mengungkapkan bahwa jalinan relasi Montfort dengan orang-orang yang dilayani bukan lah semata-mata jalinan relasi yang bersifat fungsional dan utilitarian.

Hal lain yang menarik dari St. Montfort adalah bahwa ia menghadirkan diri sebagai teman seperjalanan yang terlibat. Ia tidak menghadirkan diri sebagai imam yang hanya tahu memerintah, hanya duduk di belakang meja, tetapi sungguh terlibat, bahkan melakukan kerja fisik. Josep Grandet, penulis biografi St. Montfort yang hidup pada 1646 – 1724, memberi kesaksian mengenai bagaimana St. Montfort bahu-membahu membangun Kalvari Ponchateau:

Semangat mereka (kaum awam) meningkat dan membuat mereka bekerja dengan sungguh-sungguh ketika mereka melihat di depan mereka Montfort menggali tanah, mengangkat dan memindahkan batu-batu besar. Mereka semua bekerja sambil menyanyikan dan berbicara mengenai hal-hal rohani.[10]

Bagi St. Montfort, menjadi imam bukanlah sebuah status, tetapi sebuah pelayanan untuk menyelamatkan jiwa-jiwa dan untuk membaharui semangat hidup beriman umat. Ia sungguh hadir, mengajar dan memberi teladan dalam kesalehan hidup, bekerja dan berjalan bersama umat. Oleh karena itu, misi ala Montfort hendaknya dijiwai oleh semangat menyelamatkan jiwa-jiwa dan membaharui semangat hidup beriman umat melalui semangat kehadiran, keteladanan, berjalan dan bekerja sama dengan umat. Seluruh karya misi St. Montfort ditandai oleh hal ini. Tanpa dijiwai oleh elemen-elemen yang telah disebutkan, misi ala Montfort akan kehilangan jiwanya dan membuat kita terjebak dalam jalinan relasi yang hanya bersifat funsionaris atau utilitarian. Menutup bagian ini, saya hendak mengutip apa yang ditulis oleh Santo Vincentius a Paulo: “gereja tidak memiliki musuh yang lebih buruk dari pada para imamnya sendiri”[11] Imam yang dimaksud disini adalah imam yang hanya menikmati status, jabatan, previlese, tanpa kehadiran dan keteladanan, tanpa kerendahan hati untuk berjalan  dan  bekerja sama dengan umat.

2. Pentingnya Penyadaran akan Identitas, panggilan dan kekhasan Perutusan Kaum Awam dalam Kehidupan Menggereja dan Dunia

Berbicara tentang spiritualitas kaum awam, kita tak pernah bisa melepaskan dari identitas dan kekhasan misi kaum awam dalam Gereja dan dunia. Konsili Vatikan II dan Gereja Pasca Konsili membawa angin segar bagi eksistensi: identitas dan kekhasan misi kaum awam dalam kehidupan menggereja. Hal ini membawa dampak positif bagi keterlibatan kaum awam dalam menghadirkan Kristus di tengah ruang kehidupan mereka. Kaum awam tidak lagi dilihat sebagai penonton pasif, tetapi sebagai pemeran aktif yang membawa vitalitas dalam kehidupan beriman dan menggereja. Konsili Vatikan II menekankan 3 point penting berkaitan dengan eksistensi kaum awam yang membuka jalan bagi perkembangan spiritualitas kaum awam, yakni 1) pengakuan Gereja yang menyatakan bahwa kaum awam adalah bagian dari Umat Allah, tubuh mistik Kristus – Umat yang dipilih Allah (lih. Lumen Gentium [LG] 30, 31, 32); 2) pengakuan Gereja akan panggilan dan perutusan khas kaum awam dalam Gereja dan dunia (LG 31, 34 – 36; Gaudium et Spes [GS] 40, 43; Apostolicam Actuositatem [AA] 2, 4, 16); dan 3) penegasan akan panggilan universal kepada kekudusan.

Pengakuan Gereja akan eksistensi kaum awam sebagai bagian dari anggota Tubuh Mistik Kristus dan Umat yang dipilih Allah menegaskan bahwa kaum awam memiliki martabat yang sama dengan angota-anggota Gereja yang lain (klerus dan religius) serta memiliki peran penting dalam Gereja bersama dengan anggota-anggota yang lain. Konsili menyatakan:

Kaum beriman Kristiani, yang berkat Baptis telah menjadi anggota Tubuh Kristus terhimpun menjadi Umat Allah, dengan cara mereka sendiri ikut serta mengemban tugas imamat, kenabian dan rajawi Kristus, dan dengan demikian sesuai dengan kemampuan mereka melaksanakan perutusan segenap Umat Kristiani dalam Gereja dan dunia.[12]

Dalam no. 33 yang sudah kita lihat pada bagian pengantar, Lumen Gentium secara tegas menyatakan pandangan resmi Gereja berkaitan dengan martabat dan status kaum awam dalam kehidupan menggereja. Sangatlah jelas bahwa Konsili mengakui pilihan hidup menjadi kaum awam bukanlah pilihan yang lebih rendah atau bukan juga sebuah “concession to human weakness”. Pilihan untuk menjadi kaum awam (menikah atau tidak menikah) adalah sebuah panggilan dari Allah yang memiliki derajat dan martabat yang sama dengan pilihan hidup lain di dalam Gereja, seperti menjadi imam dan atau religius.[13] Yang membedakan mereka hanyalah modalitas – cara berada – untuk  melayani dan berkarya demi Kristus dan KerajaanNya.

Berbicara mengenai panggilan dan misi kaum awam, Konsili Vatikan II menegaskan bahwa kaum awam dipanggil untuk memainkan peran penting dalam Gereja dan dunia. Menurut Konsili, walaupun tidak eksklusif untuk kaum awam, dimensi khas panggilan dan perutusan kaum awam bersifat sekular. Konsili dengan jelas mengatakan:

Ciri khas dan istimewa kaum awam yakni sifat keduniaannya (sekularnya) … Berdasarkan panggilan mereka yang khas, kaum awam wajib mencari Kerajaan Allah dengan mengurusi hal-hal yang fana dan mengaturnya seturut kehendak Allah … Mereka dipanggil oleh Allah untuk menunaikan tugas mereka sendiri dengan dijiwai semangat Injil, dan dengan demikian ibarat ragi membawa sumbangan mereka demi pengudusan dunia dari dalam. Begitulah mereka memancarkan iman, harapan dan cinta kasih, terutama dengan kesaksian hidup mereka, serta menampakkan Kristus kepada sesama.[14]

Dengan menekankan sifat sekular yang menjadi kekhasan kaum awam, Konsili mengakui bahwa panggilan kristiani tidak menuntut seorang pribadi untuk melarikan diri dari dunia: fuga mundi, tetapi menuntut kaum awam untuk terlibat dalam dunia dan menjadikan dunia tempat dan sarana mereka untuk memaknai panggilan Allah kepada mereka. Paus Yohanes Paulus II dalam Christifideles Laici menegaskan kembali apa yang diajarkan Konsili dengan mengatakan:

mereka (kaum awam) tidak dipanggil untuk meninggalkan posisi yang mereka miliki di dunia. Pembaptisan tidak mengambil mereka sama sekali dari dunia … (1 Korintus 7:24). Sebaliknya, ia (Yesus) mempercayakan sebuah panggilan kepada mereka yang fokus perhatiannya ada di dunia”[15]

Berkaitan dengan hal ini, Konsili menegasi dikotomi antara hidup spiritual dan hidup sekular dari kaum awam. Dengan kata lain, hidup spiritual kaum awam dapat dihidupi, dimaknai dan ditumbuh-kembangkan dalam konteks hidup sekular mereka. Mereka dipanggil bukan saja membawa Yesus ke dunia, tetapi juga menemukan Yesus di dalam dunia sekular tempat mereka hidup dan berkarya. Konsili dengan tegas menyatakan:

… Menyimpanglah dari kebenaran mereka … yang mengira dapat melalaikan tugas-kewajiban mereka di dunia, tanpa mengindahkan bahwa justru karena iman sendiri mereka lebih terikat kewajiban untuk menjalankan tugas-tugas itu menurut panggilan mereka masing-masing. Akan tetapi, tidak kalah sesatlah mereka, yang sebaliknya beranggapan, bahwa mereka dapat sejauh itu membenamkan diri ke dalam urusan-urusan duniawi, seolah-olah semua itu terceraikan sama sekali dari hidup keagamaan, berdasarkan anggapan bahwa agama itu melulu berarti melakukan kegiatan peribadatan serta sejumlah kewajiban moral semata-mata. Perceraian antara iman yang diikrarkan dan hidup sehari-hari banyak orang harus dipandang sebagai sesuatu yang gawat pada zaman sekarang ini.[16]

Mereduksi atau membatasi penghayatan iman hanya dalam peribadatan – ruang gereja dan menceraikannya dari pengalaman dan pergulatan hidup harian yang berciri sekular adalah sesuatu yang tidak dibenarkan, bahkan dianggap sebagai penyimpangan.

Aspek penting lainnya bagi identitas, panggilan dan perutusan kaum awam yang ditekankan oleh Konsili adalah panggilan universal kepada kekudusan. Konsili menegaskan bahwa panggilan kepada kekudusan diberikan kepada setiap anggota Gereja. Penegasan ini mengakhiri pandangan sempit yang melihat panggilan kepada kekudusan sebagai panggilan yang hanya dikhususkan bagi sekelompok anggota Gereja, seperti para imam dan religius. Itu berarti bahwa identitas, panggilan dan perutusan kaum awam pun terarah pada kekudusan – pada kesempurnaan kasih. Konsili menjelaskan bahwa panggilan kepada kekudusan Kristiani adalah rahmat cuma-cuma yang diberikan Allah kepada umatNya melalui Yesus Kristus. Gereja menjadi kudus karena ia bersatu dengan Kristus. Kristus mempersatukan Gereja dalam diriNya sebagai tubuh mistikNya dan menganugerahkan kepadanya rahmat Roh Kudus untuk menguduskan gereja demi kemuliaan Allah Bapa. Karena kekudusan Kristiani mengalir dari Kristus, hanya terdapat satu jalan kekudusan bagi semua umat beriman Kristini, yakni bersatu dengan Kristus di dalam kasih. Kristus merupakan puncak semua kekudusan Kristiani. Adalah jelas bahwa identitas, panggilan, perutusan kaum awam tidak pernah bisa dilepaskan dari Kristus, sumber kekudusan dan kerasulan Gereja. Panggilan dan perutusan kaum awam hendaknya mengalir dari persatuan mereka dengan Kristus. Berkaitan dengan hal ini, Konsili menegaskan bahwa panggilan dan perutusan kaum awam tidak lain dari pada mensharingkan tugas imamat, kenabian dan rajawi Kristus [17] serta “dipanggil juga untuk dalam segalanya menjadi saksi Kristus di tengah masyarakat manusia”[18] melalui tugas dan tanggung jawab mereka.

Berkaitan dengan tugas imamat kaum awam, Konsili memperluas pengertian ibadat dan kurban untuk merangkul berbagai aktivitas kaum awam yang mencapai puncaknya dalam Ekaristi. Mengemban tugas imamat Kristus, kaum awam dipangil untuk menjadikan seluruh karya, hidup, keluarga sebagai kurban persembahan rohani yang hidup, yang berkenan kepada Allah melalui Kristus.[19]

Sebagai pengemban tugas kenabian Kristus, kaum awam dipanggil untuk membuat kekuatan Injil bersinar dalam hidup sehari-hari, dalam keluarga maupun masyarakat serta mengekspresikan iman dan harapan mereka dengan sabar dan keberanian melalui kehidupan secular mereka. Konsili menegaskan: “Hendaklah harapan itu janganlah mereka sembunyikan di lubuk hati. Hendaklah mereka ungkapkan dengan pertobatan tiada hentinya dan dengan perjuangan melawan para penguasa kegelapan … juga melalui struktur-struktur hidup duniawi.”[20] Sebagai nabi, kaum awam dipanggil untuk mengemban dua tugas sekaligus, yakni memberi kritik kepada orang, kelompok atau isntitusi yang menindas dan memberi kesegaran – penghiburan – kelegaan kepada mereka yang tertindas, ditinggalkan dan tak diperhatikan.

Berpartisipasi dalam tugas rajawi Kristus, kaum awam dipanggil untuk menyebarluaskan Kerajaan Allah dalam dunia. Hal ini mengimplikasikan adanya pergulatan rohani – mengosongkan diri untuk mengalahkan kerajaan dosa dalam diri dan dunia.[21] Pertobatan dan asketisme (mortifikasi) menjadi penting.

Panggilan dan perutusan kaum awam yang mengalir dari Kristus hendaknya ditempatkan dalam konteks misteri persekutuan (komunio) Gereja. Paus Yohanes Paulus II menegaskan: “Hanya dari dalam misteri persekutuan Gereja, identitas kaum awam dikenal dan martabat dasariah mereka diungkapkan.”[22] Panggilan kaum awam pada dasarnya adalah panggilan kepada persekutuan – komunio. Hal ini mengacu kepada partisipasi pemberian diri ganda, yakni persekutuan – komunio dengan Allah dalam Kristus dan persekutuan dengan para anggota umat Allah – Gereja. Karena panggilan kaum awam bersifat komunio – terarah pada persekutuan, konsekuensinya adalah pendampingan rohani kaum awam hendaknya diletakkan juga dalam konteks misteri persekutuan Gereja. Berkaitan dengan hal ini, Paus Yohanes Paulus II mengatakan: “Kaum awam dibentuk oleh Gereja dan dalam Gereja di dalam sebuah persekutuan timbal balik dan kerjasama dengan semua anggota Gereja: Imam, religious dan awam.”[23] Aspek komunio ini menjadi penting karena jika Spiritualitas kaum awam dilepaskan dari aspek komunio ini, tanpa bimbingan Gereja, ia akan menjadi tidak otentik. Berkaitan dengan hal ini, Segundo Galilea, seorang teolog, mengatakan: “A spirituality that does not share in the life of the Church, its sacraments and movements, its preaching and formations of faith … ends by being extinguished or by becoming sectarian and subjective.”[24]

Adalah jelas bahwa panggilan kaum awam kepada kekudusan bukan lah panggilan untuk melarikan diri dari dunia konkret atau dari pengalaman keseharian; bukan juga panggilan yang bersifat individualis, hanya terarah pada diri sendiri – self centered; bukan juga semata-mata hanya sebagai pemuas kebutuhan rohani pribadi. Panggilan ini bersifat apostolik dan komunal. Dengan kata lain, panggilan kaum awam kepada kekudusan selalu terarah pada perutusan – misi; mengarah pada keterlibatan dalam kehidupan menggereja dan dunia.

3. Sumbangan Spiritualitas St. Montfort bagi Spiritualitas Kaum Awam

Setelah melihat identitas, panggilan, perutusan kaum awam serta aspek-aspek lain yang mengikutinya dan memberi isi bagi spiritualitas kaum awam kristiani, marilah kita melihat apa yang menjadi Sumbangan penting spiritualitas St. Montfort bagi spiritualitas kaum awam: bagi panggilan, perutusan dan perjalanan rohani kaum awam. Pada bagian ini, saya hendak menyajikan 4 aspek yang menjadi Sumbangan spiritualitas St. Montfort bagi spiritualitas kaum awam Kristiani.

a. Spiritualitas St. Montfort: Jalan Kekudusan di Dunia, yang Berakar dalam Misteri Inkarnasi dan Terarah pada Akhir Zaman

Spiritualitas St. Montfort menawarkan kepada kaum awam sebuah jalan kekudusan di dunia yang berakar pada misteri inkarnasi dan terarah pada kedatangan Kristus yang kedua. Spiritualitas St. Montfort memberikan dasar teologis yang solid dan memperdalam – mengintensifkan dimensi khas spiritualitas kaum awam yang bersifat secular dan inkarnasional.

Misteri inkarnasi, bagi Montfort, merupakan misteri yang tepat bagi penghayatan hidup kristiani. Santo Montfort mengingatkan kaum awam bahwa panggilan kaum awam, yang adalah bertumbuh dalam kekudusan Allah di dunia sekular, tidak lain dari pada masuk secara total dalam misteri inkarnasi, yang merupakan sumber dari seluruh misteri Yesus. Berkaitan dengan ini, St. Montfort mengatakan:

Inkarnasi merupakan misteri pertama Yesus Kristus … Di dalam misteri ini, Yesus mengantisipasi semua misteri lain dari kehidupanNya yang akan menyusul … dan akibatnya: misteri ini merupakan rangkuman dari semua misteri, misteri yang berisikan maksud dan rahmat dari semua misteri lain.[25]

Itu berarti bahwa panggilan kaum awam adalah berpartisipasi secara total di dalam hidup dan misi Yesus melalui pekerjaan dan tugas duniawi mereka. Dalam pandangan Montfort, ini merupakan panggilan untuk masuk ke dalam perjalanan pengenalan dan cinta akan Yesus Kristus secara terus menerus dalam situasi hidup konkret.

Montfort meyakini bahwa misteri inkarnasi, misteri Sabda menjelma menjadi manusia di tengah dunia menjadi model bagi peziarahan rohani dan perutusan kaum awam di tengah dunia. Montfort mengatakan:

Pola bertindak yang diikuti ketiga pribadi Tritunggal Mahakudus saat penjelmaan, yaitu datangnya Yesus Kristus yang pertama kalinya, tetap dipegang mereka setiap hari di dalam Gereja secara tak kelihatan, sampai akhir zaman, yaitu saat datangnya Yesus Kristus yang terakhir kali ….[26]

Terdapat paling tidak tiga aspek penting yang selalu hadir dalam misteri penjelmaan, yakni aspek kenosis – pengosongan diri yang total, aspek Salib, dan aspek Marial. Ketiga aspek ini merupakan bagian integral yang tak terlepaskan dari misteri penjelmaan. Dalam pengosongan diri Kristus, Sang Kebijaksanaan Abadi yang menjelma ada salib dan ada Maria. Bahkan dalam buku Cinta Kebijaksanaan Abadi, Montfort berani mengatakan bahwa misteri penjelmaan (inkarnasi) yang adalah misteri pengosongan diri Yesus adalah misteri Salib. Oleh karena itu, Montfort mengatakan bahwa Sang Kebijaksanaan Abadi yang Menjelma telah mencintai Salib sejak dalam kandungan ibuNya.[27] Salib, bagi St, Montfort bukalah simbol penderitaan, tetapi simbol kasih dan ketaatannya pada kehendak Bapa. Hal ini sejalan dengan ajaran Yesus sendiri yang mengatakan: “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku” (Mt. 16:24). Montfort mengundang setiap umat beriman Kristiani, termasuk kaum awam untuk selalu melakukan discernment: membedakan antara kebijaksanaan duniawi dan kebijaksanaan Allah.[28] Masuk dalam proses discernment ini tak lain adalah masuk dalam proses untuk mengosongkan diri dan merangkul Salib Kristus (Kebijaksanaan Allah).

Selain itu, menurut Montfort, pengosongan diri Yesus dalam misteri inkarnasi terungkap secara jelas dalam kebergantunganNya kepada Bunda Maria. Ini bukan hanya kebergantungan fisik yang merupakan konsekuesi logis dari inkarnasi, tetapi juga kebergantungan yang bersifat pribadi antara Yesus dan ibuNya. Akan tetapi, Montfort mengingatkan kita bahwa: “Kita harus berhati-hati untuk tidak memandang ketergantungan ini sebagai semacam perendahan atau ketidaksempurnaan dalam diri Yesus Kristus. Karena Maria yang secara tak berhingga jauh berada di bawah Puteranya, yang adalah Allah ….”[29]  Dalam pandangan Montfort, Allah memilih untuk bergantung pada Maria dalam misteri inkarnasi karena cintaNya yang besar kepada manusia dan juga karena cinta yang besar dari manusia, yang diwakili oleh Maria kepada Allah. Ketaatan Yesus kepada Maria merupakan ekspresi ketaatanNya kepada Bapa. Bagi Montfort, misteri inkarnasi tidak berhenti pada kelahiran Yesus di dunia, tetapi meluas sampai pada kelahiran manusia baru di dalam Kritus. Dengan kata lain, inkarnasi adalah awal dari sebuah proses panjang kelahiran baru anak-anak Allah dalam Kristus. Montfort mengekspresikan refleksinya ini sebagai berikut:

Pola yang dipegang tiga Pribadi Tritunggal Mahakudus pada saat Penjelmaan dan kedatangan pertama Yesus Kristus, setiap hari dipegang oleh tiga pribadi Tritunggal Mahakudus ini, secara tak kelihatan, dalam Gereja Suci, dan akan dipegang terus oleh tiga pribadi Tritunggal Mahakudus ini sampai akhir zaman, pada saat kedatangan terakhir Yesus Kristus.[30]

Beranjak dari hal di atas, Montfort sangat meyakini bahwa kehadiran dan keterlibatan Bunda Maria di dalam perjalanan hidup rohani kita terus berlangsung. Beranjak dari pola misteri inkarnasi, Montfort menawarkan 4 sarana untuk mengenal dan mencintai Yesus Sang Kebijaksanaan Yang menjelma sumber dan kepenuhan kekudusan kita, yakni kerinduan yang menggelora, doa terus menerus, matiraga (penyangkalan diri), dan Maria (lihat Cinta Kebijaksanaan Abadi no. 181 – 122).

Montfort melihat bahwa perjalanan kekudusan yang berakar pada misteri inkarnasi hendaknya terarah pada kedatangan Yesus pada akhir zaman. Dalam hal ini, Montfort menyadarkan kita akan dimensi eskatologis dalam panggilan dan perutusan kita. Mengapa dimensi ini penting untuk ditekankan? Dengan menyadari akan dimensi eskatologis dari panggilan dan perutusan kaum awam, Montfort membantu kaum awam untuk memahami bahwa realitas Kerajaan Allah bersifat “sudah” (already) hadir di sini dan “belum” (‘yet to come”). Hal ini penting untuk ditekankan agar kaum awam tidak over-optimistic dengan mengidentifikasikan karya dan tugas mereka dengan tujuan akhir: karya penebusan Allah dan Kerajaan Allah. Kaum awam sungguh dipanggil untuk terlibat di dalam dunia melalui tugas dan pekerjaan duniawi mereka, tanpa menjadikan atau mengidentifikasikannya dengan Kerajaan Allah. Mereka hendaknya mengarahkan segala tugas dan pekerjaan mereka pada Kerajaan Allah. Kaum awam dipanggil untuk tidak memisahkan iman yang mereka ucapkan dengan kehidupan konret mereka.

b. Spiritualitas St. Montfort: Jalan Kemuridan: Jalan Perjuangan dan Komunio – Persekutuan

Tujuan dasar dari spiritualitas Kristiani adalah menjadikan semua orang murid Kristus. Oleh karena itu, spiritualitas kaum awam kristiani merupakan sebuah jalan kemuridan, peziarahan rohani mengikuti Yesus Kristus dan InjilNya. Jalan kekudusan, yang bagi Montfort merupakan jalan mengenal, mencintai dan mensharingkan Yesus Kritus, sungguh merupakan jalan kemuridan. Ini merupakan sebuah pilihan untuk menempatkan Yesus Kristus sebagai pusat hidup kita. Tanpa Kristus, identitas dan martabat murid-murid yang sejati kehilangan maknanya. Kesuburan panggilan dan kerasulan kaum awam bergatung pada persatuan mereka dengan Kristus.[31]

Bagi Montfort, jalan kemuridan adalah jalan perjuangan – pergulatan. Masuk dalam jalan kemuridan melibatkan proses membiarkan diri kita untuk tidak dipimpin oleh kebijaksanaan  duniawi, tetapi oleh kebijaksanaan Sang Kebijaksanaan Yang Menjelma, Yesus Kristus. Dengan kata lain, jalan kemuridan adalah jalan “non-conformitas” dengan segala macam kekuatan jahat yang tertanam dalam diri daan dunia di sekitar kita. Konsekuensinya, berjalan dalam jalan kemuridan selalu melibatkan konflik, penderitaan dan salib. Mengenai hal ini, St Montfort mengatakan bahwa seorang murid yang sejati adalah sahabat salib.[32] Salib adalah pilihan tak terelakkan dari pilihan penuh kasih untuk mengikuti Kristus, yakni terlibat dalam hidup dan karya Yesus. Akan  tetapi, murid yang sejati tidak melihat salib dari sudut pandang pasif-fatalistik, tetapi mereka hidup dan mengalami salib sebagai ungkapan pemberian diri penuh kasih, sebagai bentuk pengosongan diri kepada kehendak Allah. Bagi Montfort, Salib sungguh merupakan sarana esensial untuk mengikuti Kristus. Montfort mengatakan: “tak pernah ada salib tanpa Yesus dan tak pernah ada Yesus tanpa salib.”[33] Lebih lanjut St. Montfort mengatakan: “Salib membuat kita mirip dengan Yesus Kristus … Allah telah mempergunakan kesaksian ini untuk membuktikan bahwa ia mencintai kita. Sekaliguss, salib merupakan kesaksian yang diminta Tuhan untuk memperlihatkan kepadaNya bahwa kita mencintai Dia.”[34]

St. Montfort menegaskan bahwa jalan kemuridan bukanlah jalan yang bersifat individualistic, tetapi bersifat komunal. Itu berarti berjalan bersama dengan anggota-anggota tubuh mistik Kristus yang lain bagaikan para pejuang salib yang bersekutu untuk melawan dunia, membaharui semangat iman kristiani, demi Gereja Allah dan untuk menghadirkan Kerjaan damai dan kasih. Keterlibatan kita dalam hidup Yesus selalu mengimplikasikan keterlibatan kita dalam hidup dan misi Gereja dan dalam diri saudara-saudari kita yang diperlakukan tidak adil dan disingkirkan. Pembaktian diri kepada Yesus melalui tangan Bunda Maria yang mengantar kita pada pembaharuan janji Baptis tak lain dari pada jalan kemuridan ini.

c. Spiritualitas St. Montfort: Jalan kekudusan yang bersifat Marial – Kristosentris

Sumbangan spiritualitas St. Montfort bagi spiritualitas kaum awam adalah menawarkan jalan kekudusan kepada kaum awam yang bercorak Marial-Kristosentris. Hal ini sejalan dengan ajaran Konsili Vatikan II. Konsili Vatikan II mengakui bahwa Bunda Maria meainkan peran penting dalam perjalanan rohani umat Allah. Konsili mengajarkan:

Adapun dalam tata rahmat itu peran Maria sebagai Bunda tiada hendtinya terus berlangsung, sejak persetujuan yang setia diberikan saat warta gembira, dan tanpa ragu-ragu dipertahankan di bawah salib, hingga penyempurnaan kekal semua para terpilih … Dengan cinta kasih keibuannya, ia memperhatikan saudara-saudari Puteranya, yang masih ada dalam peziarahan yang diliputi oleh bahaya serta kesukaran sampai mereka mencapai tanah air yang penih kebahagiaan.[35]

Spiritualitas St. Montfort tidaklah bertentangan dengan ajaran Gereja, bahkan memberikan dasar yang solid dan jernih berkaitan dengan dimensi Marial-Kristosentris.

Bagi St. Montfort, peran keibuan Maria dalam perjalanan rohani kaum awam sungguh diperlukan. Peran keibuan Maria tidak bersifat artifisial, tetapi sungguh dikehendaki Allah Tritunggal. Mengenai hal ini, St. Montfort menulis:

Allah Bapa menghendaki Maria untuk menjadi ibu dari anak-anakNya sampai akhir zaman … Allah Putera ingin dijadikan lagi setiap hari dan, katakanlah menjelma menjadi manusia dalam anggota-anggotaNya melalui BundaNya yang terkasih … Allah Roh Kudus ingin membentuk orang-orang pilihanNya di dalam dan melalui Maria….[36]

Montfort memandang keperluan ini bukan sebagai sebuah keperluan yang absolud, tetapi keperluan yang disebut “hypothetically necessity” – maksudnya adalah Bunda Maria diperlukan karena Allah menghendakiNya. Berkaitan dengan hal ini, St. Montfort menulis: “… karena diperlukan Allah, dengan keperluan yang kita sebut ‘hipotetis’ artinya, sebagai akibat dari kehendakNya, Perawan Tersuci lebih diperlukan lagi oleh umat manusia untuk mencapai tujuan akhir.”[37]

St. Montfort sungguh meyakini bahwa untuk menjadi murid Kristus yang sejati berarti harus menjadi abdi-abdi sejati atau anak-anak Maria. Montfort mengatakan: “percuma kita puas dengan pemikiran bahwa kita anak Allah dan murid Kebijaksanaan, kalau kita bukan anak Maria.”[38] Bagi Montfort, persatuan antara Yesus dengan Maria dan Maria dengan Yesus begitu erat, tak terpisahkan. Persatuan antara Yesus dan BundaNya terus berlangsung. Berkaitan dengan hal ini, Montfort mengatakan:

Kalau Yesus Kristus, kepala umat manusia, dilahirkan di dalam dia (Maria), kaum pilihan, yang adalah anggota-anggota dari kepala ini, dengan sendirinya harus dilahirkan di dalam dia. Seorang ibu yang satu dan sama tidak melahirkan kepala atau pemimpin tanpa anggota-anggota; juga tidak melahirkan anggota-anggota tanpa kepala, sebab hal yang demikian ini merupakan sebuah monster dalam tata alam. Demikian juga dalam tata rahmat, baik kepala maupun anggota-anggota lahir dari ibu yang sama ….[39]

Akan tetapi, St. Montfort mengingatkan bahwa peran keibuan Maria tidak menggantikan tindakan atau peran Allah Tritunggal. Peran Maria harus selalu dilihat dalam ketaatan, keterbukaan dan kerja sama Maria dengan Allah Trintunggal. Dengan kata lain, peran keibuan Maria dalam tata kekudusan harus ditempatkan dalam persatuan mistiknya dengan Allah Tritunggal.

Sebagai Bunda kita, Maria adalah sarana bantuan yang paling unggul dari segala macam bantuan yang Allah tawarkan kepada kita. Marialah yang paling unggul dari seghala macam sarana yang Allah tawarkan kepada kita. Maria lah yang paling menyerupai Kristus. Ia adalah “cetakan Allah, diciptakan oleh Roh Kudus untuk memberi bentuk alamiah kepada Sang Manusia Ilahi lewat persatuan hipostatik dan memberi bentuk ilahi kepada manusia berkat rahmat.”[40] Bunda Maria tidak pernah membiarkan rohnya sendiri memimpin dirinya, tetapi selalu membiarkan Roh Allah lah yang meraja dan mengarahkan dirinya. Dengan sangat indah, St. Montfort melukiskan persatuan yang utuh antara Bunda Maria dan Yesus Putranya demikian: “Yesus dan Maria bersatu dengan begitu mesra, sehingga yang satu seluruhnya berada di dalam yang lain: Yesus seluruhnya ada dalam Maria dan Maria seluruhnya ada dalam Yesus. Atau lebih tepatnya: bukan Maria lagi yang hidup, melainkan hanya Yesus yang hidup dalam Maria.”[41] Beranjak dari hal ini, St. Montfort mengundang kaum awam untuk membiarkan diri dibentuk oleh Bunda Maria dengan sikap penuh kepercayaan dan tanpa syarat karena yang ada dalam Maria hanya Allah saja.

Bagi St. Montfort, bakti (devosi) sejati dan murni kepada Bunda Maria, yang bercirikan batiniah, penuh kepercayaan, terus menerus dan tanpa pamrih, merupakan bentuk penyerahan diri kita untuk dibentuk oleh Bunda Maria. Di dalam devosi yang sejati dan penuh kasih ini, kita memberikan seluruh diri dan hidup kita (dahulu, sekarang dan yang akan datang) kepada Maria supaya kita menjadi milik Kristus. Dengan kata lain, devosi yang sejati dan penuh kasih adalah devosi yang membawa kita untuk mendedikasikan diri secara total kepada Yesus Kristus dalam dan melalui Maria. St. Montfort mengingatkan bahwa dalam devosi ini kita tidak melakukan dua devosi, yakni kepada Maria dan kemudian kepada Yesus, tetapi kita hanya melakukan satu hal:

Kita membaktikan diri serentak kepada Perawan teramat suci dan kepada Yesus Kristus: kepada Perawan teramat suci sebagai sarana sempurna yang dipilih Yesus Kristus untuk mempersatukan diriNya dengan kita dan kita dengan diriNya; kepada Tuhan sebagai tujuan akhir kita: Penebus dan Allah kita, yang memberi seluruh keberadaan kita.[42]

Karena devosi ini merupakan bentuk pembaktian diri yang total kepada Yesus, menurut Montfort, devosi ini tidak lain dari pada pembaharuan janji-janji Baptis. Dengan menghubungkan devosi yang sejati dengan pembaharuan janji-janji baptis, St. Montfort menyentuh hakikat dari devosi yang sejati kepada Bunda Maria, yakni 1) untuk membawa kita bertumbuh terus menerus di dalam kekayaan pembaptisan dan iman serta menghidupinya secara penuh; 2) untuk membuat kita menjadi lebih aktif berpartisipasi dalam hidup dan misi Yesus dalam situasi hidup konkret kita. Bagi St. Montfort, “Yesus Kristus Penebus kita sungguh Allah dan sungguh manusia harus menjadi tujuan akhir segala bakti kita, kalau tidak bakti (devosi) itu tidak tepat dan menyesatkan.”[43]

Jalan kekudusan yang bercorak Marial – Kristosentris sungguh merupakan sebuah sumbangan khas yang sangat berharga spiritualitas St. Montfort bagi spiritualitas kaum awam, secara khusus bagaimana St. Montfort menghubungkan antara devosi yang sejati kepada Bunda Maria atau pembaktian diri yang sempurna kepada Yesus dalam dan melalui tangan Maria dengan pembaharuan sempurna janji-janji baptis.

d. Spiritualitas St. Montfort: Proses Pembinaan (Formatio) yang bersifat Holistik dan Marial – Kristosentris     

Formatio atau pembinaan kaum awam merupakan salah satu aspek fundamental dalam hidup dan panggilan kaum awam. Hal ini secara jelas ditegaskan oleh Gereja dalam dekrit tentang Kerasulan Awam – Apostolicam Actuositatem Bab VI dan oleh Paus Yohanes Paulus II dalam Christifideles Laici. Dalam dokumen Christifideles Laici no 59 – 60, Paus Yohanes Paulus II menyatakan bahwa bentuk formation – pembinaan kaum awam hendaknya bersifat menyeluruh – holistic, menyentuh seluruh aspek kehidupan. Selain itu itu, Paus Yohanes Paulus II menempatkan pembinaan kaum awam dalam konteks persekutuan eklesial. Ia menyatakan: “Kaum awam dibentuk oleh dan di dalam Gereja dalam persekutuan timbal balik dan kerja sama dengan seluruh anggota Gereja: klerus, religious dan kaum awam.”[44]   

Yang menarik adalah bahwa pembinaan kaum awam juga menjadi bagian integral dalam spiritualitas St. Montfort. St. Montfort yang dijuluki sebagai “Bon Père” atau “Pastor Bonus” memiliki kepedulian terhadap pembinaan kaum awam. Ia tidak hanya memberikan dasar teologis yang bercorak marial-Kristosentris bagi perjalanan rohani kaum awam, tetapi juga menawarkan sebuah proses pembinaan yang intensif yang membantu kaum awam untuk bertumbuh dalam kedewasaan iman dan memaknai panggilannya dalam kehidupan konkret.

Proses pembinaan yang ditawarkan oleh St. Montfort adalah proses pembinaan yang sekarang kita sebut sebagai proses peziarahan Totus Tuus. Proses ini sesungguhnya bukan hanya ditujukan untuk kaum awam, tetapi untuk semua umat beriman kristiani: klerus, religious dan awam. Proses ini adalah proses peziarahan rohani selama 33 hari atau 33 kali pertemuan untuk mempersiapkan diri dalam membaharuikomitmen baptis kita kepada Kristus melalui tangan Bunda Maria. 33 diambil oleh St. Montfort sebagai lambang usia kepenuhan – kedewasaan Kristus. Oleh karena itu, proses 33 hari atau 33 pertemuan bertujuan mengantar kaum awam dan siapa saja yang masuk dalam proses ini kepada kedewasaan Kritus.

Bentuk pembinaan ini ini bersifat holistic dan Marian-Kristosentris karena di dalamnya St. Montfort memberikan pelatihan-pelatihan rohani yang membantu kaum awam untuk masuk ke dalam proses pengenalan dan pertumbuhan dalam 4 jalinan relasi, yang merupakan bagian integral dalam setiap perjalanan hidup rohani, yakni 1) bertumbuh dalam pemahaman akan dunia, tempat di mana kaum awam dipanggil untuk memenuhi panggilan mereka – menjadi peka akan rahmat dan sisi gelap yang ada dalam dunia; 2) bertumbuh dalam pengenalan diri – lahan subur tempat di mana benih Sabda dan Roh Kebijaksanaan Ilahi dan Menjelma bertumbuh : menyadari akan kelemahan dan kekuatan yang ada dalam diri serta ketergantungan kita kepada Allah; 3) bertumbuh dalam pengenalan akan Maria, Bunda kita, sarana bantuan Allah yang unggul; dan 4) bertumbuh dalam pengenalan dan cinta akan Kristus sumber dan kepenuhan peziarahan kekudusan kita. Selama 33 hari (33 pertemuan) kaum awam dipersiapkan untuk sungguh mendalami keempat jalinan relasi ini dalm suasana doa dan persekutuan. Di akhir proses peziarahan ini, kaum awam diundang untuk mengambil sebuat keputusan penting, yakni menyerahkan diri kembali untuk menjadi milik Kristus di dalam tangan Bunda Maria, melalui pembaharuan janji-janji Baptis. Ini lah saat dimana kaum awam dilahirkan kembali secara baru dalam Kristus melalui Bunda Maria. Santo Montfort menempatkan pembaktian diri ini di dalam kerangka perayaan sakrmental, secara khusus sakramen tobat dan ekaristi. Dalam konteks ini lah, dimensi eklesial – persekutuan menjadi semakin tampak.

Dengan mengundang dan mempersiapkan kaum awam untuk melakukan pembaktian diri atau pembaharuan janji baptis kepada Kristus melalui dan dalam tangan Bunda Maria, spiritualitas St. Montfort mempertajam kembali komitmen kaum awam sebagai umat beriman Kristiani dan mengintensifkan keterlibatan mereka di dalam tugas perutusan Yesus sebagai raja, imam dan nabi dalam situai konkret hidup mereka. Dengan demikian, kita dapat mengatakan bahwa bentuk pembinaan kaum awam yang ditawarkan St. Montfort menyentuh tujuan dasarian eksistensi kaum awam, yang mengalir dari pembaptisan mereka.

Penutup

Sebagaimana telah disinggung diawal, refleksi ini merupakan tanggapan akan undangan untuk mengintesifkan kerja sama yang otentik dengan kaum awam, dan bukan sekedar kerjasama fungsional atau utilitarian.  Saya sungguh berharap bahwa semoga melalui refleksi ini, kami para Montfortan semakin menyadari akan khazanah kekayaan spiritualitas kita dan mampu menghadirkan serta mensharingkan khazanah kekayaan spiritualitas ini dalam jalinan relasi dengan kaum awam di mana pun kita diutus dalam semangat saling melengkapi. Selain itu, refleksi mengenai eksistensi: panggilan dan perutusan kaum awam dalam kehidupan menggereja menyadarkan kita, termasuk kaum awam sendiri akan keluhuran martabat dan panggilan kaum awam dalam hidup menggereja. Penyadaran ini penting untuk semakin memperdalam jalinan relasi timbal balik yang bersifat teologis dan eksistensial.  Dan, semoga dengan melihat Sumbangan spiritualitas St. Montfort bagi kaum awam, kaum awam dapat menemukan sarana rohani yang dapat membantu kaum awam dalam menghayati dan mempertanggungjawabkan panggilannya yang diterima dari Allah.

P. Yoseph Putra Dwi Watun, SMM


[1] Bonifacio Fernandez Garcia, “New Ecclesial Articulation of Different Lifestyles,” in The Laity in Religious: Towards the Church of the Future (Quezon City: Claretian Publications, 1988). P. 21.  “It is not a matter of merely functional or utilitarian complementarity, but rather of an existential and theological complementing of one form of ecclesial life by another.”

[2] Dokumen Konsili Vatikan II, Lumen Gentium: Konstitusi Dogmatis tentang Gereja, terjemahan R. Hadiwiryono, SJ (Jakarta: Obor, 2017), no. 32

[3] Helmut T. Lehman, ed., Luther’s Works Volume 36 (Philadelphia: Muhlenberg press, 1959), p. 116. For Luther, we are all equally priests, that is to say, we have the same power in respect to the Word and the sacraments. However, no one may make use of this power except by the consent of the community or by the call of a superior.”

[4] Yves M. J. Congar, Lay People in the Church. (Westminster: The Newman Press, 1965), p. 70

[5] Francis de Sales, Introduction to the devout life: Preface, diakses dari (www.ccel.org/ccel/desales/devout_life) (15 Januari 2022) (Pkl. 09.28).

[6]  Ibid.

[7] Louis-Marie Grignion de Montfort, Letter to Friends of the Cross, in God Alone: The Collected Writings of St. Louis-Marie de Montfort (Bay Shore, New York: Montfort Publications, 1995), p. 124

[8] Louis-Marie Grignion de Montfort, Rahasia Maria (Bandung: Serikat Maria Montfortan, 1993) no. 3, hal. 3.

[9]  Charles Besnard, Vie de M. Louis-Marie Grignion de Montfort (Roma: Centre International Montfortain, 1981), hal. 95

[10] Joseph Grandet, P.S.S., The Life of Monsieur Louis-Marie Grignion de Montfort (Roma: Centre International Montfortain, 2006), hal. 97. “And what greatly increased their fervor and made them at every opportunity put their hand to the task, was the fact that they saw M. de Montfort at their head, digging the ground, and moving and carrying big stones. They all sang hymns and talked about pious subjects while the worked.”

[11] S. Gaspari, “Priest” dalam Stefano de Fiores, gen., ed., Jesus Living in Mary:  Handbook of the Spirituality of St. Louis-Marie de Montfort (Bay Shore, New York: Montfort Publications, 1994), hal. 982. “The Church has no worse enemies than its priest.”

[12] Dokumen Konsili Vatikan II, Lumen Gentium…, ibid., no. 31. Lihat juga Apostolicam Actuositatem no. 2.

[13] A. Faivre, The Emergence of the Laity in the Early Church (New Jersey: Paulist Press, 1990), hal. 69 By the end of the third century, “… the layman was quite certainly regarded as inferior to the clergy. It is here that we find the true foundations for the distinction that came to be made between clergy and the laity.”

[14] Dokumen Konsili Vatikan II, Lumen Gentium…, ibid., no. 31

[15] Pope John Paul II, Chritifideles Laici diakses dari (www.vatican.va/content/john-paul-ii/en/apost_exhortations/documents) (19 Januari 2022) (Pkl. 21.31) no. 15. “They are not called to abandon the position that they have in the world. Baptism does not take them from the world at all, as the apostle Paul points out: “So, brethren, in whatever state each was called, there let him remain with God” (1 Cor 7:24). On the contrary, he entrusts a vocation to them that properly concerns their situation in the world.”

[16] Dokumen Konsili Vatikan II, Gaudium et Spes: Konstitusi Pastoral tentang Gereja di Dunia Dewasa ini, terjemahan R. Hadiwiryono, SJ (Jakarta: Obor, 2017), no. 43.

[17] Lihat Dokumen Konsili Vatikan II, Lumen Gentium …, ibid., no 31

[18] Dokumen Konsili Vatikan II, Gaudium et Spes …, ibid., no. 43.

[19] Dokumen Konsili Vatikan II, Lumen Gentium …, ibid., no. 34

[20] Ibid., no. 35

[21] Ibid., no. 36

[22] Pope John Paul II, Chritifideles Laici, Ibid., no. 8

[23] Ibid., no. 61

[24] Segundo Galilea, The way of Living: A Spirituality of Liberation (Manila: Claretian Publications, 1991), hal. 40

[25] St. Louis-Marie Grignion de Montfort, Bakti yang Sejati kepada Maria (Malang: PusatSpiritualitas Marial Montfortan, 2019), no. 248.

[26]  Ibid., no 22

[27] St. Louis-Marie Grignion de Montfort, Cinta Kebijaksanaan Abadi, diterjemahkan oleh Arnoldus Suhardi (Malang: Seminari Montfort, 2009), no. 169. “Baru saja Dia masuk ke dunia tatkala Dia menerimanya, dalam rahim ibu-Nya, dari tangan Bapa kekal. Dan Dia telah menempatkan Salib itu di pusat hati-Nya, di mana Salib itu akan memerintah, sambil berkata: ‘Aku suka melakukan kehendakMu, ya Allahku; TauratMu ada dalam dadaKu.’ Ya Allahku, ya BapaKu, Aku telah memilih Salib ini di dalam pangkuanMu, Aku telah memilihnya di dalam rahim ibuKu.”

[28] Lihat Ibid., no:  75 – 82 St. Montfort berbicara mengenai kebijaksanaan duniawi.

[29] St. Louis-Marie Grignion de Montfort, Bakti Sejati kepada Maria …, ibid., no. 27

[30] Ibid., no. 22

[31] Dokumen Konsili Vatikan II, Apostolicam Actuositatem, terjemahan R. Hadiwiryono, SJ (Jakarta: Obor, 2017), no. 4

[32] St. Louis-Marie Grignion de Montfort, Letter to Friends of the Cross …, ibid., hal. 124 – 125.

[33] St. Louis-Marie Grignion de Montfort, Cinta Kebijaksanaan Abadi …, Ibid., no. 172

[34] Ibid., no. 176

[35] Dokumen Konsili Vatikan II, Lumen Gentium …, ibid., no. 62

[36] St. Louis-Marie Grignion de Montfort, Bakti Sejati kepada Maria …, ibid., no. 29, 31, 34

[37] Ibid., no. 39

[38]  St. Louis-Marie Grignion de Montfort, Cinta Kebijaksanaan Abadi …, ibid., no 214

[39] St. Louis-Marie Grignion de Montfort, Bakti Sejati kepada Maria …, ibid., no 32

[40]  St. Louis-Marie de Montfort, Rahasia Maria …, ibid., no. 17

[41] St. Louis-Marie Grignion de Montfort, Bakti Sejati kepada Maria …, ibid., no. 247

[42] Ibid., no. 125

[43] Ibid., no. 61

[44] Pope John Paul II, Chritifideles Laici …, ibid., no. 61

Bagikan: