Louis-Marie De Montfort: Guru Spritualitas Marial Misioner Legio Maria

Ada dua buku yang menjadi rujukan utama tulisan ini. Pertama, Buku Pegangan Resmi Legio Maria, edisi Bahasa Indonesia 2021 yang diterjemahkan dari The Official Hanbook Legion of Mary, 2014, imprimatur Mgr. Henricus Pidyarto Gunawan, O.Carm. Kedua, Bakti yang Sejati kepada Maria yang ditulis Louis-Marie Grignion de Montfort, terjemahan Arnold Suhardi dari Traité de la Vraie Dévotion à la Sainte Vierge, diterbitkan Pusat Spiritualitas Montfortan (PSMM), 2019.

Dalam Buku Pegangan Legio Maria bab 24, no. 3, Montfort disebut sebagai guru pribadi Legio Maria. Mengapa dikatakan demikian? Tulisan ini dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan itu. Dalam rangka itu, kami mengartikulasi empat hal pokok berikut ini. First, hidup dan karya misioner Louis-Marie de Montfort. Second, Buku Pegangan Legio Maria dan Buku Bakti Sejati kepada Maria. Third, devosi kepada Maria sebagai fondasi Legio Maria. Fourth, pembaktian diri kepada Yesus melalui Maria.

1. Hidup dan Karya Misioner Louis-Marie de Montfort

Nama asli dari St. Montfort adalah Louis Grignion. Ia lahir pada 31 Januari 1673 di Montfort-sur-Meu, sebuah kota kecil di Prancis Barat. Karena ia berasal dari sana, orang semasanya menyebut dia sebagai “Pater dari Montfort”. Dia sendiri suka menambahkan kata “Montfort” pada namanya. Namun, bagi dia, sebutan itu tidak pertama-tama merujuk pada tempat kelahiran, tetapi pada tempat pembaptisan.1 Di bejana baptisnya di Gereja St. Yohanes di Kota Montfort, Louis Grignion menjadi seutuhnya milik Yesus Kristus (Bdk. True Devotion to Mary, no. 68, 129). Kesatuan dan keserupaan dengan Yesus yang diawali dalam pembaptisan itu perlu dikembangkan. Louis Grignion mengimani bahwa rahasia untuk berkembang dalam keserupaan dengan Kristus itu adalah Maria. Ia pun menambahkan pula kata “Maria” pada namanya.2 Lantas, namanya menjadi Louis-Marie Grignion de Montfort.

Dalam rangka menanggapai panggilan Tuhan untuk menjadi imam, pada 1693-1700, Montfort menjalani studi teologi di Paris, yaitu di Sorbonne dan di Seminari Saint-Supice. Dalam rentang waktu studi yang cukup lama itu, ia banyak melakukan studi mandiri. Sebagai pengurus perpustakaan di Seminari Saint-Sulpice, Montfort dapat mengakses banyak tilisan spritual dan teologis terkenal di masa itu. Temannya, Blain, mengatakan, “Hampir semua tulisan berkaitan dengan spiritualitas melewati tangannya”.3 Sebagai alumnus Seminari Saint- Sulpice, Montfort dipengaruhi oleh Mazhab Spiritualitas Perancis (Bérullian School) dan karena itu, Montfort dikenal sebagai yang terakhir dari tokoh-tokoh bersar aliran rohani ini.4 Harus dikatakan bahwa studinya di Seminari Saint-Sulpice memungkinkan dia menemukan fondasi teologis yang memadai bagi praksis devosi marialnya dan juga bagi tulisan-tulisannya. Tidak heran bila kemudian, Paus Yohanes Paulus II menyebutnya sebagai “teolog berbobot”.5 Ia ditahbiskan menjadi imam pada 5 Juni 1700. Sebagai imam, ia tampil dalam sosok “misionaris apostolik” sesuai dengan mandat yang diberikan kepadanya oleh Paus Klemens XI pada 1706, yaitu membaharui semangat kekristenan di Prancis melalui pembaharuan janji baptis.6 Dalam pembaharuan janji baptis itu, peran keibuan Maria disambut dengan sadar. Karena itu, isi dari pembaharuan janji baptis itu adalah pembaktian diri yang total kepada Yesus melalui Maria. Dalam rentang usia imamatnya yang pendek, 16 tahun, Montfort telah melakukan 200 karya misi. Kobaran api kerasulan Montfort menyembul dari perjumpaan dengan Yesus, Sang Kebijaksanaan Abadi Yang Menjelma menjadi manusia dan disalibkan, yang dikontemplasikan dan dicarinya siang dan malam. Montfort menemukan cintakasih Allah yang luar biasa dalam diri Yesus Kristus Petera Allah yang menjelma menjadi manusia. Cintakasih yang melampaui segala pengertian ini menjelma dalam hidup, kata-kata, perbuatan dan kematian Yesus. Bersentuhan dengan keindahan cinta itu, Montfort menulis, “Andaikata kita mengetahui besarnya nikmat suatu jiwa yang merasakan keindahan Kebijaksanaan…, kita mesti berseru bersama mempelai wanita dalam kidung Agung: ‘Cintamu lebih nikmat dari pada anggur’, jauh lebih besar daripada segala nikmat yang diciptakan.”7 Montfort terpesona oleh cinta kasih ini dan jatuh cinta pada Sang Kebijaksanaan. Ia mengungkapkan hal itu dengan

mengutip kata-kata Kitab Kebijaksanaan: “Aku jatuh cinta kepada kebijaksanaan dan kucari sejak masa mudaku, aku berusaha memperoleh-Nya sebagai mempelaiku.” (Keb 8:2).8

Selain bermisi, Montfort juga menulis banyak karya. Berikut ini adalah sebagian dari karya-karya itu yang sudah dierjemahkan ke dalam bahasa Indoesia: Cinta dari Sang Kebijaksanaan Abadi, True Devotion to Mary, The Secret of Mary, The Secret of the Rosary, Surat kepada Sahabat-sahabat Salib, Doa Menggelora dan sejumlah kidung. Di antara karya-karya itu, yang paling terkenal dan banyak dibaca, termasuk oleh Frank Duff (pendiri Legio Maria) adalah Bakti yang Sejati Kepada Maria yang ditulis sekitar tahun 1700. Tulisan-tulisan itu bukan sekadara sintesis dari hasul studi Montfort, tetapi juga kristalisasi dari pengalaman rohani yang diajarkan dalam karya-karya misi yang dijalankannya. Maka, membaca tulisan Montfort sama dengan membaca autobiografi rohani dari Montfort sendiri. Tulisan-tulisan itu tidak dimaksudkan untuk diri beliau sendiri, tetapi untuk pembaca yang hendak berkembang dalam mencintai Kristus dengan membuka diri bagi kehadiran keibuan Maria.

Dengan bermisi dan menulis, Montfort mengambil bagian dalam tugas keibuan Maria sendiri, yaitu melahirkan dan membesarkan para murid Kristus. Hal ini dilakukannya habis- habisan dan tanpa jedah. Ia memberikan diri secara total bagi Allah dan bagi keselamatan sesama. Semboyan hidup dan misinya adalah “segalanya atau tidak sama sekali”. Ia baru beristirahat ketika menghebuskan nafas terakhir di St. Laurent-sur-Sévre (Perancis) pada 28 April 1716. Saat meninggal, di tangannya ada salib “misionaris apostolik” yang diberikan Paus Klemens XI. Ia meninggal setelah menarikan secara total gelar misionaris apostolik yang disematkan Paus Klemens XI. Setiap orang yang berziarah ke makam Santo Montfort akan disuguhi dengan pertanyaan ini: “Musafir, apa yang anda lihat?” Pertanyaan tersebut berada di awal sederetan kalimat yang tertera pada batu nisan Montfort. Dan inilah jawaban pertama atas pertanyaan tersebut: “Sebuah suluh yang padam!” Kematian Montfort diibaratkan dengan padamnya sebuah suluh katika stok minyak yang mengobarkannya terkuras habis karena menyuluh tanpa henti. Nafas hidup Montfort terputus lantaran bermisi tanpa henti, berkhotbah tanpa jeda dan bersaksi tanpa perhitungan. Sebagaimana sebuah suluh yang padam menyimpan kisah tentang pengorbanan sampai titik penghabisan dalam menjalankan misi menyuluh, demikian pun dengan kematian Montfort yang rada dini menyimpan cerita tentang pemberian diri secara total demi karya misi.

Kendati hidup duniawinya berakhir, partisipasinya dalam tugas keibuan Maria tetap berlanjut. Iman akan hal itulah yang tersirat dalam pengakuan Gereja akan dirinya sebagai beato pada 22 Januari 1888 melalui Paus Leo XII; dan kemudian sebagai Santo pada 20 Juli 1947 melalui Paus Pius XII. Pengakuan ini menunjukkan bahwa ia telah berkembang dalam kerserupaan dengan Kebijaksanaan Abadi Yang menjelma menjadi manusia dan disalibkan; bahwa bakti sejati kepada Maria yang dihidupinya dan diajarkannya telah membantuk dia untuk bertumbuh dalam menghidupi baptisannya sehingga menjadi semakin bersatu dan serupa dengan Yesus Kristus, Putra Allah dan Putra Maria. Pengakuan itu juga menjadi suatu undangan bagi kita untuk menghidupi ajarannya sebagaimana kita jumpai dalam tulisan- tulisannya, walaupun dia belum dinyatakan sebagai pujangga Gereja.

Semangat kerasulan dan spiritualitas Montfrot dihayati secara khusus oleh kedua tarekat yang didirikannya secara langsung, yaitu Kongregasi Putri-putri Kebijaksanaan (DW) dan Serikat Maria Montfortan (SMM). Dari SMM, kemudian, muncul Kongregasi Bruder- bruder St. Gabriel (SG). Selain itu, terdapat sejumlah tarekat religius lain dan kelompok (kerasulan) awam yang menimba inspirasi dari warisan rohani beliau. Kelompok awam yang bernaung di bawah SMM dan secara khusus menghayati spiritualitas Pembaktian Diri Montfort adalah Perserikatan Maria Ratu Segala Hati. Di Indonesia, kelompok ini banyak ditemukan di Keuskupan Ruteng, Keuskupan Sintang, Keukupan Bandung dan Keuskupan Malang. Legio Maria adalah salah satu kelompok kerasulan awam yang menjadikan Montfort sebagai guru dalam spritualitasnya. Karena itu, para Montfortan ikut mempromosikan Legio Maria. Di

antara orang-orang yang mendapatkan manfaat khusus dari warisan rohani St. Montfort, patutlah disebut St. Yohanes Paulus II. Beliau pernah menulis,

: I was sure that Mary led us to Christ, but at this time I also began to understand that Christ leads us to His mother. It was a time when I began to question my devotion to Mary because I thought that if my devotion to her became too great, it might jeopardize the supremacy of worship that should have been given to Christ. At that time, I was greatly helped by the book by St. Louis-Marie Grignion de Montfort entitled True Devotion to the Blessed Virgin Mary. There I found answers to my questions. Yes, Mary does bring us closer to Christ; it does lead us to Christ, on the condition that we live the mystery of Mary in Christ. St. This Louis-Marie de Montfort may be quite disturbing because of his slightly exaggerated and baroque style, but the essence of theological truth contained in it is truly undeniable. The author of this work is a qualified theologian. His Mariological thinking is rooted in the mystery of the Triune God and the truth of the Incarnation of the Word of God.9

2. Buku Pegangan Legio Maria dan Buku Bakti Sejati kepada Maria

Tidak ada legioner yang tidak pernah menyebut nama Louis-Marie de Montfort. Nama itu disebutkan dalam Tessera Legio Maria, tepatnya di bagian pembuka, sesudah doa rosario. Dalam rangka meminta doanya, nama orang kudus ini diserukan sesudah nama St. Yusuf dan St. Yohanes (pengarang Injil). Namun, Montfort bukan sekadadr salah satu dari para pelindung Legio Maria dan karena itu doa syafaatnya diminta oleh para legioner, tetapi lebih dari itu. Mungkin karena itu, markas besar Legio Maria, Concillium Legionis di Dublin-Irlandia, disebut De Montfort House. Jadi, lebih dari para kudus lainnya, ia berperan penting dalam perkembangan Legio Maria. Ia, bahkan, disebut sebagai guru Legio Maria. sebagaimana dikatakan dalam Buku Pegangan Legio Maria, bab 24, no. 3 berikut ini:

“… tanpa ragu-ragu, dapat ditegaskan bahwa tidak ada orang kudus yang memainkan peranan lebih besar dalam perkembangan Legio daripada orang ini. Buku Pegangan Legio penuh dengan semangatnya. Doa-doa Legio menggemakan kembali kata-katanya. Dia benar-benar menjadi guru pribadi bagi Legio: maka sudah sewajarnya Legio meminta doa perantaraannya, hampir sebagai kewajiban moarl.”

Frank Duff (1889-1980), pendiri Legio Maria, tidak pernah berjumpa dengan Montfort. Mereka hidup di abad yang berbeda. Ketika Duff mendirikan Legio Maria (1921), Montfort sudah lama beralih dari eksistensi duniawi (1716). Karena itu, pengaruh Montfort bagi perkembangan Legio Maria tidak terjadi melalui perjumpaan historis dan personal Duff dengan Montfort atau dengan para legioner, tetapi melalui perjumpaan antara Duff dan para legioner di seluruh dunia dengan warisan rohani Montfort yang terdapat dalam tulisan-tulisannya atau yang dihidupi oleh tarekat religius yang didirikannya (SMM, DW, SG) dan kelompok awam yang secara khusus menghayati sepritualitasnya, seperti PMRSH. Sudah sejak 1917, Duff mengenal Bakti yang Sejati kepada Maria yang ditulis Montfort.10 Pada tahun itu, Duff berusia 28 tahun dan 4 tahun sesudah itulah ia mendirikan Legio Maria. Duff membagikan simakannya atas tulisan Montfort itu dalam beberapa ceramah untuk mengisi pertemuan bulanan para anggota pertama Legio Maria.11 Artinya, Duff dan para anggota pertama Legio Maria sudah mengenal warisan rohani Montfort. Namun, tulisan Montfort yang dibaca Duff bukan hanya True Devotion to Mary, tetapi juga The Secret of Mary, The Secret of the Rosary, Cinta dari

Kebijaksanaan Abadi and Doa Menggelora. Jejak pembacaan ini dapat ditelusuri di banyak halaman dari Buku Pegangan Legio Maria.12

Hampir seluruh isi Buku Pegangan Legio Maria merupakan karangan Duff (Buku Pengangan Legio Maria, hlm. 5). Karena itu, dapat disimpulkan bahwa perjumpaan Duff dengan tulisan-tulisan Montfort, terutama dengan True Devotion to Mary, membuat Buku Pegangan Legio Maria dipenuhi dengan semangat Montfort. Dalam Buku Pegangan Legio Maria, nama Montfort disebut sebanyak 32 kali.13 Hal ini menunjukkan kuatnya pengaruh tulisan-tulisan Montfort bagi spiritualitas Legio Maria yang terdapat dalam Buku Pegangan Legio Maria. Mgr. Patrice Flynn, Uskup Nevers, mengatakan bahwa spiritualitas Legio Maria merupakan penerapan pada kerasulan modern ajaran dari Mazhap Spiritualitas Prancis, istimewanya salah satu tokohnya, yaitu Montfort. Buku Pegangan Legio Maria, menurut dia, menyajikan keterangan dan komentar atas True Devotion to Mary.14 Kardinal Suenens menyebut Buku Pegangan Legio Maria sebagai lanjutan yang menyolok dari uraian yang terdapat dalam True Devotion to Mary. Buku Pegangan Legio Maria membahas ajaran yang terdapat dalam True Devotion to Mary dan menerjemahkannya dalam tindakan yang efekti dan konkret.15

Dalam studinya atas jejak tulisan-tulisan Montfort pada Buku Pegangan Legio Maria, Arnold Suhardi menyimpulkan tiga hal berikut.16 First, dalam menulis Buku Pegangan Legio Maria, Duff telah dan sedang membaca beberapa tulisan Montfort yang disebutkan di atas. Dengan kata lain, spiritualitas Montfort telah menjiwai Duff dan itulah yang kemudian dituangkan dalam Buku Pegangan Legio Maria dan karena itu buku itu dipenuhi oleh warisan rohani Montfort. Second, dari antara tulisan-tulisan Montfort, yang paling banyak menjiwai Buku Pegangan Legio Maria adalah True Devotion to Mary. Karena itu, kedua buku tersebut merupakan suatu kesatuan. Artinya, untuk mendalami spiritualitas marial misioner Legio Maria dalam Buku Pegangan Legio Maria, seseorang perlu membaca Bakti Sejati kepada Maria; sedangkan untuk menemukan penerapan konkret – dalam karya kerasulan – pembaktian kepada Yesus lewat Maria yang diajarkan Montfort dalam True Devotion to Mary, seseorang perlu membaca Buku Pegangan Legio Maria. Karena itu, Buku Pegangan Legio Maria merupakan bacaan lanjutan bagi orang yang telah membaca True Devotion to Mary; dan True Devotion to Mary merupakan bacaan wajib bagi orang yang hendak memahami secara mendalam Buku Pegangan Legio Maria. Itulah sebabnya, dalam Buku Pegangan Legio Maria di bagian lampiran 5, no. 5, Duff meminta para legioner untuk membaca True Devotion to Mary (dan juga The Secret of Mary), bukan hanya sekali, tetapi berkali-kali. Third, tema-tema besar spiritualitas Montfort hadir dalam Buku Pegangan Legio Maria. Pusat dari tema-tema itu adalah misteri Penjelmaan (Inkarnasi). Itulah fokus permenungan Mazhap Spritualitas Perancis. Karena itu, dapat dikatakan bahwa Duff berada dalam barisan tokoh aliran spiritualitas tersebut.

3. Devosi kepada Maria sebagai Fondasi Legio Maria

Devosi dapat dipahami sebagai sikap hati serta perwujudannya kepada seseorang atau sesuatu yang dipercayai, dihormati, dikagumi dan dicintai. Devosi yang terah kepada Allah atau yang terkait dengan Allah disebut devosi religius.17 Devosi kepada Maria (devosi marial) menjadikan Maria sebagai sasaran devosi. Namun, Maria menjadi sasaran devosi karena dan demi Allah. Devosi marial ada dalam kerangka relasi devosan (orang yang berdevosi) dengan Allah. Dengan kata lain, dalam relasi dengan Allah, para devosan melibatkan (menyambut peranan) Maria. Karena itu, devosi marial termasuk dalam kategori devosi religius.

Devosi (bakti) kepada Maria bukan saja unsur penting, tetapi fondasi dari keberadaan Legio Maria. Dalam Buku Pegangan Legio Maria, bab 5, no. 1, dikatakan bahwa “Legio didirikan atas dasar devosi kepada Maria”. Legio Maria muncul dari devosi kepada Maria. Para Legioner adalah orang-orang yang berdevosi kepada Maria: mencintai dan menaruh

kepercayaan besar kepada Maria dalam relasi mereka dengan Allah dan dengan sesama (Bdk. Buku Pegangan Legio Maria, bab bab 5, no. 7). Setiap legioner adalah devosan marial (orang yang berdevosi kepada Maria), walaupun tidak semua devosan marial menjadi legioner. Jadi, Legio Maria berakar dalam devosi kepada Maria.

Bahwa devosi kepada Maria itu merupakan hal yang mendasar bagi keberadaan Legio Maria dapat disimak dari tujuan Legio Maria itu sendiri. Dalam Buku Pegangan Legio Maria bab 2, dikatakan: “Tujuan Legio Maria adalah kemuliaan Allah melalui kekudusan para anggotanya yang dikembangkan dengan doa dan kerja sama aktif di bawah bimbingan Gereja, dalam karya Maria dan Gereja untuk meremukan kepala ular dan meluaskan kerajaan Kristus.” Definisi ini mengimplikasikan tugas ganda seorang legioner, yaitu “menguduskan diri sendiri” dan melayani sesama (Buku Pegangan Legio Maria bab 5). Pengudusan, pertama-tama, adalah karya Allah. Namun, karya Allah itu membutuhkan tanggapan manusia. “Menguduskan diri sendiri” identik dengan mengupayakan pertumbuhan dalam hal keserupaan dengan Yesus. Demikian pun juga dengan “melayani sesama” identik dengan upaya agar sesama berkembang dalam hal keserupaan dengan Kristus. Legio Maria mengimani bahwa mengupayakan pertumbuah umat kristiani dalam keserupaan dengan Yesus merupakan karya Maria dan tentu saja karya Gereja juga. Para legioner menyambut karya (peranan) Maria ini secara sadar dalam relasi yang istimewa dengan Maria (bdk. Buku Pegangan Legio Maria, bab 6, no. 1) dan itulah devosi marial. Dalam devosi marial itu, mereka mengalami persatuan dengan Maria dan menaruh kepercayaan besar pada peranannya dan itulah yang hendak diungkapan dengan menyabut Maria sebagai “pengantara segala rahmat” (Buku Pegangan Legio Maria, bab 2).

Dalam Buku Pegangan Legio Maria, bab 6, no. 3, peranan Maria dalam rangka pertumbuhan manusia dalam keserupaan dengan Kristus itu disebut “tugas keibuan” Maria. Kerasulan Legio Maria dipandang sebagai partisipasi dalam tugas keibuan itu. Dikatakan:

“Seluruh kehidupan Maria dan rencana Tuhan baginya ialah menjalankan tugasnya sebagai ibu., pertama-tama bagi Kristus dan kemudian bagi umat manusia…. Pada hari Maria menerima Kabar Gembira, dia mulai melakukan karyanya yang menakjubkan itu, dan sejak itu dia terus menjadi ibu yang sibuk melaksanakan tugas-tugas rumah tangganya. Untuk beberapa waktu tugas keibuan ini terbatas pada Nazaret, tetapi tidak lama kemudian rumah kecil ini menjadi seluruh dunia yang luas, dan Putranya meluas ke dalam seluruh umat manusia…. Setiap pemeliharaan terhadap tubuh Tuhan hanya melengkapi pemeliharaan yang diberikan Maria; seorang rasul hanya menggabungkan diri sebagai tambahan pada tugas keibuan Maria.”

Bila kerasulan Legio Maria dipahami sebagai pertisipasi dalam tugas keibuan Maria atas kaum beriman, maka tanpa persatuan dengan Maria yang dihidupi dalam devosi marial tidak dapat ada kerasulan tersebut. Kerasulan Legio Maria tumbuh dari relasi persatuan dengan Maria yang terbina dalam devosi kepada Maria. Karena itu, pada Buku Pegangan Legio Maria bab 6, no. 1, dikatakan bahwa “legioner tanpa Maria di dalam hatinya” seumpama “seorang tentara tak bersenjata” atau “mata rantai yang terputus” atau “lengan yang lumpuh”. Karena itu, sebetulnya, Maria dan kerasulan bukanlah dua asas dalam Legio Maria. Hanya ada satu asas dalam Legio Maria, yaitu Maria. Kerasulan merupakan konsekuensi dari devosi atau relasi yang mendalam dengan Maria. Dalam Buku Pegangan Legio Maria, bab 6, no. 3 dikatakan: “Legio tidak seperti yang dikira oleh sebagian orang, dibangun berdasarkan dua asas, yaitu Maria dan kerasulan, namun di atas asas tunggalnya itu Maria, yang mencakup kerasulan dan seluruh kehidupan kristiani, bila itu dipahami secara tepat.”

Tugas keibuan Maria atas umat manusia merupakan perluasan peranan Maria sebagai Bunda Allah dalam misteri Inkarnasi. Dalam hal ini, Buku Pegangan Legio Maria mengikuti Mariologi Montfort dalam Bakti yang Sejati kepada Maria. Pada no. 1 dari karya tersebut,

Montfort menulis, “Melalui Santa Perawan Marialah Yesus Kristus telah datang ke dunia, dan melalui Maria pulalah Dia harus meraja di dunia.” Bagian pertama kalima tersebut berbicara tentang peranan Maria dalam sejarah keselamatan, yaitu dalam misteri Yesus; sedangkan bagian kedua berbicara tentang peranan aktual Maria dalam kehidupan kaum beriman, yaitu dalam misteri Gereja. Yang pertama menyangkut keibuan Maria atas Yesus; yang kedua menyangkut keibuan rohani Maria atas kaum beriman.

Menurut Montfort, peranan Maria dalam sejarah keselamatan (misteri Inkarnasi) menjadi dasar bagi peranan aktual Maria dalam kehidupam kaum beriman. Halnya dapat disimak dalam Bakti yang Sejati kepada Maria no. 22-36. Keibuan Maria atas kita tidak dipahami oleh Montfort sekadar sebagai keibuan yang tidak langsung, tetapi lebih dari itu. Artinya, Maria adalah ibu kaum beriman bukan hanya karena dengan melahirkan Yesus, dia secara tidak langsung melahirkan para pengikut Yesus. Lebih dari itu, sebagai konsekuensi dari keibuannya atas Yesus, dia dengan sebulat hati melibatkan diri, dalam ketergantungan pada rahmat Allah, untuk kelahiran dan pertumbuhan para pengikut Yesus (True Devotion to Mary, no. 32). Inilah yang disebut keibuan rohani Maria atas kaum beriman.

Karena itu, Buku Pegangan Legio Maria bab 5 no. 4 mengatakan bahwa “Maria Bunda kita” dan “kita sesungguhnya anak-anak Maria”. Pengakuan ini menuntut adanya devosi atau “penghormatan khusus kepada Maria sebagai ibu kita yang sejati”. Peranan keibuan Maria ini harus disambut dengan sadar dengan berprilaku sebagai anak. Pada bagian yang sama dari The book of Pegangan Legio Maria dikatkaan demikian:

“Karena kita sesungguhnya anak-anak Maria, maka kita harus berprilaku sesuai dengan itu, dan malah seperti anak-anak kecil yang seluruhnya bergantung padanya. Kita harus memandang dia untuk memberi kita makan, untuk membimbing kita, mengjar kita, menyembuhkan penyakit kita, menghibur kita bila sedih, menasihati kita bila bimbang, memanggil kita kembali bila tersesat. Dengan demikian, bila sepenuhnya dipercayakan kepada pemeliharaan Maria, kita dapat bertumbuh menjadi serupa dengan saudara sulung kita, Yesus, dan mengambil bagian dalam tugas-Nya untuk memerangi dan mengalahkan dosa.”

Karena pengakuan akan tugas keibuan Maria tersebut, para legioner, sejalan dengan anjuran Vatikan II dalam dokumen Apostolicam Actuositatem no. 4 yang dikutip Buku Pegangan Legio Maria, bab 3, menyerahkan diri dan kerasulan ke dalam perhatian keibuan Maria. Hal ini berlangsung dalam suatu devosi (bakti) yang mendalam kepada Maria. Melalui bakti kepada Maria itu, mereka bertumbuh dalam hal keserupaan dengan Yesus Kristus dan bergiat untuk ambil bagian dalam tugas keibuan Maria bagi umat manusia. Menurut Montfort, devosi (bakti) marial yang secara sempurna dapat memghantar orang kepada keserupaan dengan Kristus, menyatukan diri dengan Dia dan membaktikan diri secara paling sempurna kepada-Nya adalah “pembaktian diri yang sempurna dan menyeluruh kepada Perawan tersuci”. Montfort menyebutnya sebagai “pembaktian yang sempurna kepada Yesus Kristus” (True Devotion to Mary, no. 120). Bakti inilah yang dimaksudkan oleh Duff dalam Buku Pegangan Legio Maria ketika mengatakan, “Diharapkan bahwa pelaksanaan bakti Legio kepada Maria disempurnakan dan diberi ciri yang khas seperti diajarkan oleh Santo Louis- Marie de Montfort dengan istilah ‘bakti sejati’ atau ‘perhambaan kepada Maria’”.

4. Pembaktian Diri kepada Yesus Kristus Melalui Maria

Ajaran Montfort tentang praktik bakti marial yang paling sempurna dapat ditemukan pada True Devotion to Mary, no. 118-273. Pada no. 120 dari buku ini, praktik bakti itu disebut “pembaktian yang sempurna kepada Yesus Kristus” atau “pembaktian diri yang sempurna dan menyeluruh kepada Perwan Tersuci” atau “pembaharuan yang sempurna dari

semua ikrar dan janji pembaptisan”. Dalam tulisan ini, kami menyebutnya sebagai “Pembaktian Diri kepada Yesus melalui Maria” atau disingkat menjadi “Pembaktian Diri”.

Isi dari pembaktian diri ini dapat disimak pada no. 121 dari True Devotion to Mary yang dikutip oleh Duff dalam Buku Pegangan Legio Maria, bab 6, no. 5, paragraf 2 dan tercantum juga dalam lampiran 5, no. 2. Montfort menulis:

“Bakti ini karenanya terletak pada memberikan diri seluruhnya kepada Perawan Tersuci, agar menjadi seluruhnya miliki Yesus Kristus melalui dia. Kita harus memberikan kepadanya:

  1. Tubuh kita beserta semua indera dan anggotanya;
  2. Jiwa kita dengan seluruh kemampuannya;
  3. Harta lahiriah kita yang kita sebut milik duniawi, yang sekarang dan yang akan datang;
  4. Harta batiniah dan rohani kita, yaitu pahala-pahala, keutamaan-keutamaan dan aneka karya baik kita. Ini mencakup harta batiniah dan rohani yang kita miliki di masa lampau, masa kini dan masa yang akan datang. Singkatnya, segala yanga kita miliki dalam tata alam dan dalam tata rahmat, dan segala yang di masa yang akan datang dapat kita miliki dalam tata alam, tata rahmat dan tata kemuliaan. Ini sifatnya tanpa kecuali, bahkan sepeser uang, sehelai rambut atau perbuatan baik yang paling kecil sekalipun tidak. Ini sifatnya untuk selama-lamanya. Ini dilakukan tanpa menuntut atau mengharapkan balasan apapun yang lain untuk persembhaan dan pelayanan kita, selain rasa hormat karena menjadi milik Yesus Kristus melalui Maria dan dalam Maria, yang adalah pemimpin yang baik hati, yang selalu paling murah hati dan paling tahu berterima kasih dibandingkan dengan segala makhluk lainnya.”

Seperti sudah disinggung, Pembaktian Diri ini disebut juga sebagai “pembaharuan yang sempurna dari semua ikrar dan janji pembaptisan” (True Devotion to Mary, no. 120). Pada no. 126, Montfort menulis:

“Aku telah katakan bahwa bakti ini dapat dengan tepat sekali disebut sebagai sebuah pembaharuan sempurna semua ikrar atau janji pembaptisan suci…. Pada saat pembaptisan, melalui mulutnya sendiri atau melalui mulut wali baptisnya, ia telah secara meriah menolak setan, semua godaan dan perbuatannya; dan telah memilih Yesus Kristus sebagai Guru dan Tuhannya yang berkuasa, untuk bergantung pada-Nya sebagai hamba karena kasih. Hal inilah yang dilakukan melalui bakti ini: orang menolak (seperti dinyatakan dalam rumusan pembaktian) setan, dunia, dosa dan dirinya sendiri dan dia memberi diri seluruhnya kepada Yesus Kristus melalui tangan Maria…. Pada saat pembaptisan suci, orang tidak memberikan diri kepada Yesus Kristus melalui tqangan Maria, sekurang-kurangnya secara eksplisit… Tetapi melalui bakti ini, orang memberikan dirinya secara eksplisit kepada Tuhan kita melalui tangan Maria”

Hakikat bakti ini terletak dalam batin (True Devotion to Mary, no. 266), yaitu “melakukan segala perbuatan kita melalui Maria, bersama Maria, dalam Maria dan untuk Maria, agar melakukan semuanya secara lebih sempurna lagi melalui Yesus Kristus, bersama Yesus Kristus, dalam Yesus dan untuk Yesus” (Bakti yang Sejati Kepada Maria, no. 257). Dalam Buku Pegangan Legio Maria, hal ini dapat dibaca pada lampiran 5, no. 3, bagian c. First, melalui Maria. Frase ini merujuk pada hidup dalam Roh dan itu berarti menyangkal roh sendiri. Bila demikian, kita terhindar dari dosa, dari hal-hal yang bertentangan dengan apa yang menjadi kehendak Allah. Montfort menulis: “Kita harus melakukan perbuatan kita melalui Maria, artinya kita harus taat dalam segala sesuatu kepada Perawan Tersuci, dan membiarkan diri kita dibimbing dalam segala sesuatu oleh Roh Maria, yang adalah Roh Kudus Allah (True Devotion to Mary, no. 258).

Second, dengan Maria. Frase ini merujuk pada hal meneladani Maria: melakukan segala sebagaimana seandainya Maria yang melakukannya. Dengan begitu, melalui perjumpaan dengan kita, orang akan mengalami kasih keibua Maria. Montfort menulis:

“Kita harus melakukan perbuatan kita bersama Maria: artinya, dalam semua perbuatan kita, kita harus memandang Maria sebagai model yang sempurna dari setiap keutamaan dan kesempurnaan yang dibentuk oleh Roh Kudus di dalam seorang makhluk semata-mata, agar kita teladani sesuai dengan kemampuan kita yang terbatas.” (True Devotion to Mary, no. 260).

Third, dalam Maria. Frase ini merujuk pada keterbukaan yang sadar untuk menerima tugas keibuan Maria atas diri kita. Berkat partisipasi yang sadar pada tugas itu, kita berkembang dalam keserupaan dengan Yesus Kristus. Montfort menulis:

“kita harus tinggal dalam batin yang indah dari Maria dengan gembira, beristirahat di situ dalam damai, menyandarkan diri di situ dengan penuh kepercayaan, menyembunyikan diri di situ dengan aman dan menghilangkan diri di situ tanpa kecuali agar di dalam rahimnya yang perawan ini: 1) kita dipelihara dengan susu rahmat dan kerahiman keibuannya; 2) kita dibebaskan dari segala gangguan, ketakutan dan keragu-raguan; 3) Kita dilindungi dari segala musuh kita…. 4) kita dibentuk dalam Yesus Kristus dan Yesus Kristus dibentuk dalam kita….” (True Devotion to Mary, no. 264).

Fourth, untuk Maria. Frase ini merujuk pada melakukan sesuatu sebagai ungkapan kasih kepada Maria. Kita mengabdi sebagai “hamba karena cinta” kepadanya. Maria menjadi sasaran sikap hati kita dan hal itu terjadi karena dan demi Allah. Montfort menulis:

“Kita harus melakukan semua perbuatan kita untuk Maria. Oleh karena kita menyerahkan seluruh diri kita bagi pelayanan kepadanya, maka adalah wajar bahwa kita melakukan segala sesuatu untuknya, seperti yang seorang abdi atau seorang pelayan atau seorang hamba lakukan untuk tuannya. Kita tidak menganggap Maria sebagai tujuan akhir dari semua pelayanan kita, sebab tujuan akhir ini hanyalah Yesus Kristus, melainkan sebagai tujuan dekat kita dan sebagai lingkungan rahasia kita dan sebagai sarana mudah kita” (True Devotion to Mary, no. 265).

Selain praktik batiniah, Montfort juga mengajukan praktik-praktik lahiriah yang dapat menunjang praktik batiniah di atas. Kami menyebutkan salah satunya saja, yaitu tindakan membaktikan diri yang diungkapkan dengan mengucapkan rumusan pembaktian diri (True Devotion to Mary, no. 227-233). Itulah kiranya yang dimaksudkan oleh Duff dalam Buku Pegangan Legio Maria dengan mengatakan, “Bakti sejati ini dimulai secara resmi dengan mengucapkan rumusan pebaktian diri”. Rumusan pembaktian diri yang dimaksud dapat ditemukan dalam lampran 1 True Devotion to Mary, hlm. 215-218. Uraian Montfort prihal bagaimana praktik ini dilaksanakan dapat ditemukan pada Bakti yang Sejati Kepada Maria, no. 227-233. Initnya, praktik ini dipersiapkan selama 33 hari. Tindakan ini dapat diperbaharui setiap tahun atau bulan dan bahkan setiap hari dengan doa singkat ini: “Ya Yesusku yang terkasih, aku seluruhnya adalah milik-Mu, dan seluruh milikku adalah milik- Mu, melalui Maria ibunda-Mu yang suci” (True Devotion to Mary, no. 233). Dengan mendaraskan rumusan ini secara sadar, kita menghayati hidup kita sebagai yang dibaktikan kepada Yesus melalui Maria sehingga sungguh menjadi miliki Yesus.

Praktik lahiriah di atas ditindaklanjuti dalam penghayatan hidup selanjutnya. Pembaktian diri bukanlah suatu rumusan kata-kata, tetapi suatu praksis hidup yang berlangsung terus. Dalam Buku Pegangan Legio Maria bab 6, no. 5 dikatakan demikian:

“Bakti sejati ini dimulai secara resmi dengan mengucapkan rumus Pembaktian Diri, namun terutama terdiri dari penghayatan Pembaktian Diri itu selanjutnya. Bakti Sejati bukan sekadar pengucapan suatu rumusan saja, melainkan suatu keadaan yang berlangsung terus. Kecuali jika Maria menjadi pemilik dari seluruh kehidupan seseorang, dan bukan hanya dari beberapa menit dan jam dalam hidup itu, pengucapan rumus Pembaktian Diri – walau sering diulang – hanya akan bernilai sebagai doa sepintas lalu. Seperti sebuah pohon yang sudah ditanam, tetapi tidak pernah berakar.”

5. Kesimpulan

Tujuan Legio Maria mengimplikasikan tugas ganda Legio, yaitu menguduskan diri sendiri dan melayani sesama. Esensi dari kedua tugas ganda ini adalah mengupayakan pertumbuhan dalam hal kesatuan dan keserupaan dengan Kristus. Legio Maria mengimani bahwa hal itu pertama-tama merupakan tugas keibuan Maria. Para legioner perlu menyambut peran keibuan Maria ini dengan membangun relasi yang akrab dengan Maria dan itulah devosi Marial. Relasi yang akrab ini kemudian mendorong legioner untuk ambil bagian dalam tugas keibuan Maria dan itulah kerasulan. Maka, hanya ada satu asas pada Legio Maria, yaitu Maria. Kerasulan, sebagai partisipasi dalam tugas keibuan Maria, merupakan dampak dari kesatuan dengan Maria yang terjalin dalam devosi marial para legioner.

Montfort menyajikan fondasi teologis dari tugas keibuan Maria ini, yakni peran Maria dalam misteri Inkarnasi. Keibuan Maria atas Yesus dalam peristiwa Inkarnasi menjadi dasar bagi keibuan aktualnya bagi kelahiran dan pertumbuhan umat manusia dalam hal kesatuan dan keserupaan dengan Yesus. Lebih dari itu, Montfort mengajarkan suatu bentuk devosi marial yang secara sempurna dapat menghantar devosan pada kesatuan dan keserupaan dengan Yesus dan melibatkan mereka dalam tugas keibuan Maria bagi umat manusia. Bakti itu disebut “pembaktian yang sempurna kepada Yesus Kristus” atau “pembaktian diri yang sempurna dan menyeluruh kepada Perwan Tersuci” atau “pembaharuan yang sempurna dari semua ikrar dan janji pembaptisan”. Duff, mengharapkan agar para legioner menghayati semangat devosi marial yang diajarkan Montfort itu. Karena itu, tepatlah bila Montfort dipandang sebagai guru, istimewanya guru spiritualitas marial misioner Legio Maria.

Pengakuan di atas mendorong para legioner untuk mendalami tulisan-tulisan Montfort terkait spritualitas marial misioner. Akan tetapi, apa yang diajarkan oleh Montfort adalah apa yang dihidupinya sebagai seorang yang hendak bertumbuh dalam hal keserupaan dengan Kristus dan yang melibatkan diri dalam tugas keibuan Maria (kerasulan). Hal ini telah kita simak secara sepintas pada bagian pertama tulisan ini (hidup dan karya misioner Louis-Marie de Montfort). Karena itu, Montfort menjadi guru spiritualitas marial misioner Legio Maria bukan hanya melalui tulisan-tulisannya, tetapi juga melalui hidup dan karya misionernya. Para legioner tidak hanya dihimbau untuk membaca warisan spiritualitas marial misioner Montfort dalam tulisan-tulisannya, tetapi juga dalam kisah hidup dan karya misinya.

Fr. Gregorius Pasi, SMM

Catatan Kaki:

  1. Bdk. J. Hémery, “Baptism” dalam Stefano De Fiores (general edtior), Jesus Living in Mary: Handbook of the Spirituality of St. Louis-Marie de Montfort (Bay Shore, NY: Montfort Publications, 1994), 47. ↩︎
  2. Menurut Grandet, Montfort menambahkan kata “Marie” pada namanya ketika ia menerima Sakremen Krisma. Lihat J. Vettikal dan S. De Fiores, “Childhood” dalam dalam Stefano De Fiores (general edtior), 153. ↩︎
  3. Blain, J.-B. Abrégé de la vie de Louis-Marie Grignion de Montfort (Rome, 1973), 52, dikutip oleh P. Gaffney dalam Stefano De Fiores (general editor), 695. ↩︎
  4. R. Deville, “The French School of Spirituality” dalam Stefano De Fiores (general editor), 454-457. ↩︎
  5. Paus Yohanes Paulus II, Kurnia dan Misteri: Ulang Tahun Imamatku yang ke 50, Penterjemah J. Hadiwikarta (Jakarta: Obor, 1977), 32. ↩︎
  6. Stefano de Fiores dan Alphonse Bossard, “Montfort, Saint Louis Marie de” dalam Stefano De Fiores (general editor), 769-780. ↩︎
  7. Louis-Marie Grignion de Montfort, The Love of Eternal Wisdom, Penterj. SMM Bandung, 2005, no. 10. ↩︎
  8. Ibid., no. 54. ↩︎
  9. Paus Yohanes Paulus II, Kurnia dan Misteri, 37 ↩︎
  10. Arnold Suhardi, “Guru Legio Maria: St. Louis-Marie de Montfort. Buku Pegangan Legio Penuh dengan Semangat Jiwanya” dalam Menjelajah Dunia Menyelamatkan Sesama (Open House Seminari Montfort Pondok Kebijaksanaan, 26-28 April 2008), 37. ↩︎
  11. John Murray, A Journey of a Thousand Leagues Begins …, in Symposium on the Legion of Mary, Dublin, 1957, hlm. 11. Dikutip R.M. Charest, “Legion of Mary” dalam Stefano De Fiores (general editor), 598. ↩︎
  12. Suhardi, 37. ↩︎
  13. Ibid, 52. ↩︎
  14. R.M. Charest, “Legion of Mary” dalam Stefano De Fiores (general editor), 603. ↩︎
  15. Ibid., 604. ↩︎
  16. Suhardi, 62-63. ↩︎
  17. C. Groenen, Mariologi Teologi & Devosi (Yoyakarta: Kanisius, 1988), 150-151. ↩︎

Share: