Misi SMM Indonesia Dari Perspektif Sejarah

I. PENGANTAR

Kehadiran SMM di Indonesia tidak lepas karya misi. Misilah yang menghantar SMM berkarya di bumi Indonesia. Melihat kehadiran SMM dari perspektif misi hendak menggali kembali semangat misioner yang dihidupi oleh para misionari perintis SMM Indonesia dan pada saat bersamaan mempertegas identitas misioner serikat bagi kita, montfortan masa kini.

II. Selayang Pandang Kehadiran SMM di Indonesia

Serikat Maria Montfortan hadir di bumi Indonesia didasari oleh kebutuhan tenaga misionaris yang terjadi di Perfektur Apostolik Borneo, yang sejak tahun 1905 menjadi tanggung jawab para Kapusin. Tercatat, korespondensi pertama dengan pihak SMM dilakukan oleh pimpinan Kapusin Belanda tahun 1924. Usaha meyakinkan para montfortan untuk hadir dan berkarya kemudian berlanjut tahun 1936 masih dari pimpinan Kapusin Belanjda. Pada tahun yang sama, Perfek Apostolik Kalimantan Mgr. Valenberg menulis permohonan yang sama kepada pihak SMM Belanda untuk mengambil alih sebagian misi di Kalimantan Barat, yaitu wilayah keresidenan Sintang. SMM Belanda memerlukan waktu 4 tahun lamanya untuk mempertimbangkan tawaran tersebut. Realisasi korespondensi ini terjadi tahun 1939, tatkala 3 misionaris: P. H. L’Ortye, P. Jan Linssen, dan Br. Bruno diutus ke Kalimantan Barat.

Hal penting yang perlu kita catat dibalik perutusan para montfortan ini adalah bahwa misi di Kalimantan Barat: wilayah Sintang dan Putussibau dipersembahkan dalam lindungan Santa Maria: Santa Maria Bintang Laut dan Bunda Maria dari Scherpenheuvel. Tentang ini memang tidak mendapat tempat yang besar dalam penulisan sejarah SMM oleh Pater Piet. Namun, sekelumit cerita perjalanan awal para montfortan pertama ini mengingatkan akan kesatuan yang tidak terpisahkan dari identitas montfortan sendiri, seperti yang dirindukan oleh Montfort: Misionaris dan Anak Maria.

Perjalanan misioner para montfortan awal ini merupakan sebuah kisah yang Panjang dan menentukan hidup dan karya SMM Indonesia saat ini. Hadir di tempat baru dengan segala tantangannya bukanlah hal yang mudah dan gampang. Semangat misioner para Montfortan awal tidak surut ditengah segala keterbatasan yang mereka alami dan rasakan.

Lebih lanjut, tahun-tahun pertama di Vikariat Pontianak (1939-1947) merupakan tahun-tahun yang sangat sulit dan menantang. Medan yang luas dengan tenaga yang terbatas menuntut pengorbanan yang tidak sedikit. Belum lagi sarana dan prasarana yang terbatas. Meski mendapat tambahan tenaga baru ditahun-tahun kemudian, namun wilayah yang luas dan berat tetap menjadi tantangan tersendiri dalam perjalanan para Montfortan. Belum lagi masalah politik dan penjajahan turut mewarnai situasi sulit ditahun-tahun awal kehadiaran para montfortan.

Akan tetapi, semangat misioner yang tak padam oleh keadaan dan kesulitan di tanah misi merupakan kesaksian yang tak pernah lekang dimakan waktu. Tepat kiranya jika kita melihat semangat dan kesaksian hidup para montfortan awal ini sebagai bukti bahwa karya misi bukanlah tentang proyek dan metode pastoral semata. Ini tentang Kristus dan Gereja-Nya. Kesaksian para Montfortan awal menjalani karya misi di Sintang dan Putussibau mengingatkan kita akan kata-kata Montfort sendiri: “Bila manusia lebih dulu menanganinya tidak akan terjadi apa-apa; bila manusia campur tangan dan mencampuri miliknya dengan milik-Mu, semuanya akan dirusakannya, semua akan dikacaubalaukannya” (DM 26).

Misi sebagai misi Allah inilah yang mengarahkan langkah-langkah para Montfortan untuk membangun misi di Sintang dengan segala tantanganya. Misi Allah mendorong para Montfortan untuk membaca situasi dan keadaan serta memikirkan metode yang tepat menjawab situasi dan keadaan. Kurun waktu 1948-1958 merupakan periode penting dalam perjalanan sejarah Montfortan di Indonesia. Perluasan karya pastoral dilakukan berdasarkan pada kepekaan akan kebutuhan umat, bukan sekedar memenuhi kontrak kerja dengan Vikariat Apostolik untuk mengambil alih wilayah misi Sintang dan Kapuas Hulu. Hal ini menjadi salah satu kriteria penting dalam perjalan misi para Montfortan. Kriteria ini tidak dapat dipandang sebelah mata, karena sekali lagi menggemakan hidup Montfort sendiri. Kita ingat perutusan Montfort sebagai misionaris Apostolik. Dia diutus oleh Paus untuk menjalankan misi di Prancis, meski kerinduannya untuk menjalankan misi ke luar negeri. Kebutuhan penting akan pembaharuan hidup kristiani pada jamannya menjadi kriteria pertama Montfort untuk seluruh karya misinya.

Perjalanan SMM di Indonesia melewati fase-fase yang sulit tidak dapat dilepaskan dari dinamika kreatif dalam memelihara identitas sebagai misionaris Serikat Maria. Ada banyak catatan dalam buku Pater Piet yang memperlihatkan bahwa identitas sebagai montfortan ditanggapi secara kreatif dan dinamis. Hal yang cukup mencolok misalnya masalah yang dihadapi soal gaya hidup para montfortan di medan pastoral dan mereka yang berada di biara. Sebuah pergulatan yang sampai saat ini mungkin masih cukup mewarnai dinamika perjalanan SMM Indonesia. Dalam dinamika ini kita menemukan arti penting untuk membaharui diri dan nilai penting identitas sebagai misionaris Serikat Maria dalam perutusan. Kratif dan dinamis dalam menghayati identitas ini terjawab juga secara menyeluruh oleh Serikat melalui revisi konstitusi: 1971, 1975 dan 1994. Revisi ini memperlihatkan identitas sebagai seorang Montfortan tidak dapat diabaikan dalam perutusan dan pada saat yang sama identitas sebagai Montfortan adalah pergumulan tanpa henti.

Dalam menjalani karya misi di Sintang dan Kapuas Hulu, serta perkembangannya ke arah Melawi, Para Montfortan memperlihatkan arti penting kerjasama dan semangat lepas bebas. Dalam hal kerjasama, kita perlu mencatat bagaimana misi di Sintang dan Kapuas Hulu dengan jangkauan yang luas mendorong kerjasama yang intensif dan berjalan baik dengan tarekat-tarekat lain. Kolaborasi yang tidak bisa diangkat sepele, karena memperlihatkan bahwa para Montfortan tidak sedang membangun kerajaan montfortan di Sintang dan Kapuas Hulu. Para Montfortan menjalani karya perutusan seperti yang dijalani oleh Montfort sendiri, sebagai Bapa Pendiri, yang diterimanya dari Gereja. Kesadaran inilah yang mendorong sebuah kolaborasi fraternal dan mengatasi perbedaan dalam metode pastoral dengan tarekat-tarekat yang kemudian ikut berkarya di Keuskupan Sintang: OMI, SVD, Passionis. Sebuah kerjasama yang sebelumnya sudah ditunjukkan dengan para Suster SMFA, yang telah lebih dulu hadir di wilayah Sintang dan Kapua Hulu.

Semangat lepas bebas juga ditunjukkan oleh para Montfortan dalam berkarya di wilayah Sintang dan Kapuas hulu yang sejak 1948 menjadi Perfektur Apostolik dan 1961 dinaikan statusnya menjadi keuskupan. Hal ini misalnya kita catat ketika para Montfortan perlahan-lahan memberikan tanggung jawab perjalanan Keuskupan Sintang ke tangan para imam diosesan. Bukan hal mudah. Sebagai tarekat yang memulai dan melahirkan Sintang sebagai keuskupan, tentu peralihan tidaklah mudah. Ada ketegangan-ketegangan yang menghiasi perjalanan peralihan ini. Tetapi, secara positif, kita perlu membacanya dari semangat lepas bebas. Lepas-bebas, barangkali secara tepat dibahasakan sebagai DNA para montfortan. Contoh dan kesaksian hidup seorang Pastor Lambertus van den Boorn kiranya memperkuat hal tersebut.

Ketika menjalankan karya misi di Sintang, para montfortan juga menyadari arti penting pemberdayaan umat beriman. Pembangungan dan pendirian sekolah-sekolah yang ditangani oleh para Montfortan merupakan visi emansipatoris dan kontekstual. Para montfortan sungguh menyadari arti penting pemberdayaan umat dan sekolah sebagai jalan untuk pemberdayaan tersebut. Hal terakhir yang juga perlu untuk kita catat dalam perjalanan sejarah para Montfortan adalah pilihan penting untuk membuka formasi smm bagi orang pribumi. Jika kita membaca dengan baik, para montfortan awalnya tidak pernah memikirkan pembukaan formasi smm di Indonesia. Namun, perjalanan sejarah memperlihatkan titk balik penting dan penuh resiko diambil oleh para montfortan untuk memulai formasi bagi para montfortan pribumi. Hal ini tidak berjalan secara normal alias spontan. Perlu kita membaca dalam terang semangat hidup yang mengalir dari hidup Bapa Pendiri. Kita ingat kata-kata yang selalu kita hafal: jika kita tidak berani mengambil resiko, kita tidak pernah melakukan apapun bagi Dia. Hemat kami, kita hadir saat ini, merupakan buah dari keberanian untuk mengambil resiko yang besar para pendahulu.

III. Montfortan Indonesia: Konstant dalam konteks

Setelah melihat selayang pandang di atas, kiranya tepat jika melihat sejarah SMM Indonesia sebagai perjalanan misioner untuk konstan dalam konteks. Konstan dalam menghayati identitas dan nilai-nilai penting sebagai seorang Montfortan, dan pada saat yang sama sentiasa kreatif dan dinamis dalam konteks. Nilai-nilai penting yang membentuk identitas sebagai orang Montfortan merupakan nilai-nilai yang sifatnya tetap dan tak tergantikan. Identitas Montfortan senantiasa dibangun oleh nilai-nilai yang tetap. Tetap di sini maksudnya tidak dapat direlativir.

Sebagai nilai yang tetap, maka konsekuensi yang menyertainya adalah bahwa nilai-nilai senantiasa menjadi pergumulan bersama dan personal. Pergumulan bersama artinya, identitias dibangun lewat praktek correctio Fraternal. Tidak setiap konfrater mampu memperlihatkan penghayatan dalam tingkatan yang sama. Karakter diri, budaya dan pengalaman-pengalaman yang sosial setiap orang membawa pada perbedaan dalam penghayatan. Dalam perbedaan inilah semangat correctio fraternal itu berlaku. Kritikan dan masukan kiranya ditempatkan dalam tujuan untuk membantu satu sama lain

Di sisi lain, pergumulan jati diri sebagai seorang Montfortan juga mendorong masing-masing pribadi perlu untuk ber-on going formation. On going formation merupakan proses pemurnian, bukan sekedar realisasi diri. Tentu kita semua perlu merealisasikan diri kita masing-masing sebagai pribadi. Tetapi upaya realisasi diri itu harus dijalani dengan tujuan semakin mendalamnya penghayatan nilai-nilai sebagai montfortan tersebut. Dalam ratio volume pertama kita menemukan ikon-ikon seorang montfortan: Mata yang terarah kepada Kebijaksanaan, telinga yang penuh perhatian pada jawabab Maria, hati yang dipersembahkan kepada Yesus dan dipercayakan kepada Maria, mulut yang dipenuhi Sabda Injil, tangan terangkat dalam doa, berdiri di kaki salib, mengarahan mata kepada pembaharua Gereja, Liberos, orang-orang yang langkahnya dibimbing oleh Roh Kudus, berangkat bersama-sama orang lain untuk mewartakan Kabar Gembir Kristus kepada orang miskin dan sebuah  ikon pengharapan.

Dalam hubungan dengan ikon-ikon ini, perlu kita mencatat bahwa ikon ini direalisasikan melalui segala bakat dan talenta pribadi. Karena itu, ikon-ikon ini dilewati dalam semangat pertobatan terus menerus agar mengantar kita kepada hidup misi dan perutusan kita. Menjadi montfortan adalah sebuah proses yang sudah dan belum. Artinya, menjadi seorang misionaris montfortan senantias masuk dalam penghayatan akan ikon-ikon tersebut dengan segala kelebihan dan kekurangannya.

Proses inilah yang kita sebut sebagai misi ke dalam, atau dengan istilah yang lebih akrab dan biblis sebagai proses menjadi murid. Proses asimilasi ikon-ikon montfortan adalah proses menjadi murid, seperti para murid Yesus Kristus yang dibentuk melalui lorong-lorong hidup dan teladan sang Guru. Proses menjadi murid ini tidak bisa diabaikan, karena setiap perutusan ke luar selalu merupakan gerak ke dalam menyelami diri sebagai seorang montfortan. Setiap langkah meninggalkan “Yerusalem” senantiasa mengandaikan fase atau tahap menjadi murid yang siap diutus (tinggal di senakel bersama Maria menantikan Roh Kudus). Semakin mampu menghayati pemuridan, semakin mampu seorang montfortan mengantisipasi bahaya yang sebut oleh Paus Fransiskus sebagai bahaya insignifikansi sebagai seorang montfortan. Atau bahaya kehilangnan identitas diri sebagai seorang Montfortan.

Di sisi lain, fase menjadi murid (bertumbuh dan berkembang dalam nilai-nilai Montfortan) pada saat yang sama menuntut kesiap sedian untuk ditiup ke arah Roh Kudus meniup. Perutusan merupakan buah pemuridan. Tetapi pada saat yang sama, perutusan menuntut pengenalan akan konteks. Konteks memang bukan istilah yang sederhana. Konteks setidaknya mengandung 4 arti: 1) pengalaman personal dan komunal; 2) budaya; 3) lokasi sosial; 4) perubahan sosial.

Apa yang penting dari pengindahan konteks dalam perutusan dan realisasi ikon kita sebagai montfortan adalah soal kreativitas dan relevansi kehadiran kita sebaga Montofrtan. Maka pastoral a la Montfort bukan soal menjiplak cara dan bentuk misi Montfort. Karena jika itu terjadi maka kita akan mengalami kegamangan pastoral. Montfort hidup pada zamannya. Bentuk misi dan cara misi Montfort menjawab tantangan zamannya. Tidak mungkin mengambil bentuk dan cara bermisi Montfort untuk konteks dan perutusan kita yang berbeda-beda. Tetapi di sinilah arti kreativitas dan kontekstualisasi.

Kreativitas adalah cara pastoral yang dijalankan menjawab konteks seturut nilai-nilai sebagai seorang montfortan. Jadi, kreativitas merupakan cara baru yang dijalankan dalam pastoral yang mengindahkan konteks dan nilai-nilai yang terbentuk dalam ikon kita sebagai soerang Montfortan. Tidak mengherankan jika membaca konstitusi, di sana kita menemukan penegasan berikut: secara berkala pelu diadakan suatu penyelidikan terhadap kegiatan kita yang beraneka ragam itu, untuk mengusahakan suatu pembedaan antara kegiatan yang mengikuti garis tradisi Montfortan yang khas, dan yang menyimpang. Dengan kata lain, sebuah cara atau metode baru tidak hanya soal kebaruannya. Tetapi soal bagaimana kebaruan dalam berpastoral itu tetap mengindahkan konteks dan identitas. Contoh model ini adalah safari rosario di keuskupan Ruteng, atau perarakan Patung Maria di Paroki Putussibau.

Kontekstualiasasi sebetulanya dapat dimengerti dengan istilah lain inkulturasi. Ini adalah soal mengintegrasikan nilai-nilai injil kedalam konteks di mana kita berkarya. Jadi tidak terbatas hanya pada budaya semata. Inkulturasi dari perspektif kita para Montfortan adalahh menginkulturasikan nilai-nilai injil yang terangkum dalam spiritualitas montfortan sehingga menjadi gaya hidup yang relevan bagi orang yang kita layani. Contohnya adalah Pembaktian Diri, sebagai kristalisasi nilai-nilai Injili yang ditangkap oleh Montfort, kita integrasikan ke dalam hidup umat yang kita layani sehingga melalui pembaktian diri orang zaman sekarang mampu menghayati hidup kristiani mereka. Maka, istilah konstan dalam konteks sebetulnya merangkul dua hal dalam satu misi yang sama: misi montfortan. Hal pertama adalah soal pembentuk identitas sebagai murid Santo Montfort dan kedua adalah tindakan keluar yang ditandai oleh kreativitas dan kontesktualisasi atau inkulturasi.

Maka, istilah konstan dalam konteks sebetulnya merangkul dua hal dalam satu misi yang sama: misi montfortan. Hal pertama adalah soal pembentuk identitas sebagai murid Santo Montfort dan kedua adalah tindakan keluar yang ditandai oleh kreativitas dan kontesktualisasi atau inkulturasi.

IV. Penutup

Belajar sejarah, kita bisa menemukan bahwa para Montfortan awal telah memberikan contoh dan teladan bagaiamana hidup dan kesaksian mereka menjadi relevan bagi umat yang dilayaninya karena senantiasa mengalir dari identitas mereka sebagai Montfortan. Identitas dan bentuk-bentuk pastoral baru harus berjalan bersama, sehingga kita tetap memelihara kekhasan kehadiran kita sebagai montfortan dalam menjawab kebutuhan umat.

RP. Rafael Lepen, SMM

Bagikan: