P. Fidelis Wotan, SMM
Pengantar
Nama Louis-Marie Grignion de Montfort belum begitu terkenal dan belum banyak disebut dalam sejarah teologi. Dari sekian banyak mistikus, harus diakui bahwa Montfort tidak memiliki reputasi sekelas Ignatius dari Loyola, Teresa dari Avila atau Yohanes dari Salib. Meskipun demikian, sejak dikanonisasi oleh Paus Pius XII (1947), nama Montfort mulai diperhitungkan dalam Gereja, secara khusus kontribusi pemikirannya di bidang Mariologi. Dalam hal ini, Paus Yohanes Paulus II menyebut Montfort sebagai saksi dan guru spiritualitas Maria.
Montfort memang disebut sebagai guru Spiritualitas Maria, namun pemikirannya ternyata tidak hanya terbatas pada bidang mariologi, tetapi mencakup pula bidang-bidang lainnya, misalnya, kristologi, pneumatologi, eklesiologi, dsb. Upaya untuk mendalami dan memperkenalkan pemikirannya dalam beberapa bidang tersebut terus-menerus dilakukan terutama oleh para montfortan maupun kaum awam yang menaruh minat terhadap Spiritualitas Montfort. Meskipun demikian, harus diakui bahwa studi terhadap tulisan-tulisannya masih terbatas, khususnya di Barat. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa tulisan-tulisan Montfort ternyata belum banyak dieksplorasi dan dipelajari, misalnya di Timur, khususnya, Indonesia. Harus diakui pula bahwa nama Montfort (termasuk juga tulisan-tulisannya) belum begitu familiar di Indonesia dan belum diperkenalkan secara luas. Menyadari kenyataan ini, maka penulis memiliki antusiasme yang mendalam untuk mulai mengeksplorasi dan memperkenalkan kekayaan pemikiran atau pun penghayatan hidup orang kudus ini.
Penulis menyadari bahwa tulisan yang berjudul: KENOSIS: JALAN TRANSFORMASI DIRI (Kajian Teologi Spiritual Menurut St. Montfort dan Aktualitasnya Bagi Umat Kristiani Dewasa ini) belum sempurna dan memuaskan. Dari sebab itu, segala macam kritik dan saran dari para pembaca untuk semakin menyempurnakan tulisan ini, akan diterima dengan senang hati.
Akhirnya, semoga tulisan sederhana ini dapat berguna bagi para pembaca, khususnya kaum Kristiani dewasa ini yang ingin mengalami persatuan dengan Kristus dalam dan melalui pengosongan diri (kenosis)
KENOSIS DALAM TEOLOGI KRISTIANI
Peristiwa inkarnasi seringkali dilukiskan sebagai kenosis. Kata ini biasanya diterjemahkan ”pengosongan”, sebuah istilah teologis yang muncul dalam Flp 2:6-11. Bab ini secara khusus membahas kenosis Allah dalam Teologi Kristiani.
Menurut M. J. Gorman, teks Flp 2:6-11 selama bertahun-tahun dilihat sebagai salah satu teks yang paling penting dalam semua surat Paulus. Teks ini sering dikenal sebagai Madah Kristus, Madah Kristologi. Baginya, teks ini menyatakan pula suatu makna penting dari teologi Paulus, yakni ajarannya tentang Allah.[1] Untuk mendalami lebih jauh kenosis Allah dalam madah tersebut, penulis akan menjelaskannya dalam uraian di bawah ini. Pemahaman tentang kenosis tersebut akan dijelaskan mulai dari Kitab Suci, Tradisi Kristiani, hingga ajaran Katekismus Gereja Katolik.
Arti Kenosis
Kenosis merupakan sebuah istilah teologis kekristenan awal yang berhubungan dengan inkarnasi Kristus. Dari sudut etimologis¸ kata kenosis berasal dari bahasa Yunani kenós[2] yang berarti kosong.[3] Menurut Xavier Leon-Dufour, kenosis berarti ”tindakan berupa mengosongkan, meniadakan” (kata Yunaninya adalah kenóō).[4] Istilah kenosis khas dalam bahasa teologis untuk mengungkapkan ide peniadaan yang muncul dalam surat Paulus kepada jemaat Filipi 2:7 : ”melainkan telah mengosongkan diri-Nya….”[5]
Menurut J. Daane, beberapa doktrin Kristiani telah mendiskusikan istilah tersebut, akan tetapi orang mengalami kesulitan untuk memahaminya. Penyebab utama yang menjadi kesulitan dalam memahami istilah tersebut terletak dalam misteri inkarnasi dan kematian Putra Allah, yang menjadi manusia tanpa berhenti menjadi Allah.[6] Penulis tidak akan membicarakan hal ini secara rinci, tetapi hanya memfokuskan diri pada ”arti” kenosis itu sendiri.
1. Dalam Kitab Suci
Para ahli kenotik melihat Flp 2:6-11 sebagai teks yang paling penting mengenai pengosongan diri Kristus.[7] Pada umumnya teks ini dilihat sebagai Madah Kristus yang ditulis oleh Paulus. Teks ini berbunyi:
“… Kristus Yesus 6 yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, 7 melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan menjadi sama dengan manusia. 8 Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib. 9 Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama, 10 supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, 11 dan segala lidah mengaku: “Yesus Kristus adalah Tuhan,” bagi kemuliaan Allah, Bapa!”
Madah tersebut terdiri atas dua bagian utama, yakni bagian pertama (ayat 6-8) menggambarkan perendahan diri Kristus dan bagian kedua (ayat 9-11) melukiskan peninggian Kristus. Brendan Byrne mengatakan bahwa sesungguhnya ada bermacam-macam perbedaan penafsiran yang begitu besar mengenai madah ini. [8] Sehubungan dengan hal itu, penulis tidak bermaksud memaparkan perbedaan penafsiran tersebut secara rinci. Teks Flp 2:6-11 menunjukkan sikap pengosongan diri Yesus, Dia yang mau mengambil wujud seorang hamba. Bagaimanakah kata kenosis ini dipahami dalam Flp 2:7?
Beberapa ekseget melihat bahwa Madah Kristologi yang digagas Paulus di atas merupakan kombinasi dari nyanyian penderitaan Hamba Yahwe (Yes 53) dan lukisan tentang seorang seperti anak manusia dalam Dan 7:13. Gagasan seperti ini bisa dilihat dalam tafsiran E. Lohmeyer[9] dan J. Jeremias. Dalam madah ini, Kristus dilihat sebagai antitipos dari Adam atau manusia pertama yang tidak taat. Antara Adam dan Yesus tampak sekali sebuah perbedaan sikap yang sangat mendasar, di mana yang seorang ingin menjadi Allah (bdk. Kej 3:5-6), sedangkan yang lain justru sebaliknya menunjukkan sikap “pengosongan diri” dengan menjadi seorang hamba (Flp 2:7).[10] Sebagai kata benda, kata kenosis dipakai dalam arti teknis tentang teori kristologis yang menunjukkan bagaimana Pribadi Kedua dalam Trinitas dapat memasuki kehidupan manusia, sehingga memungkinkan adanya pengalaman manusia sejati yang diuraikan oleh para penginjil.
Berikut ini penulis mencoba mendalami teks Flp 2:6-11. Untuk mendukung upaya ini, penulis merujuk beberapa pemikiran atau tafsiran, dari para ekseget dan teolog, baik dari pihak Protestan maupun Katolik.
1.1. Yesus Kristus, Allah yang Mengosongkan Diri-Nya
Dalam sejarah keselamatan umat manusia, dapat dilihat bahwa tidak ada seorang pun yang benar-benar mengosongkan diri-Nya secara sempurna selain Yesus Kristus. Dia adalah Allah yang mengosongkan diri-Nya menjadi manusia biasa tanpa pernah berhenti menjadi Allah. Ini berarti Allah ingin masuk ke dalam kondisi hidup manusia.[11] Untuk memahami mengapa dan bagaimana Yesus berkenan menghampakan diri-Nya, maka berikut ini dipaparkan refleksi teologis yang ada dalam Flp 2:6-11.
F. Bruce melihat bahwa Yesus menunjukkan sikap perendahan diri-Nya. Lewat sikap ini, Yesus mengambil kodrat sebagai seorang hamba dan mau taat sampai mati di kayu salib.[12]
Menarik untuk diperhatikan bahwa walaupun Yesus berada dalam rupa Allah (bdk. Ayat 6a), Ia tidak menganggap keadaan-Nya ini sebagai milik yang harus dipertahankan.[13] Frasa “walaupun dalam rupa Allah ….” mau mengatakan bahwa Kristus bukan saja sama dengan Allah, tetapi sesungguhnya Ia adalah Allah. Posisi berada dalam rupa Allah ini dilihat Bruce sebagai “partisipasi dalam esensi” (participation in the essence). Partisipasi yang dimaksudkan Bruce adalah partisipasi dalam hal memiliki esensi atau kodrat yang sama sebagai Allah. [14] Dengan demikian, tepatlah kalau Yesus pun memiliki esensi yang sama dengan Allah. Jadi, Yesus berada dalam rupa Allah. Menurut Leon Morris, frasa “dalam rupa Allah”, “tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan” (ayat 6) menunjukkan keilahian Kristus.[15]
Yesus tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus Ia pertahankan. Ia justru mengosongkan diri-Nya sendiri dan mengambil rupa seorang hamba dan menjadi sama dengan manusia (ayat 7). Apa maksud Yesus mengosongkan diri-Nya? Dari apakah Ia mengosongkan diri-Nya? Apakah dengan tindakan ini, Ia kehilangan keallahan-Nya? Apakah ini merupakan sesuatu yang dipaksakan dari luar diri-Nya? Apakah ini merupakan sebuah nasib yang harus dipikul-Nya, ataukah bukan?
Menurut Bruce, penggunaan kata “mengosongkan” (kenóō), ditafsir oleh para ahli dengan berbagai cara. Ia mengutip pandangan dari salah seorang ahli, misalnya, B. F. Westcott yang berkata bahwa Yesus mengosongkan diri-Nya dari lencana (insignia) keagungan atau kekuasaan tertinggi.[16] Bruce sendiri menafsir frasa dalam ayat 7 tersebut demikian: ….Ia menanggalkan diri-Nya; bukan kodrat ilahi-Nya, oleh karena hal ini tidak mungkin, melainkan kemuliaan, hak prerogatif dari yang Ilahi. Apa yang bisa dikatakan tentang tafsiran ini? Tafsiran ini menekankan bahwa Yesus sama sekali tidak mengosongkan kodrat keallahan-Nya, melainkan kemuliaan-Nya. Dengan demikian, kodrat-Nya sebagai Allah tetap ada.
Yesus “mengosongkan diri-Nya” khususnya dengan cara mengambil kodrat seorang hamba (hurufiahnya, “rupa seorang hamba”). Hal ini tidak berarti bahwa ia menggantikan kodrat Allah dengan kodrat atau rupa seorang hamba. Berkenaan dengan tafsiran ini, Bruce menampilkan sebuah ilustrasi dari Injil Yoh 13:3-5, yaitu pada peristiwa Perjamuan Malam Terakhir, di mana Yesus dengan penuh kerendahan hati membasuh kaki para murid-Nya. Hal yang hendak diperlihatkan di sini adalah bahwa kodrat Ilahi-Nya sama sekali tidak ditunjukkan. Yesus semata-mata menunjukkan tindakan pelayanan sebagai seorang hamba.[17] Dengan kata lain, pembasuhan kaki para murid oleh Yesus sendiri menjadi contoh sikap kenosis di hadapan para murid-Nya. Inilah salah satu contoh konkret bagaimana Allah yang Maha Agung memberikan diri, menunjukkan kebesaran-Nya dalam pelayanan sebagai seorang hamba bagi sesama-Nya.
Kristus tidak dapat mengosongkan diri dari kodrat ilahi-Nya. Mengapa Ia tidak bisa melakukan demikian? Jac. J. Müller menegaskan bahwa jikalau Yesus benar-benar berbuat demikian, maka yang terjadi adalah Ia berhenti menjadi Allah.[18] Ia berkata bahwa ayat 7 sama sekali tidak memberikan jawaban atas pertanyaan “dari apakah Yesus mengosongkan diri-Nya”. Menurutnya, kebanyakan orang mengartikan Yesus mengosongkan diri-Nya dari rupa Allah atau dari “eksistensi kesamaan-Nya dengan Allah”. Namun menurut Müller, ayat tersebut tidak membenarkan tafsiran seperti itu. Yesus tidak mengosongkan diri-Nya dari rupa Allah. Jadi, ayat itu tidak mengatakan demikian: But He emptied Himself of it (melainkan Ia mengosongkan diri-Nya dari … ).[19] Dengan demikian, menurut Müller, lewat pengosongan-Nya, Allah justru berkenan mengambil rupa seorang hamba (bdk. ayat 7b).
Ada sebuah kata yang menarik untuk diperhatikan dalam ayat 6a yakni morphe (rupa). Menurut Graham Ward, morphe (rupa) merupakan sebuah kata yang dipakai untuk menyatakan atribut esensial dan bukan sesuatu yang bersifat eksternal belaka. [20] Dalam arti ini, frasa yang terdapat dalam ayat tersebut, “…berada dalam rupa Allah”, sesungguhnya menyatakan bahwa Yesus sehakikat dengan Allah. Ia memiliki atribut sebagai Allah oleh karena itu, keallahan merupakan esensinya. Dari sebab itu, ungkapan “…berada dalam rupa Allah” menyatakan bahwa sebelum Kristus menjadi manusia, Ia telah ada, Ia telah memiliki pra-eksistensi.[21] Dengan menyatakan bahwa Kristus memiliki “rupa Allah”, Paulus sama sekali tidak merujuk atau mengacu kepada bentuk fisik. Menurut Mal Couch, rupa (morphe) sesungguhnya menyatakan sesuatu yang bersifat intrinsik dan esensial. Dan hal ini langsung menyatakan apa yang menjadi atribut Allah.[22] Dalam arti ini, Yesus sehakikat dengan Allah. Dengan demikian, menjadi jelas sekarang bahwa Kristus itu tidak hanya sekedar sama dengan Allah, akan tetapi Ia sungguh-sungguh Allah.
Tindakan Yesus yang mengosongkan diri-Nya merupakan dorongan dari diri-Nya sendiri. Yesus melakukan semuanya ini dengan kebebasan, tanpa paksaan dari luar. Penginjil Yohanes pun melihat hal yang sama bahwa dalam kebebasan yang penuh Ia menanggalkan rupa ilahi-Nya (bdk. Yoh 17:5). Itu tidak berarti bahwa dengan jalan pengosongan-Nya, Ia bukan lagi Allah. Ia tetap Allah.[23] Jadi, perlu diafirmasi dengan pasti bahwa tindakan pengosongan ini tidak mengurangi keallahan-Nya apalagi menghilangkan keallahan-Nya.
Teologi Kristiani meyakini bahwa Allah yang menghampakan diri-Nya dan mengambil rupa seorang hamba adalah Allah yang sesungguhnya.[24] Menurut tafsiran Bruce, posisi Kristus sebagai Allah yang sepenuhnya, sama sekali tidak dikurangi oleh pengosongan diri-Nya. Bruce berkata:
“Christ’s possession of the fulness of the Godhead was not impaired by His self-emptying. Nor, when He emptied Himself by taking the very nature (morphe agian) of a servant, did He exist any the less ‘in the form of God’, although the divine glory was veiled except to those who had eyes to discern it (Jn 1:14).”[25]
Dari paparan di atas, dapat dikatakan beberapa hal. Pertama, Ia tidak menanggalkan kodrat keallahan-Nya, tetapi menanggalkan kemuliaan-Nya sebagai Allah, terutama hak-hak prerogatif (hak istimewa sebagai seorang Allah) keallahan-Nya. Kedua, Ia tidak menggantikan kodrat seorang Allah dengan kodrat seorang hamba. Justru sebaliknya, kodrat keallahan-Nya tidak hilang sekalipun Ia menjadi seorang hamba. Jadi, Ia mempunyai dua kodrat.
1.2. Misteri Salib: Puncak Kenosis
Pilihan Allah untuk menempuh jalan salib dapat direfleksikan sebagai wujud nyata, bahkan puncak dari pengosongan diri-Nya. Pada salib, inkarnasi Allah mencapai makna dan tujuan yang sesungguhnya. Menurut Walter Kasper, seluruh peristiwa Kristus mesti dipahami dalam terminologi salib. Salib baginya, merupakan dimensi yang memungkinkan Allah merendahkan diri-Nya.[26] Dalam arti ini, Allah ingin mengambil dan mengalami titik terendah dalam hidup-Nya sebagai seorang manusia, yakni mati di kayu salib. St. Agustinus merefleksikan bahwa lewat penderitaan dan kematian-Nya, Kristus menunjukkan kepenuhan makna kenosis yang ada dalam Flp 2:6-7. Baginya, kematian Kristus merupakan pemenuhan dari kenosis yang dinyatakan pertama-tama dalam inkarnasi Sang Sabda.[27]
Salib dan kematian Kristus dapat dilihat sebagai suatu bentuk konkret pengosongan diri Allah, tepatnya puncak dari seluruh penghampaan diri-Nya. Sehubungan dengan itu, dalam paparan berikut ini, penulis berusaha mendalami lebih lanjut bagaimana Allah mau merendahkan diri-Nya melalui salib-Nya.
1.2.1. Yesus Kristus Merendahkan Diri-Nya sebagai Hamba
Seluruh hidup Yesus adalah sebuah peragaan indah dari pengabdian-Nya sebagai Allah yang merendahkan diri-Nya. Ia telah menunjukkan diri-Nya sebagai seorang hamba, seorang pelayan, yang siap memberikan diri-Nya kepada orang lain. Ini dihayati-Nya sejak kelahiran hingga kematian-Nya. Sebagai salah satu bukti nyata Ia menghampakan diri-Nya dapat dilihat ketika Ia “membasuh kaki para murid-Nya” (Yoh 13:3-5).
Rasul Paulus merefleksikan bahwa Yesus adalah seorang hamba yang mau merendahkan diri-Nya (Flp 2:8). Hal ini ditunjukkan secara total dalam keadaan-Nya sebagai seorang manusia. Seluruh hidup Yesus termasuk sikap dan perbuatan-Nya, sama sekali tidak berbeda dengan manusia lain. Ia melakukan segala sesuatu sebagai manusia dan sebagai manusia Ia telah merendahkan diri-Nya.[28] Perendahan diri ini tentu saja tidak hanya terjadi sesaat setelah Ia mengosongkan diri-Nya, akan tetapi dihayati sepanjang perjalanan hidup-Nya. Müller menulis: From the manger to cross, He trod a path of humiliation, which culminated in the misery and suffering and reproach of shameful death on tree. [29] Dari gagasan ini, dapat dikatakan bahwa seluruh hidup Yesus di dunia merupakan sebuah rentang waktu perendahan diri yang kemudian memuncak di kayu salib. Bisa dilihat bahwa Yesus benar-benar menunjukkan sikap hidup yang sangat mendalam dan bermakna.
Menurut penulis, sikap Yesus tersebut dapat menjadi parameter bagi orang Kristen untuk melihat lebih jauh betapa Yesus adalah Allah yang penuh cinta. Inilah sikap “lepas-bebas” seorang Allah yang sama sekali tidak mempertahankan kebesaran diri-Nya, tetapi mau menghayati sebuah nilai hidup yang tinggi, yakni merendahkan diri.
1.2.2. Yesus Kristus, Hamba yang Taat Sampai Mati di Kayu Salib
Bagi Hans Urs Von Balthasar, salib merupakan wujud sesungguhnya dari kenosis Kristus. Melalui saliblah, Kristus menampakan sikap perendahan diri sebagai seorang Allah. Melalui perendahan diri inilah, Balthasar melihat bahwa Allah telah menunjukkan cinta-Nya.[30]
Cinta yang ditunjukkan Yesus melalui salib yang harus dipikul-Nya tersebut menunjukkan sikap ketaatan yang sempurna kepada Bapa-Nya. Ketaatan ini mau diungkapkan-Nya dalam disposisi sebagai seorang “hamba”, tepatnya, hamba yang taat. Pertanyaan sekarang adalah bagaimana ketaatan-Nya itu Ia tunjukkan dan atas dasar apakah Ia mau taat?
Pengosongan dan perendahan diri Yesus adalah ungkapan ketaatan kepada Bapa-Nya. Tidak mungkin Ia menjadi manusia yang merendahkan diri-Nya tanpa atas dasar sebuah ketaatan yang utuh. Teks Flp 2:8 menunjukkan sikap ini. Pada umumnya, para ekseget membandingkan sikap Adam lama yang tidak taat dengan ketaatan Adam baru. Robert J. Karris mengatakan bahwa melalui ayat 8, sebetulnya Paulus mengontraskan Yesus Kristus, Adam baru, dengan Adam lama.[31] Senada dengan gagasan ini, Raymond E. Brown melihat bahwa Adam berusaha ingin menjadi seperti Allah, sedangkan Yesus justru merendahkan diri-Nya. Seperti kebanyakan para ahli lainnya, Brown pun melihat bahwa Yesus tidak ingin mempertahankan kesetaraan-Nya dengan Allah -tidak seperti Adam yang berusaha meraihnya- Ia justru mengosongkan diri-Nya untuk menerima rupa seorang hamba dengan menjadi manusia.[32]
Sikap taat ini sesungguhnya diarahkan hanya kepada kehendak Bapa-Nya. Ketaatan-Nya ini bahkan diungkapkan dalam disposisi batin-Nya untuk rela menderita dan mati di kayu salib. Yesus Kristus mau melaksanakan kehendak Bapa dengan taat kepada-Nya. Hal ini bahkan ditegaskan melalui penderitaan dan kematian yang diterima-Nya. Berkenaan dengan ketaatan ini, Bruce menulis: …It was to the will of God that his obedience was given, and even when that will pointed to suffering and death, he accepted it: ‘not my will, he said to his haevenly Father, but yours be done’ (Luk 22:42).[33]
Yesus menunjukkan totalitas penyerahan diri-Nya kepada kehendak Bapa-Nya. Totalitas inilah yang memungkinkan ketaatan-Nya terlaksana. Ia mati di atas kayu salib pun dalam ketaatan yang sama. Bruce melihat frasa “bahkan mati di kayu salib” merupakan puncak dari perendahan diri Yesus.
Ketaatan Yesus kepada kehendak Bapa-Nya adalah wujud nyata sikap yang sempurna seorang hamba. Ketaatan-Nya sebagai seorang hamba tidak hanya ditujukan kepada Allah, tetapi juga mau melayani umat manusia. Dengan kata lain, ketaatan kepada Allah ini diungkapkan pula dengan melayani umat manusia. Hal ini telah dilaksanakan oleh Yesus sendiri, di mana Ia sendiri datang ke dunia untuk melakukan kehendak Allah (bdk. Ibr 10:7). Ia juga datang untuk mencari dan menyelamatkan yang hilang (Luk 19:10), untuk melayani dan memberikan kehidupan-Nya sebagai sebuah tebusan bagi banyak orang (Mrk 10:45).[34] Kematian-Nya merupakan puncak tertinggi dari ketaatan-Nya kepada Allah.
1.2.3. Yesus Kristus, Hamba yang Ditinggikan
Pengosongan dan perendahan diri Yesus di atas adalah bukti ketaatan-Nya kepada Bapa-Nya. Sikap Yesus inilah yang menjadi alasan bagi Allah untuk meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama (bdk. ayat 9). Menurut Bruce, frasa yang mengatakan bahwa Allah sangat “meninggikan” Yesus sesungguhnya mau menggemakan kembali beberapa contoh dari teks Perjanjian Lama. Teks yang ia maksud, misalnya dari Yes 52:13 atau Dan 7:13,14. Dengan demikian, Yesus yang dipermalukan dan dihina sebagai manusia, dipulihkan nama-Nya sebagai manusia ilahi.[35]
Dalam beberapa teks dari Perjanjian Baru, para penulisnya mengungkapkan kenyataan bahwa Yesus dipulihkan nama-Nya dan ditinggikan. Hal ini bisa dilihat dalam Kis 2:33; Ibr 1:3, dll. Bagi Bruce, ungkapan tersebut diambil dari Mzm 110:1, di mana Raja Daud diundang dalam suatu orakel untuk berbicara tentang takhta Yahwe, yang duduk di sisi kanan-Nya. Selanjutnya, dalam Mrk 14:62 dan teks-teks yang pararel, Bruce menunjukkan apa yang menjadi kekuasaan atau keagungan diri Yesus. Ia mengafirmasi bahwa Yesus sendiri menyatakan diri-Nya sebagai Anak Manusia yang duduk di sebelah kanan Yang Mahakuasa dan datang di tengah-tengah awan-awan di langit. Bagi Bruce, pernyataan tersebut sesungguhnya mau menunjukkan bahwa Yesus mendapat tempat yang tertinggi dan terhormat di alam semesta. Bruce menulis: … Jesus at his trial before the Jewish high priest and his colleagues told them that they would yet, ‘see the Son of Man sitting at the right hand of the Mighty One’, occupying, that is to say, the position of highest honor in and over the universe.’[36]
Tuhan Allah memang berkenan kepada Yesus. Hal ini dapat dilihat dalam frasa … dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama (ayat 9). Menurut Bruce, hal ini mungkin sekali menandakan arti “Tuhan” dalam pemahamannya yang paling dalam. Apa arti nama di atas segala nama? Apakah itu berarti suatu nama di atas segala nama? Menurut Bruce, dalam bahasa Yunani, kata “Kyrios” (Lord atau Tuhan) adalah nama yang paling tinggi, yang paling mulia. Nama ini mau merepresentasikan nama pribadi dari Allah Israel. Nama pribadi ini biasanya dipakai untuk menyebut Yahwe. Bruce melihat arti lain dari frasa tersebut yaitu “nama di atas segala nama” seakan-akan dipikirkan pula seperti suatu nama plakat yang ada di atas salib, yang sekarang nama tersebut ditinggikan di Surga. Menurutnya, nama yang dimaksudkan di sini adalah suatu nama yang telah diterima oleh Yesus karena perendahan diri dan kematian yang dijalani-Nya. Dan nama-Nya sekarang sudah menjadi “Tuhan”, yang telah menjadi nama di atas segala nama.
Yesus ditinggikan dan kepada-Nya dikaruniakan nama di atas segala nama. Dengan berbuat demikian, sebetulnya Allah menghendaki agar dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi (ayat 10). Itulah tujuan dari semua peninggian dan pengaruniaan tersebut. Di hadapan-Nya segala pengakuan akan kekuasaan, kebesaran, kemuliaan-Nya harus diarahkan kepada-Nya.
Dalam iman Kristiani, Yesus Kristus selalu disebut sebagai Tuhan. Hanya kepada-Nya, nama itu diberikan (bdk. 1 Kor 8:6). Pengakuan iman Kristiani tentang Yesus adalah Tuhan (ayat 11), mau menunjukkan bahwa sesungguhnya di situ orang sedang mengakui nama-Nya yang dikaruniakan kepada-Nya. Dialah yang memerintah dan memegang kekuasaan atas segala sesuatu (bdk. Kis 2:36; Yes 55:4).[37]
2. Dalam Tradisi Kristiani
2.1. Para Bapa Gereja
Dalam bagian ini, penulis tidak akan memetakan pemikiran dari semua Bapa Gereja. Penulis hanya mengambil beberapa tokoh saja, seperti St. Sirilus dari Aleksandria, St. Atanasius, St. Hilarius dari Poitiers, St. Agustinus dan St. Yohanes Krisostomus. Para Bapa Gereja ini memiliki cara pandang yang khas tentang kenosis Kristus.[38] Mereka melihat bahwa tidak ada perubahan dalam kodrat ilahi Kristus ketika Ia menjadi manusia. Artinya bahwa kodrat Yesus sebagai Allah tidak berubah ketika menjadi manusia. Keallahan-Nya tetap ada.
Kenosis merupakan kata kunci dalam teologi Sirilus dari Alexandria. Ia memahami penghampaan diri Allah dalam misteri inkarnasi. Ia melihat bahwa pengosongan diri tersebut merupakan ungkapan cinta Allah yang tak terhingga bagi manusia. Penghampaan-Nya ini dilakukan secara sukarela. Ia merefleksikan bahwa Allah ingin menjadi bagian dari manusia justru melalui jalan penghampaan diri-Nya. Ia menulis -sebagaimana yang dikutip oleh Thomas Gerard W.,- demikian:
“that the only-beggoten Word of God who brought himself down to the level of self-emptying, should not repudiate the low estate arising from that self emptying, but should accept what is fully by nature on account of the humanity, not for his sake but for ours, who lack every good things.”[39]
Sirilus dari Aleksandria berpendapat -sebagaimana yang dikutip oleh T. F. Torrence- bahwa kata ”mengosongkan” hendaknya jangan ditafsir secara literer, yaitu emptying out of one receptacle into another (mengosongkan suatu wadah ke dalam wadah yang lain). Torrence memahami tafsiran Sirilus di atas demikian: kata tersebut hendaknya ditafsir sebagai ungkapan yang berdaya guna dari sikap perendahan diri.[40] Tafsiran itu sangat jelas menunjukkan bahwa Kristus menanggalkan kemuliaan diri-Nya dan mengambil rupa seorang hamba. Tindakan ini bukan mau mengatakan bahwa Kristus mengosongkan esensi keilahian-Nya, melainkan justru menerima kemanusiaan untuk menjadi milik-Nya dengan cara mengambil rupa seorang hamba di bawah kuk atau Hukum Taurat.
Para Bapa Gereja lainnya meyakini bahwa penjelmaan Yesus Kristus merupakan momen di mana Allah sungguh-sungguh mau menghampakan diri-Nya dan menjadi sama dengan manusia. Hal ini dapat dilihat pula dalam pemikiran St. Atanasius. Ia melihat bahwa dalam Flp 2:6, Paulus sama sekali tidak menunjukkan alasan mengapa Yesus mau mengambil rupa seorang hamba. Meskipun demikian, Atanasius merasa yakin bahwa “Yesus yang merendahkan diri-Nya sampai mati bahkan sampai mati di kayu salib” adalah tujuan mengapa Ia menjadi manusia dan mengambil rupa seorang hamba.[41] Jadi, Atanasius melihat bahwa kematian-Nya di kayu salib adalah alasan dasar mengapa Yesus mau menjadi manusia dan mengambil rupa seorang hamba.
Gagasan kenosis di atas dapat ditemukan pula dalam Teologi St. Hilarius dari Poitiers. Teologi kenosis Hilarius mesti ditafsir dalam hubungan dengan kedua kodrat Yesus, bahwa kodrat manusia Kristus tidak dapat mengganggu (mengacaukan) kodrat ilahi Kristus. Kristus tidak kehilangan keilahian-Nya ketika menerima kemanusiaan-Nya. Ia tetap memiliki kodrat ilahi. Hilarius melihat bahwa sebagai Putra Allah yang menjelma, Kristus merendahkan diri-Nya dan hal ini tampak nyata dalam rupa seorang hamba. Ia menulis:
“Christ is styled in the likeness of the invisible God, in order that we may understand by his exercise of the power that he has divine nature. However, as the incarnated Son of God, Christ humbles himself and is found as man in the form a servant.”[42]
Ringkasnya, Kristus adalah sungguh-sungguh Allah, sekalipun Ia mengosongkan diri-Nya dan mengenakan rupa seorang hamba. Hilarius melihat sikap Yesus di atas sebagai sebuah ketaatan.[43]
St. Agustinus juga melihat hal yang sama. Ia mengatakan bahwa kenosis Kristus merupakan hal yang penting dalam memaknai perendahan diri-Nya. Menurutnya, Kristus datang ke dunia dalam rupa seorang hamba tanpa kehilangan keilahian-Nya. Agustinus menulis: He was exalted, you see, from the beginning, because in the beginning was the Word. This exaltation is without beginning, without time, because through him all things were made (John 1:1-3) [44] Lalu apa yang mau dikatakan dengan pernyataan tersebut. Agustinus menjelaskan demikian:
“Since he was in the form of God, he says, he did not think it robbery to be equal to God (Phil. 2:6); …You have heard about his enexpressible exaltation; now hear about his humility. He emptied himself…Not by losing what he was, but by taking on what he was not.”[45]
Pandangan Agustinus di atas sungguh jelas. Menurutnya, Kristus tidak kehilangan keilahian-Nya. Jadi, kekuatan ilahi-Nya dialami (dipakai) dalam suatu cara baru secara paradoks, yakni dalam tindakan “pengosongan.” Hal ini justru dilihatnya sebagai suatu “penambahan” daripada “pengurangan”.[46] Ia melihat bahwa tindakan perendahan diri Kristus tersebut luar biasa mengagumkan. Dalam Flp 2:6-11, sangat jelas tampak penghampaan dan perendahan diri Kristus. Dalam penghampaan dan perendahan-Nya itu, dilukiskan dua tindakan perendahan diri Sang Ilahi, yakni Allah mengambil rupa seorang hamba dan merendahkan diri-Nya sampai mati di salib.
Pertama, Allah menjadi manusia sepenuhnya dengan menerima kondisi hidup manusia. Ia tidak menganggap keilahian-Nya sebagai milik yang harus dipertahankan. Berkenaan dengan hal ini, Agustinus menekankan bahwa tindakan ini -Allah menjadi manusia- (bdk. Yoh 1:14) merupakan suatu perendahan diri yang begitu dalam.[47] Sabda membentuk sebuah ikatan baru antara Allah dan manusia dengan penjelmaan-Nya menjadi manusia. Dengan menjadi manusia, mengambil rupa seorang hamba, keallahan-Nya sama sekali tidak hilang. Agustinus menulis: Christ himself, therefore, the Son of God equal with the Father because in the form of God, inasmuch as He Emptied Himself without losing the form of God, but assuming that of servant….[48]
Kedua, Agustinus melihat penghampaan diri Allah mencapai puncaknya di kayu salib. Peristiwa salib dan penderitaan Kristus baginya merupakan perendahan diri kedua, momen di mana Kristus menyatakan kepenuhan perendahan diri-Nya: dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati bahkan sampai mati di kayu salib (Flp 2:8). Ia melihat bahwa lewat penderitaan dan salib-Nya, Kristus mau mengosongkan diri-Nya. Di sinilah Agustinus melihat kepenuhan pengosongan diri Kristus. Ia menjelaskan bahwa lewat penderitaan dan kematian-Nya, Kristus menyatakan kepenuhan makna yang ada dalam Flp 2:6-7. Baginya, kematian Kristus merupakan pemenuhan dari kenosis yang dinyatakan pertama-tama dalam Sabda yang menjadi daging.[49]
Kenosis Kristus di atas dapat dilihat pula dalam homili St. Yohanes Krisostomus. Senada dengan pandangan-pandangan para Bapa Gereja di atas, ia pun mengafirmasi bahwa pengosongan diri Kristus terjadi ketika Ia mengambil rupa seorang hamba. Hal ini sama sekali tidak mengurangi keallahan-Nya. Baginya, frasa “mengambil rupa hamba” berarti Kristus sungguh menjadi manusia sekalipun berada dalam rupa Allah. Dalam keserupaan dengan Allah ini, Yohanes Krisostomus melihat bahwa Kristus tidak mempertahankannya, tetapi justru ingin menjadi sama dengan manusia. Dalam arti inilah, ia menegaskan lagi iman Kristiani tentang hakekat keallahan dan kemanusiaan Yesus. Ia mengafirmasi bahwa hanya ada satu Allah dan satu Kristus. Baginya, hanya ada persatuan di antara kedua kodrat itu dan bukan peleburan (confusion). Ia menulis:
“… he emptied himself, taking the form of servant, being made in likeness of men; here concerning his humanity we find ‘He took, He become’. He become the latter, He took the latter, He was the former. Let us not then confound nor divide the natures. There is one God, there is one Christ, the Son of God; when I say ‘one’, I mean a union, not a confusion; the one nature not degenerate into the other, but was united with it.” [50]
Dari paparan para Bapa Gereja di atas, dapat disimpulkan bahwa mereka secara konsisten menafsir kenosis Kristus dalam satu rangkaian dengan pre-eksistensi Logos, perendahan secara duniawi dan peninggian secara surgawi. Dalam arti inilah, kenosis Kristus bagi mereka sama sekali tidak memengaruhi (mengacaukan) pre-eksistensi Logos. Jadi, menjadi jelas bahwa keallahan Kristus sama sekali tidak direduksi oleh pengosongan diri-Nya menjadi manusia yang taat. Dengan demikian, kenosis dipahami sebagai momen di mana Allah ingin menanggalkan kemuliaan diri-Nya dan menerima rupa seorang hamba. Para Bapa Gereja memahami Kenosis Kristus bukan suatu pengurangan melainkan suatu penambahan. Kristus sama sekali tidak kehilangan kodrat keallahan-Nya sekalipun Ia menjadi manusia.
2.2. Zaman Pertengahan
St. Thomas Aquinas adalah salah seorang teolog sekaligus filsuf besar pada zaman ini. Pada bagian ini diperlihatkan sekilas pemikirannya tentang kenosis Kristus. Pemahamannya ini tidak lepas dari gagasannya tentang kodrat Allah. Ia mengafirmasi keyakinan iman Katolik tentang pengambilan kodrat manusia Yesus Kristus. Baginya, dalam pengosongan-Nya, Yesus benar-benar menerima tubuh manusiawi,[51] tanpa mengurangi keallahan-Nya.
Thomas melihat bahwa Yesus Kristus adalah Allah yang sungguh-sungguh manusia. Proposisi Yesus sebagai Allah yang sungguh-sungguh manusia, memang diakui oleh sebagian orang, tetapi Thomas melihat bahwa ada juga yang tidak menerimanya, misalnya kaum Manikheis.[52]
Keyakinan Thomas di atas menunjukkan secara jelas bahwa Yesus Kristus adalah seorang manusia. Dengan demikian, dapat dilihat bahwa Thomas -sama seperti ajaran dasar Konsili Kalsedon (451)-[53] sangat menekankan persatuan kodrat Allah dan manusia dalam diri Yesus Kristus. Hal ini sangat tampak dalam peristiwa inkarnasi; Allah menjadi manusia. Kedua kodrat itu berada bersama dalam persatuan hypostasis (hypostatis union). Thomas menulis:
“Now the divine and human natures although most widely a part, nevertheless come together by the mystery of the incarnation one supposition is neither in roote nor in contingent, but in natural matter; and man isn’t predicated God accidentally but essentially, as being predicated of it’s hypsotasis not, indeed by reason of the form signified by this word “God”, but by reason of suppositum, which is a hypostasis of human nature.”[54]
Thomas melihat bahwa Allah benar-benar menghampakan diri dan mengambil rupa seorang manusia. Baginya, kata “manusia” ini merupakan predikat Allah karena di sana ada persatuan di dalam pribadi dan persatuan ini menyatakan sebuah relasi.[55] Thomas kemudian melihat bahwa meskipun Yesus berwujud Allah, Ia berkenan mengambil rupa seorang hamba. [56]
Thomas melihat pula bahwa dalam pengosongan diri-Nya, Allah tidak menanggalkan kodrat keallahan-Nya. Ia menulis -seperti yang dikutip oleh Thomas Marberry – demikian: because he was full of divinity, did he therefore empty himself of divinity, No because what he was remained …he emptied himself, not by lay down the divine nature.[57] Dengan demikian -seperti yang dikutip oleh Romanus Cesario- Thomas meyakini bahwa Kristus sungguh-sungguh merendahkan diri-Nya. Baginya, perendahan diri Allah dipahami sebagai sebuah tindakan yang penuh keberanian. Ia memandang bahwa meskipun Kristus menyadari identitas diri-Nya sebagai Allah, Ia (Allah) tidak mempertahankannya, tetapi justru mengambil wujud manusia.[58]
Dari uraian-uraian di atas, dapat dilihat bahwa bagi Thomas, kenosis Allah tetap ia yakini sebagai momen di mana Allah sungguh-sungguh menerima rupa manusia tanpa menyingkirkan (menghapus) kodrat keallahan-Nya.
2.3. Zaman Modern
Dalam Teologi Kristiani, pemahaman tentang kenosis cukup bervariasi, ada beraneka macam teori tentangnya. Menurut Daane, diskursus tentang kenosis ini muncul ”secara khusus” di kalangan para Teolog Lutheran. Diskursus ini muncul berkaitan erat dengan persoalan-persoalan yang dimunculkan dalam kaitannya dengan communicatio idiomatum, yakni soal pemindahan atribut-atribut ilahi kepada kodrat manusiawi Kristus. Ide kenosis tersebut dipakai untuk mendukung aneka penjelasan tentang kualitas kehidupan Kristus di dunia.[59] Menurut C. Stephen Evans, teori-teori kristologi kenotik untuk pertama kalinya diperlihatkan di awal abad ke-19. Meskipun demikian, ia melihat bahwa ide-ide kenotik banyak dijumpai di awal Tradisi Kristiani dan di dalam Kitab Suci. Berkaitan dengan teori kenotik tersebut, penulis hanya membahas selayang pandang gagasan utama ketiga teolog protestan (teolog kenotick Jerman) untuk melihat bagaiman para teolog ini memahaminya kenosis.
Ada beberapa teolog kenotik Jerman yang pertama kali mensistimatisasi konsep kenosis. Para teolog tersebut antara lain: Gottfried Thomasius (+1875), F. H. R. Von Frank (+1894) dan W. F. Gess (+1891).[60] Ketiganya berpendapat bahwa Allah memilih suatu jalan pembatasan diri (self-limitation) pada waktu inkarnasi-Nya. Menurut Gottfried Thomasius -seperti yang dikutip oleh Alister E. McGrath-pada waktu inkarnasi, Yesus mengosongkan atribut-atribut keilahian-Nya seperti, mahatahu, mahakuasa dan hadir di mana-mana, sambil mempertahankan atribut-atribut moral seperti kasih ilahi, kebenaran dan kesucian.[61] Dari gagasan tersebut, bisa dilihat bahwa Thomasius membedakan dua macam kekuatan ilahi yang ada dalam diri-Nya, yaitu kekuatan ilahi yang paling hakiki (belaskasih, keadilan atau kebenaran dan cinta) dan kekuatan ilahi yang bersifat relasional (relational divine power) seperti mahakuasa, maha tahu dan hadir di mana-mana.[62] Bagi Thomasius, sifat relasional Allah bukan merupakan unsur hakiki, karena itu hanya merupakan ekspresi yang ditunjukkan Allah dalam relasi-Nya dengan dunia. Allah secara bebas dapat mengosongkan sifat relasional untuk menjalankan rencana inkarnasi-Nya.[63]
H. R. von Frank, pembatasan diri Kristus di atas sebetulnya merupakan suatu pengakuan akan kesadaran ilahi dalam rupa (wujud) kesadaran manusiawi yang sedang berkembang dan terbatas. Namun, melalui cara itulah Kristus masih tetap menyadari diri-Nya sebagai Putra Allah.[64] Jadi, pengosongan diri Kristus tidak menghilangkan kesadaran diri-Nya sebagai Putra Allah.
Berbeda dengan gagasan Thomasius dan Frank, W. F. Gess memahami secara lain tentang kenosis Kristus. Ia menegaskan bahwa Kristus menyingkirkan semua atribut keilahian-Nya pada waktu penjelmaan.[65] Dengan demikian, pada waktu inkarnasi, Ia menyingkirkan kesadaran-Nya akan relasi di dalam Trinitas. Dengan demikian, Gess berpendapat bahwa dengan mengosongkan diri-Nya, Putra Allah mematikan kesadaran ilahi-Nya dengan maksud supaya Ia dapat menjadi manusia biasa.[66] Pola pemahaman Gess tersebut tampaknya sedikit lebih jauh dari Thomasius. Gess memandang bahwa pada waktu inkarnasi, Putra Allah tidak hanya sekedar mengosongkan atribut-atribut relasional (mahatahu, dll.), tetapi juga mengosongkan atribut-atribut imanen (kasih, dll.,).[67] Dengan demikian, pada waktu inkarnasi, Kristus mengosongkan semua atribut yang ada dalam diri-Nya. Dari gagasan ini, bisa dilihat bahwa Gess sangat menekankan sisi kemanusiaan Yesus, sedangkan keallahan-Nya kurang ditekankan.[68] Ini tentu berbeda dengan Frank. Menurut Frank, dalam inkarnasi, Yesus masih tetap Putra Allah. Keallahan-Nya tidak dihilangkan oleh karena penjelmaan-Nya tersebut.[69]
Stephen Evans dalam mengeksplorasi teori-teori kenotik awal, mencermati bahwa teori-teori di atas digagas oleh para teolog Jerman sebagai upaya untuk menggantikan interpretasi-interpretasi dari Konsili Kalsedon. Dari sebab itu, untuk mengimbangi aneka interpretasi yang berusaha menggantikan tafsiran dari Konsili Kalsedon (tentang keallahan dan kemanusiaan Kristus), maka ia menganjurkan sebuah teori kenotik sebagai jalan untuk menafsir Kalsedon.[70] Bagi Stephen Evans, nama dan esensi dari teori tersebut ditarik dari Madah Kristologi yang terdapat dalam Flp 2:6-11, di mana Paulus berbicara tentang Kristus: yang walaupun dalam rupa Allah tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan[71] diri ….
Kenosis Allah sama sekali tidak berbicara soal transformasi kodrat, suatu dedivinisasi Allah. Dalam arti inilah, Walter Kasper berkata bahwa ketika orang menafsir teks Flp 2:6-11 sebetulnya di situ perlu hati-hati dalam memahami bahwa teks itu tidak berbicara mengenai sebuah transformasi kodrat. Baginya, teks itu mengandung di dalamnya arti: mengambil rupa seorang hamba dan bukan merendahkan diri dari rupa Allah.[72] Dengan demikian, kenosis Kristus adalah peristiwa pengambilan rupa hamba dan bukan peninggalan rupa Allah.
Dari uraian-uraian tentang aneka konsep tentang teori kenotik dapat dikatakan bahwa kenosis Allah dipahami sebagai suatu tindakan pelepasan kemuliaan Allah dan penerimaan rupa manusia. Pada intinya, dalam pengosongan itu, Allah tidak menanggalkan kodrat keallahan-Nya, tetapi melepaskan kemuliaan diri-Nya sebagai Allah. Pada umumnya para teolog kenotik mengafirmasi gagasan seperti ini. Meskipun demikian, tidak dapat disangkal bahwa masing-masing teolog (misalnya teolog protestan yang diwakili oleh para ahli kenotik awal: Thomasius, Gess, dll) memiliki cara tersendiri dalam mengerti kenosis Allah.
Ada yang mengatakan bahwa pada waktu inkarnasi, Allah melepaskan atribut-atribut seperti, mahatahu, dll., sambil tetap mempertahankan atribut-atribut imanen (kasih, dll). Ada yang justru melihat secara lain. Pada waktu inkarnasi, Allah melepaskan kedua macam atribut tersebut. Namun pemahaman seperti ini terlalu menitikberatkan dimensi kemanusiaan-Nya, sehingga keallahan-Nya kurang ditampakkan. Gagasan ini tentu berbeda dengan pandangan Gereja Katolik. Menurut iman Katolik, pada waktu inkarnasi, Kristus tetap menjadi Allah yang mau mengalami secara manusiawi hidup di dunia bahkan sampai mati di kayu salib.[73]
2.4. Katekismus Gereja Katolik
Katekismus Gereja Katolik (KGK), merefleksikan misteri penjelmaan Yesus sebagai sebuah misteri di mana Putera Allah mengambil kodrat manusiawi. Dalam hal ini, Gereja menggunakan istilah “inkarnasi” (menjadi manusia) untuk merefleksikannya. Refleksi ini ditarik dengan memakai ungkapan Santo Yohanes (Verbum caro factum est, Sabda telah menjadi daging). Berkenaan dengan misteri ini, Gereja mengutip sebuah madah yang dikutip oleh Santo Paulus di mana ia sendiri (Gereja) sungguh memuji rahasia dari misteri inkarnasi (Flp 2:5-8).[74] KGK No. 462 melihat bahwa misteri tersebut tersurat pula dalam Surat kepada umat Ibrani (Ibr 10:5-7). Teks ini berbunyi:
“Karena itu ketika Ia masuk ke dunia, Ia berkata: ‘Kurban dan persembahan tidak Engkau kehendaki, tetapi Engkau telah menyediakan tubuh bagiku, kepada kurban bakaran dan kurban penghapus dosa Engkau tidak berkenan. Lalu Aku berkata: Sungguh, Aku datang … untuk melakukan kehendak-Mu, ya Allah-ku’ ”
Misteri inkarnasi, misteri di mana Allah mengambil kodrat manusiawi merupakan tanda pengenal iman Kristen yang paling khas: Demikianlah kita mengenal Roh Allah: Setiap roh yang mengaku, bahwa Yesus Kristus telah datang sebagai manusia, berasal dari Allah (1 Yoh 4:2). Sedari awal, Gereja merasa gembira dengan adanya misteri ini. Gereja menyanyikan keagungan rahasia ini, di mana Allah sendiri telah menyatakan diri-Nya dalam rupa manusia (1 Tim 3:16).[75]
Katekismus melihat bahwa Gereja terus-menerus berusaha sepanjang sejarah supaya mengakui kenyataan penuh dari jiwa Kristus yang manusiawi. Ini berarti Gereja sendiri tetap mengakui jiwa Kristus yang manusiawi dengan kegiatan akal budi dan kehendak-Nya, demikian pula ia mengakui tubuh manusiawi Kristus yang hadir di dunia.[76]
Sebagai Allah yang berinkarnasi, Kristus dilengkapi dengan kemampuan untuk mengetahui secara manusiawi. Ia pun terikat dalam ruang dan waktu. Lewat penjelmaan-Nya menjadi manusia, Kristus sendiri semakin bertambah dalam hal kebijaksanaan, usia dan rahmat (Luk 2:52). Kristus mau belajar dari pengalaman kemanusiaan-Nya, yakni bahwa Ia dengan penuh kerelaan mau mengambil “rupa seorang hamba” (Flp 2:7).[77]
Seluruh kehidupan Kristus adalah persembahan kepada Bapa. Maksudnya bahwa Yesus datang ke dunia untuk melakukan kehendak Bapa dan tentu saja bukan kehendak-Nya sendiri. Hal ini terungkap dengan sangat jelas dalam peristiwa inkarnasi-Nya. Dari misteri inilah, tampak bahwa Yesus sungguh-sungguh telah menghayati rencana keselamatan ilahi mengenai perutusan-Nya sebagai Penebus. Kerinduan untuk menghayati rencana kasih penebusan dari Bapa tersebut menjiwai seluruh kehidupan Yesus, karena kesengsaraan-Nya yang menebuskan adalah alasan penjelmaan-Nya.[78] Penghayatan cinta ini kemudian memuncak dalam kesengsaraan dan kematian-Nya. Yesus benar-benar menghayati cinta Bapa secara total (Yoh 13:1).
Kesengsaraan dan kematian yang ditanggung Yesus sendiri adalah bukti ketaatan-Nya yang paling dalam. Ia sama sekali tidak menolaknya, tetapi menyetujui kehendak Bapa-Nya, yakni menerima kematian-Nya dengan maksud agar “memikul dosa kita di dalam tubuh-Nya pada kayu salib” (1 Ptr 2:24). Dengan kematian-Nya itu, Ia menghapus dosa dunia (Yoh 1:29) dan melaksanakan penebusan umat manusia secara definitif.[79] Penebusan ini merupakan bukti ketaatan-Nya kepada Bapa sebagai ganti ketidaktaatan manusia (bdk. Rm 5:19). Dari poin ini, Yesus sungguh-sungguh adalah Hamba Allah yang menderita, yang mau menanggung kejahatan banyak orang dan “membenarkan banyak orang” dengan “menanggung dosa mereka” (Yes 53:1-12).[80] Semuanya ini ditanggung-Nya melalui kurban salib. Di saliblah Ia menebus, mendamaikan dan menyilih dosa manusia.[81] Dari gagasan di atas, dapat dikatakan bahwa pengosongan diri Kristus tetap mengalir di sepanjang hidup-Nya hingga akhirnya memuncak di kayu salib.
Kesimpulan
Setelah diuraikan secara panjang lebar tentang kenosis Kristus, maka dapat disimpulkan beberapa hal. Pertama, kalau berbicara tentang teologi kenosis dalam Teologi Kristiani, maka yang sedang didiskusikan adalah sebuah teologi yang mendalami pribadi Yesus Kristus, tepatnya soal cara berada-Nya, yakni pre-eksistensi sebagai Allah yang mengambil rupa seorang manusia. Dengan demikian ditekankan kedua dimensi keallahan dan kemanusiaan Kristus, sebagaimana yang disintesiskan dalam iman Katolik (bdk. Credo Konsili Kalsedon 451).
Kedua, pengosongan diri Yesus Kristus bukan berarti momen di mana Ia menanggalkan kodrat keallahan-Nya, oleh karena ini adalah sesuatu yang tidak mungkin, melainkan menanggalkan kemuliaan-Nya sebagai Allah, terutama hak-hak prerogatif (hak-hak istimewa) keallahan-Nya. Dalam arti ini, Ia tidak menggantikan kodrat Allah dengan kodrat seorang hamba. Kodrat keallahan-Nya sama sekali tidak dihilangkan atau dilenyapkan, justru dalam penjelmaan-Nya ke dunia, Ia tetap mempertahankan kodrat keallahan-Nya itu. Dalam peristiwa penjelmaan atau pengosongan-Nya itu, Ia tetap menyadari diri-Nya sebagai Allah yang telah menjadi manusia, yang hidup dan tinggal bersama manusia.
Ketiga, pengosongan diri Yesus terus mengalir di sepanjang hidup-Nya, dan kemudian memuncak di kayu salib. Di kayu saliblah, Ia menyatakan suatu penghampaan yang sangat dalam, sebuah pemberian diri yang tiada taranya.
Catatan Kaki
[1] Mickhael J. Gorman, Inhabiting the Cruciform God: Kenosis, Justification, and Theosis in Paul’s Narrative Soteriology, Michigan: WM. B. Eerdmans Publishing, 2009, hlm. 9.
[2] Menurut Xavier Leon-Dufour, kenós merupakan kata sifat yang menunjukkan suatu kenyataan (iman, salib, kebanggaan, kemuliaan, ajaran) yang kosong (Kis 4:25; I Kor 15: 58; 2 Kor 6:1; Gal 2:2; Flp 2:16, 1 Tes 2:1; 3:5; Yak 4:5). Kata ini pun dapat berarti mandul (1 Kor 15:10), tak berarti (1 Kor 15:14, Ef 5:6; Kol 2:8) dan sudah kering (1 Tim 6:20, Yak 2: 20). Xavier Leon-Dufour, Ensiklopedi Perjanjian Baru, terj. Stefan Leks dan A.S. Hadiwiyata, Yogyakarta: Kanisius, 1990, hlm. 333.
[3] Bdk. Dictionary of Dogmatik Theology, Cet. IV, terj. Emmanuel Doronzo, Milwaukee: The Bruce Publishing Company, 1964, hlm. 161.
[4] Menurut Dufour, kata kenóō menunjukkan tindakan yang menghasilkan akibat yang demikian. Dengan demikian, arti ungkapan mengosongkan dalam teks Flp 2:7 adalah Kristus yang daripada mempertahankan ciri-ciri kemuliaan ilahi, lebih suka meninggalkannya dengan mengambil ciri-ciri seorang hamba (budak). Baginya, teks tersebut sama sekali tidak berbicara tentang “peniadaan” keilahian, tetapi tentang tahap-tahap peniadaan diri Yesus Kristus sampai mati di salib. Bdk. Xavier Leon-Dufour, Loc. Cit.
[5] Bdk. Ibid.
[6] Bdk. J. Daane, “Kenosis” dalam International Standard Bible Encyclopedia, Grand Rapids, Michigan: WM. B. Eerdmans Publishing Co., 1990, hlm. 7.
[7] Menurut Jaroslav J. Pelikan, gagasan tentang kenosis berada dalam posisi untuk mengafirmasi persatuan hypostatis (hypostasis union) keilahian dan kemanusiaan Yesus Kristus sebagai sebuah perbedaan tetap antara kedua kodrat itu. Jaroslav J. Pelikan, The Emergence of the Catholic Tradition: (100-600), Vol. I of Christian Tradition: A History of Development of Doctrin, Chicago: University of Chicago Press, 1971, hlm. 256.
[8] Brendan Byrne, “The Letter to the Philippians”, dalam R. E. Brown, J. A. Fitzmayer dan Roland E. Murphy (eds.), the New Jerome Biblical Commentary, Upper Saddle River, N.J. : Prentice Hall, 1990, hlm. 794.
[9] Menurut Lohmeyer, seperti yang dikutip oleh Robert Hamerton bahwa ayat 6, 7 dan 8 merupakan skema tingkatan atau tahapan perendahan diri Kristus dari status ilahi (ayat 6) kemudian berinkarnasi sebagai seorang hamba (ayat 7) dan taat sampai mati (ayat 8). Menurut Lohmeyer, ayat 7 mengacu pada ide hamba Yahwe (Yes 53:7). Sedangkan ayat 8 mengacu pada Dan 7:13.
Robert Hamerton, Pre-Existence, Wisdom, and The Son of Man: A Study of the Idea of Pre-Existence in the New Testament, London: Cambridge University Press, 2005, hlm. 159.
[10] Bdk. Gerald O’ Collins, Incarnation, New Century Theology, London: Continuum, 2002, hlm. 58.
[11] J. A. Fitzmayer melihat bahwa Allah berkenan mengungkapkan cinta-Nya demi keselamatan manusia dengan mau merendahkan diri-Nya menjadi seorang manusia, menerima status manusia dan akhirnya mau disalibkan. Tindakan-Nya ini sungguh merupakan model hidup yang tidak hanya diarahkan kepada jemaat Filipi tetapi juga untuk seluruh umat Kristiani di sepanjang zaman. Bdk. J. A. Fitzmayer, According to Paul: Studies in the Theology of the Apostle, T.t: Paulist Press, 1993, hlm. 105.
[12] Bdk. F. F. Bruce, N.T. Philippians Commentaries, Massachusetts: Zondervan Bible Publishers, 1989, hlm. 68.
[13] St. Yohanes Krisostomus dalam homilinya mengatakan bahwa Yesus Kristus tidak merasa takut merendahkan atau mengosongkan diri-Nya. Ia tidak takut bahwa apa saja akan melucuti hak-Nya. Ia tahu bahwa dengan bertindak demikian, Ia tidak menjadi seorang yang inferior. Itulah alasan dasar yang dilihatnya ketika Paulus mengatakan: … tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan (ayat 6b). Bdk. St. Yohanes Krisostomus “Homilies on Philippians ii 5-11”, dalam Philip Schaff (ed.), Nicene and Post Nicene Fathers of the Christian Church, Vol. XIII, Grand Rapids, Michigan: WM. B. Eerdmans Publishing Company, 1988, hlm. 213.
[14] F. F. Bruce, Op. Cit., hlm. 69.
[15] Tentang frasa “dalam rupa Allah”, Leon Morris menulis, tidak mudah melihat keadaan ‘dalam rupa Allah’ itu bukan sebagai berarti setara dengan Allah. Dapatkah hal ini dikatakan mengenai seorang manusia lain atau mengenai seorang malaikat? Berkenaan dengan pernyataannya ini, ia mengutip pandangan Ralph P. Martin yang berpendapat bahwa frasa tersebut mengacu pada eksistensi kekal (sebelum segala zaman) dari Yesus Kristus, pribadi kedua Trinitas. Leon Morris melihat gagasan Martin ini agak berbeda dengan pendapat F. W. Beare. Ia menulis, Beare meragukan arti frasa tersebut berarti ’merupakan’ Allah, tetapi ia berpendapat bahwa frasa tersebut tidak boleh diartikan sebagai penampilan luar belaka, tetapi sebagai suatu bentuk eksistensi yang dalam arti tertentu menunjukkan sifat sejati Kristus. Leon Morris, Teologi Perjanjian Baru, terj. Prof Dr. Henricus Pidyarto, Grand Rapids, Michigan: Zondervan Corporation, 1996, hlm. 55.
[16] F. F. Bruce (ed), The International Bible Commentary with the New International Version, Michigan: Zondern Publishing House Academic and Professional Books, 1979, hlm.1444-1445.
[17] F. F. Bruce, N.T. Philippians Comentaries, Massachusetts: Zondervan Bible Publishers, Op. Cit., hlm. 70.
[18] Jac., J. Müller, The Epistle of Paul to the Philippians, The English Text With Introduction, Exposition And Notes, Grand Rapids, Michigan: WM. B. Eerdmans Publishing Company, 1991, hlm. 80.
[19] Müller mencermati bahwa kalau Allah mengosongkan diri-Nya dari kemuliaan-Nya dan menanggalkan keistimewaan-keistimewaan keallahan-Nya, maka itu berarti hal ini tidak membenarkan kesimpulan yang ditarik dari frasa yang ada dalam pertanyaan tadi. Ibid, hlm. 81.
[20] Bdk. Graham Ward, Christ and Culture, Challenges in Contemporary Theology, T.t: Wiley-Blackwell, 2005, hlm. 185.
[21] Status Keallahan yang dimiliki Yesus sudah ada sejak kekal. Artinya bahwa sebelum Ia menjadi manusia dan mengenakan rupa seorang hamba Ia adalah seorang Allah. Jadi frasa “rupa Allah” sangat jelas menyatakan bahwa Yesus itu sama dengan Allah. C. Stephen Evans, Exploring Kenotic Christology: the Self Emptying of God, Oxford: Oxford University Press, 2006, hlm. 60.
[22] Bdk. Mal Couch, The Fundamentals for the Twenty-First Century: Examining the Crucial Issues of the Christian Faith,T.t: Kregel Academic, 2000, hlm. 220.
[23] Yesus mengosongkan diri-Nya menjadi hamba, menjadi sama dengan manusia. Dalam segala hal, Ia sama dengan manusia lain, kecuali dalam hal dosa (bdk. Ibr. 2:17; 4:15).
[24] Gagasan atau pendapat seperti ini, menurut penulis sudah direfleksikan secara matang pada zaman Bapa Gereja dan khususnya dalam ajaran Gereja Katolik sebagaimana yang dituangkan dalam Konsili Kalsedon (451) yang mensintesiskan asumsi dasar dari Teologi Mazhab Aleksandria dan Antiokhia tentang unio-hypostatica Yesus Kristus.
[25] F. F. Bruce, (ed), The International Bible Commentary with the New International Version, Op. Cit., hlm. 1445.
[26] Bdk. Walter Kasper, The God of Jesus Christ, terj. Matthew J. O’Connel, New York: The Crossroad Publishing Company, 2005, hlm. 194.
[27] Bdk. St. Agustinus, “On the Holy Trinity, Doctrinal Treatises and Moral Treatises pt. XIV 18 ”, On the Holy Trinity, Doctrinal Treatises and Moral Treatises pt. XVII 2” dalam Philip Schaff (ed.), Nicene and Post-Nicene Fathers of the Christian Church 1886, Vol III, Grand Rapids, Michigan: WM. B. Eerdmans Publishing Company, 1988, hlm. 179.
[28] Leon Morris berkata bahwa pernyataan tentang “kerendahan hati-Nya” janganlah disalahartikan. Kerendahan hati Allah sesungguhnya menunjukkan keilahian-Nya. Leon Morris, Op. Cit., hlm. 56.
[29] Lih. Jac. J. Muller, Op. cit., hlm. 86. Bdk. F. F. Bruce, The International Bible Commentary with the New International Version, Op. Cit., hlm. 71.
[30] Bdk. Hans Urs Von Balthasar, The Glory of The Lord, A Theological Aesthetics Vol. II, Theology: The New Covenant, terj. Brian McNeil C.R.V., Edinburgh: T & T Clark, 1989, hlm. 214.
[31] Robert melihat bahwa dalam teologi Paulus kata “ketidaktaatan” (disobedience) melukiskan Adam lama, sedangkan “ketaatan” (obedience) adalah ciri khas Adam baru (Yesus). Kontras seperti ini bisa dilihat pula dalam 1 Kor 15:45-49. Robert J. Karis, A Symphony of New Testament Hymns: Commentary on Philippians 2:5-11, T.t.: Liturgical Press, 1996, hlm. 55.
[32] Raymond E. Brown, Introduction to the New Testament Christology, T.t.: Continuum International Publishing Group, 1994, hlm. 135.
[33] F. F. Bruce, N.T. Philippians Commentaries, Op. Cit., hlm. 71.
[34] Gerarld F. Hawthorne, World Biblical Commentary Philippians, Vol. 43, Texas: Word Books Publisher, 1983, hlm. 89.
[35] F. F. Bruce, The International Bible Commentary with the New International Version, Op. Cit., hlm. 72.
[36] Bdk. F. F. Bruce, N.T. Philippians Comentaries, Loc. Cit.
[37] Mengapa dikatakan demikian? Dikatakan demikian, karena tak seorangpun yang dapat dianugerahi kehormatan yang tinggi selain Putra-Nya sendiri. Bdk. Ibid.
[38] Istilah kenosis ditarik dari frasa “emptied Himself” (mengosongkan diri-Nya) dalam Flp 2:7. Dan oleh Para Bapa Gereja, istilah ini dilihat dalam kaitannya dengan persatuan hypostasis (hypostatic union) sebagaimana yang dibicarakan di Gereja Barat dan Timur. Menurut Jaroslav J. Pelikan, gagasan ini sangat kental dibicarakan oleh St. Hilarius yang pandai menafsir pemikiran St. Agustinus, yang kemudian begitu kuat dipertahankan St. Leo yang selanjutnya memeroleh rumusan yang otoritatif dalam Konsili Kalsedon. Bdk. Jaroslav Jan Pelikan, Loc. Cit.
[39] Lih. Thomas Gerard W., The Theology of St. Cyril of Alexandria: a Critical Appreciation, T.t:, Continuum International Publishing Group, 2003, hlm. 66.
[40] Lih. T. F. Torrence, Theology in Reconciliation, Essays Towards Evangelical and Catholic Unity in East and West, Eugene: Wipf and Stock Publisher, 1996, hlm. 161.
[41] Athanasius menulis: ...Word was made flesh, then it adds the reason why, saying, ‘And dwelt among us.’ And again the Apostle saying, ‘Who being in the form of God,’ has not introduced the reason till, ‘He took on Him the form of servant; for then he continues, ‘He humbles Himself unto death even the death of the cross;’ for it was for this that He both became flesh and took the form of a servant. St. Athanasius, “Against the Arians pt. X 41”, dalam Philip Schaff dan H. Wace (ed.), Nicene and Post Nicene Fathers, Second Series, Vol IV, Grand Rapids, Michigan: WM. B. Eerdmans Publishing Company, 1987, hlm. 377.
[42] St. Hilary of Poitiers, “On the Trinity pt. VIII”, dalam Philip Schaff dan H. Wace (eds.), Nicene and Post-Nicene Fathers, Select Works, Grand Rapids, Michigan: WM. B. Eerdmans Publishing Company, 1989, hlm. 150-151.
[43] Bdk. Ibid., hlm. 173-174.
[44] St. Agustinus, “Sermon 187 pt. III 4” dalam Daniel Edward Doyle (ed.), Essential Sermons, T.t.: New City Press, 2007, hlm. 247.
[45] Ibid.
[46] Ibid.
[47] Bdk. Ibid.
[48] St. Agustinus, “On Homilies on the Gospel of John, Homilies on the First Epistle of John and Soliloquies, Tractat LXXVIII, pt. XIV 1”, dalam Philip Schaff (ed.), Nicene and Post-Nicene Fathers of the Christian Church 1888, Grand Rapids, Michigan: WM. B. Eerdmans Publishing Company, 1988, hlm. 341.
[49] Bdk. St. Agustinus, “On the Holy Trinity, Doctrinal Treatises and Moral Treatises, pt. XIV 18”, Op. Cit., hlm. 177.
[50] Ibid., hlm. 215. St. Leo Agung dengan jelas telah melihat hal serupa. Ia berkata: “setiap kodrat menyatakan eksistensi yang sesungguhnya melalui tindakan yang membedakannya, maupun memisahkannya dari hubungan satu dengan yang lain. Ia melihat bahwa persatuan (kodrat) itu tidak bercampur. Bdk. St. Leo Agung, “Sermon LIV On the Passion, pt. III 1” dalam Philip Schaff (ed.), Nicene and Post-Nicene Fathers of the Christian Church Second Series, Grand Rapids Michigan: WM. B. Eerdmans Publishing Company, 1989, hlm. 165.
[51] Thomas melihat bahwa Putra Allah sungguh-sungguh menerima tubuh manusiawi. Gagasan ini berangkat dari sebuah pertanyaan: whether the Son of God ought to have assumed a true body? Keberatan yang diajukan di sini, yakni tampaknya Putra Allah tidak menerima sebuah tubuh yang sesungguhnya. Alasannya seperti yang tertulis dalam Flp 2:7 “ …. dan menjadi sama dengan manusia.” Dikatakan bahwa sesungguhnya apa yang menjadi kebenaran dalam hal ”menjadi sama dengan manusia”, tidak dikatakan. Dengan demikian putra Allah tidak menerima sebuah tubuh. Thomas menjawab bahwa Kristus tidak lahir dari suatu rupa belaka, seolah-olah Ia memiliki sebuah tubuh imajiner, namun tubuh-Nya benar-benar nyata. Argumen ini dibuktikannya, misalnya salah satunya adalah lewat inkarnasi. St. Thomas Aquinas, Summa Theologia, Vol. 8 of 10, London: Forgotten Books, t.th., hlm. 62-63.
[52] Menurut Thomas, kaum Manikheis mengatakan bahwa sesungguhnya Firman Allah hanyalah manusia khayalan belaka. Dasar perkataan ini tampak dalam gagasan kaum Manikheis yang mengafirmasi bahwa Putra Allah menerima sebuah tubuh imajiner. Dengan demikian, menurutnya, jikalau orang memahami tubuh dan jiwa Kristus tidak berada dalam suatu persatuan, maka sebetulnya mereka tidak mengakui Allah sebagai manusia yang sesungguhnya. Ibid., hlm. 172.
[53] Konsili Kalsedon mengajarkan tentang keallahan dan kemanusiaan Yesus demikian: so following the saintly fathers, we all with one voice teach the confession of one and the same Son, our Lord Jesus Christ; the same perfect in divinity and perfect in humanity, the same truly God and Truly man, of rational soul and body; consubstantial with the Father as regard his divinity, and the same consubtansial with us as regard his humanity; like us in all respects except for sin…. Lih. Norman P. Tanner (ed.), Decrees of the Ecumenical Councils, Vol. I, Nicea I to Lateran V, T.t: Georgetown University Press, 1990, hlm. 86.
[54] St. Thomas Aquinas, Op. Cit.,hlm. 172-173.
[55] Ibid.
[56] Bdk. Ibid., hlm. 576.
[57] Bdk. Thomas Marberry, Galatians through Collosians, T.t: Randall House Publications, 1988, hlm. 305.
[58] Bdk. Romanus Cessario, The Godly Image:Christ and Salvation in Catholic Thought from St. Anselm to Aquinas Vol. 6 of, Studies in Historical Theologies, T.t: St Bede’s Publications, 1990, hlm. 36.
[59] J. Daane, Loc. Cit.
[60] C. Stephen Evans, Op. Cit., hlm. 114.
[61] Alister E. McGrath, Christian Theology An Introduction, Second Edition, Massachusetss: Blackwell Publisher Inc., 1997, hlm. 260.
[62] Bagi Thomasius -seperti yang dikutip oleh Warren- atribut imanen tersebut (belaskasih, keadilan, cinta) mengacu pada relasi di antara ketiga pribadi Allah Tritunggal. Sementara itu, atribut-atribut relasional atau relatif (omnipotence, dll.,) mengacu pada hubungan antara Allah dan dunia. Thomasius berkata bahwa dalam kenosis, Kristus mengosongkan atribut-atribut relasional sambil tetap mempertahankan atribut-atribut imanen. Bdk. Warren McWilliams, The Passion of God: Divine Suffering in Contemporary Protestant Theology, T.t: Mercer University Press, 1985, hlm. 79.
[63] Bdk. David A. Fergusson, The Blackwell Companion to Nineteenth-Century Theology, Vol. IV. T.t: John Wiley and Sons, 2010, hlm. 258.
[64] Hans Küng, The Incarnation of God: an Introduction to Hegel’s Theological Thought as Prolegomena to a Future Christology, T.t: Continuum International Publishing Group, 1987, hlm. 538.
[65] Bdk. Alister E. McGrath, Loc. Cit.
[66] Ray S. Anderson, Theological Foundations for Ministry: Selected Readings for a Theology of the Church in Ministry, T.t: Continuum International Publishing Group, 1999, hlm. 231.
[67] Bdk. James Drummond, Studies in Christian Doctrine, T.t: Kessinger Publishing, 2003, hlm. 283.
[68] Menurut David A. Fergusson, ide kenosis Gess amat bertentangan dengan rumusan iman dalam Konsili Kalsedon yang menekankan Immutability of Logos. Gess memandang ide Immutability of Logos bukan sebagai kanon tentang Kristus, melainkan hanya merupakan suatu peraturan teologis yang diciptakan oleh Konsili Kalsedon (a theological regulation, not a canon of Christi). Bdk. David A. Fergusson, Op. Cit., hlm. 262.
[69] Bdk. Hans Küng, Loc. Cit.
[70] Stephen Evans menguraikan sebuah kemungkinan teori kenotik inkarnasi. Ide dasar yang ia tampilkan adalah “Kristus serentak sungguh-sungguh ilahi dan manusia”. Dalam inkarnasi, Yesus Kristus bukan seolah-olah manusia belaka, akan tetapi sungguh-sungguh manusia. Baginya, Yesus bukanlah Allah yang simplistis, akan tetapi sungguh-sungguh ilahi. C. Stephen Evans, Op. Cit., hlm. 115-118.
[71] Menurut Stephen Evans, kata “mengosongkan” yang dipakai Paulus dalam bahasa Yunaninya adalah ekénōsen. Kata ini adalah kata jadian (turunan) dari kata kenosis, yang mengambil rupa seorang hamba dan menjadi sama dengan manusia. Ibid., hlm. 114-115.
[72] Walter Kasper melihat bahwa hal ini pun telah diafirmasi oleh Agustinus sendiri. Ia mengutip kata-kata Agustinus demikian: … Ia mengosongkan diri-Nya: dengan mengambil rupa seorang hamba, bukan dengan meninggalkan rupa Allah; rupa seorang hamba ditambahkan, rupa Allah tidak hilang. Walter Kasper, Op. Cit., hlm. 189.
[73] Lihat Ajaran Konsili Kalsedon tentang persatuan hipostatis-Nya, di mana kodrat Allah tidak bercampur dan tidak dapat dipisahkan. Bdk. St. Leo Agung, Loc.Cit. Lihat pula J. Dupuis, Loc. Cit.
[74] Lih. Katekismus Gereja Katolik, terj. Herman Embuiru, Ende: Percetakan Arnoldus, 1995, No. 461, hlm. 148. Selanjutnya disingkat KGK.
[75] Bdk. KGK 463.
[76] KGK 470.
[77] KGK 472.
[78] Bdk. KGK 602-603.
[79] Bdk. KGK 613.
[80] Bdk. KGK 615.
[81] Bdk. KGK 616.